TERIMA KASIH KEPADA SELURUH MASYARAKAT SUMATERA BARAT ATAS PARTISIPASI AKTIF DALAM PEMILIHAN SERENTAK TAHUN 2024. | DUKUNGAN DAN KETERLIBATAN ANDA MERUPAKAN WUJUD NYATA KOMITMEN DEMOKRASI YANG BERMARTABAT DAN BERINTEGRITAS. | MARI KITA TERUS MENJAGA SEMANGAT KEBERSAMAAN, PERSATUAN, DAN TANGGUNG JAWAB UNTUK MEWUJUDKAN SUMATERA BARAT YANG LEBIH BAIK MELALUI PROSES DEMOKRASI YANG JUJUR, ADIL, DAN TRANSPARAN.

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Pilkada Sumatera Barat 2024 di Tengah Dinamika Media Sosial dan Tantangan Partisipasi Pemilih

Riski Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 di Sumatera Barat (Sumbar) menjadi cerminan kompleksitas demokrasi lokal di era digital. Meski teknologi informasi telah membuka ruang partisipasi yang lebih luas, tantangan dalam meningkatkan keterlibatan masyarakat tetap menjadi pekerjaan rumah yang signifikan.​ Realitas ini terbukti dari rendahnya partisipasi. Dalam satu dekade terakhir, media sosial telah berevolusi dari sekadar platform interaksi sosial menjadi alat strategis dalam kampanye politik. Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan WhatsApp kini menjadi ruang publik digital yang memungkinkan kandidat dan partai politik menyampaikan visi, misi, serta program kerja mereka secara langsung kepada pemilih tanpa perantara media konvensional.​ Keunggulan media sosial terletak pada sifatnya yang interaktif, biaya yang relatif rendah, dan kemampuan menjangkau audiens luas secara cepat. Hal ini memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah antara kandidat dan pemilih, serta memfasilitasi keterlibatan pemilih melalui komentar, pembuatan konten politik, dan partisipasi dalam jajak pendapat.​ Meski media sosial membuka peluang partisipasi yang lebih besar, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Sumatera Barat 2024 justru menunjukkan penurunan. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar mencatat partisipasi pemilih hanya 57,15 persen dari total 4.103.084 pemilih terdaftar. Angka ini jauh di bawah target nasional sebesar 75 persen.​ Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada 2025. Pakar politik dari Universitas Andalas, Prof. Asrinaldi, menyebutkan bahwa euforia politik yang lebih besar pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Februari 2024 menyebabkan antusiasme masyarakat menurun drastis menjelang Pilkada. Selain itu, calon kepala daerah yang dinilai tidak memberikan harapan baru juga turut memengaruhi minat pemilih. Kota Padang menjadi daerah dengan partisipasi pemilih terendah. Hanya sekitar 280.000 dari 780.356 pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya di Pilkada 2024. Pengurangan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) di beberapa kelurahan juga disebut sebagai faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi, karena jarak tempuh ke TPS menjadi lebih jauh.​   Media Sosial Bagai Pedang Bermata Dua Selain menawarkan peluang untuk memperluas partisipasi politik, media sosial juga membawa tantangan serius bagi proses demokrasi. Penyebaran informasi palsu, polarisasi opini, dan manipulasi menjadi ancaman yang perlu dihadapi dan dicarikan solusi. Algoritma platform yang memprioritaskan keterlibatan (engagement) daripada kebenaran menyebabkan narasi yang penuh sensasi dan tidak terverifikasi menjadi lebih menonjol, menggeser debat substantif mengenai kebijakan.​ Kurangnya literasi digital dan pemahaman etika dalam bermedia sosial memperburuk situasi ini. Pengguna sering kali tidak mampu membedakan informasi yang valid dengan hoaks atau konten yang bersifat emosional daripada informatif, yang dapat memengaruhi pemahaman dan pandangan mereka terhadap pemilu dan calon yang bersangkutan. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan strategi yang komprehensif dan kolaboratif antara pemerintah daerah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil. Pendidikan politik yang inklusif dan berkelanjutan menjadi kunci dalam meningkatkan literasi politik masyarakat, terutama di kalangan pemilih muda yang mendominasi demografi pemilih di Sumatera Barat.​ Jelang Pilkada Sumbar 2024, Plt. Gubernur Sumbar, Audy Joinaldy, menekankan pentingnya dukungan kegiatan pendidikan politik, di mana Kesbangpol menjadi sektor utama dalam meningkatkan partisipasi pemilih. Ia juga menyoroti rendahnya literasi politik di kalangan pemilih muda sebagai faktor yang memengaruhi partisipasi. Selain itu, inovasi dalam layanan pemilu, seperti penyediaan informasi yang mudah diakses dan transparan melalui platform digital, dapat membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Penguatan regulasi dan pengawasan terhadap aktivitas politik di media sosial juga diperlukan untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan perilaku etis dalam kampanye digital.​ Pada akhirnya, dengan strategi yang tepat dan kolaborasi berbagai pihak, tidak mustahil demokrasi lokal yang inklusif dan berkelanjutan, dapat terwujud. Pendidikan politik yang efektif, literasi digital yang tinggi, dan regulasi yang kuat terhadap aktivitas politik di media sosial menjadi bagian dalam membangun kepercayaan publik dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.​

Penurunan Partisipasi Pilkada 2024 di Sumatera Barat: Saat Jeda Pemilu dan Pemilihan Terlalu Singkat

Ridho Rizki Syamnofrianto Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 di Sumatera Barat (Sumbar) mencatatkan partisipasi pemilih sebesar 57,15 persen dari total 4.103.084 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Angka tersebut jauh di bawah target 75 persen yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar. Realitas tersebut menimbulkan kekhawatiran akan legitimasi demokrasi lokal dan memunculkan pertanyaan tentang penyebab rendahnya antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Kenapa partisipasi pemilih begitu rendah? Sepanjang tahun 2024, masyarakat Sumbar dan daerah lain di Indonesia, dihadapkan pada tiga agenda pemilihan. Mulai dari pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (Pileg) yang serentak pada 14 Februari. Setelah itu, disusul pemungutan Suara Ulang (PSU) DPD RI untuk wilayah Sumbar pada 13 Juli 2024. Barulah kemudian perhelatan pilkada serentak pula pada 27 November di tahun yang sama. Frekuensi pemilihan yang tinggi dalam waktu singkat ini berpotensi menimbulkan kelelahan politik (political fatigue). Efek buruknya, masyarakat merasa jenuh dan kehilangan motivasi untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.​ Kejenuhan ini diperparah oleh proses kampanye yang terus-menerus, menimbulkan rasa bosan dan ketidakpedulian di kalangan pemilih. Banyak yang akhirnya memilih untuk tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena merasa bahwa suara mereka tidak akan membawa perubahan yang signifikan dalam jangka pendek. Pemilih yang sudah berkali-kali mendengar janji politik dari berbagai kandidat bisa merasa skeptis terhadap efektivitas pemilu dalam menghadirkan perubahan nyata bagi kehidupan mereka.​ Apalagi masyarakat Minangkabau. Mereka enggan berulang-ulang ke TPS dalam waktu yang cukup singkat. Kemalasan ini memperburuk tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024. Minim Dorongan Kandidat dan Sosialisasi Kurang Efektif Selain faktor internal dari masyarakat, rendahnya partisipasi juga disebabkan oleh minimnya sosialisasi yang efektif dari penyelenggara Pemilu dan kurangnya dorongan atau pun pendidikan politik dari para kandidat. Pemilih yang merasa jenuh akan lebih sulit untuk diyakinkan kembali agar hadir di TPS, apalagi jika kandidat tidak punya keterampilan atau seni membangunkan semangat pemilih. Dalam hal ini, diperlukan strategi komunikasi yang lebih inovatif dan persuasif agar masyarakat tetap merasa penting untuk menggunakan hak pilihnya.​ Kandidat yang bertarung di Pilkada juga harus lebih aktif. Yakinkan masyarakat bahwa pemilihan kepala daerah memiliki dampak langsung terhadap kehidupan mereka. Berikan janji-janji politik yang masuk akal dan realistis untuk ditunaikan jika kelak memenangkan Pilkada. Di sisi lain, media sosial dan kampanye digital yang seharusnya menjadi alat efektif dalam menarik perhatian pemilih muda juga belum dimanfaatkan secara optimal. Banyak kandidat yang masih menggunakan metode kampanye konvensional seperti baliho dan spanduk, yang kurang menarik perhatian generasi muda yang lebih terbiasa dengan informasi digital. Jika strategi kampanye tidak diperbarui dan disesuaikan dengan tren komunikasi saat ini, maka sulit untuk meningkatkan partisipasi pemilih, terutama di kalangan pemilih muda yang semakin apatis terhadap politik. Partisipasi pemilih yang rendah dalam Pilkada 2024 di Sumbar dapat berdampak negatif terhadap legitimasi hasil pemilu. Jika jumlah pemilih yang datang ke TPS menurun drastis, maka kepala daerah yang terpilih mungkin tidak akan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Hal ini bisa berujung pada rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan daerah dan semakin memperburuk kondisi demokrasi lokal.​ Selain itu, rendahnya partisipasi juga dapat membuka peluang bagi praktik politik uang dan mobilisasi pemilih yang tidak sehat. Dengan jumlah pemilih yang lebih sedikit, kandidat yang memiliki sumber daya besar bisa lebih mudah mengarahkan hasil pemilu melalui praktik-praktik yang tidak etis. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip demokrasi yang ideal, di mana setiap suara harus memiliki bobot yang sama dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kehendak bebas pemilih.​ Bila tren rendahnya partisipasi ini terus berlanjut, maka pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu mengevaluasi kembali jadwal pemilu di masa mendatang. Bisa jadi, perlu ada perubahan dalam sistem pemilihan agar tidak terjadi penumpukan pemilu dalam satu tahun yang sama, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani untuk terus datang ke TPS dalam waktu yang berdekatan.​

Menjaga Integritas Demokrasi: Pilkada Pasaman 2024 dan Refleksi atas Kejujuran Politik

Muhammad Ilham Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan manifestasi nyata dari kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi Indonesia. Melalui mekanisme ini, masyarakat secara langsung menentukan pemimpin daerahnya, mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi yang bebas, jujur, dan adil. Meski begitu, pelaksanaan pilkada tidak selalu berjalan mulus, seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat (Sumbar) yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU). Hal itu terjadi atas pelanggaran prinsip kejujuran oleh salah satu pesertasi kontestasi politik lima tahunan itu. Pilkada adalah sarana bagi rakyat untuk menyalurkan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi utama dalam memastikan bahwa setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya tanpa tekanan atau intervensi dari pihak mana pun. Selain itu, Pilkada juga berperan sebagai instrumen penting dalam membebaskan warga dari dominasi kekuasaan yang tidak diinginkan, sehingga memungkinkan terciptanya pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.​ Pelanggaran Pilkada Pasaman 2024 Dalam Pilkada Pasaman 2024, MK menemukan bahwa calon Wakil Bupati, Anggit Kurniawan Nasution, tidak jujur mengenai statusnya sebagai mantan terpidana kasus penipuan. Ia bahkan menyertakan surat keterangan yang menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menjadi terpidana, padahal kenyataannya ia pernah menjalani hukuman pidana. Tindakan ini melanggar prinsip kejujuran dan transparansi yang menjadi dasar dalam sistem pemilihan umum yang demokratis. Akibatnya, MK memutuskan untuk mendiskualifikasi Anggit dan memerintahkan PSU di Kabupaten Pasaman tanpa keikutsertaannya, paling lama dalam waktu 60 hari sejak putusan diucapkan. Anthony Downs, dalam karyanya An Economic Theory of Democracy (1957), mengemukakan bahwa pemilih bertindak secara rasional dengan mempertimbangkan manfaat dan biaya dari setiap pilihan politik. Dalam konteks ini, informasi yang akurat tentang calon sangat penting agar pemilih dapat membuat keputusan yang rasional. Ketidakjujuran calon seperti dalam kasus Pilkada Pasaman dapat mengaburkan informasi tersebut, sehingga merugikan pemilih dan merusak integritas demokrasi.​ Keterbukaan dan transparansi dalam pilkada tidak hanya menjadi syarat etis bagi para kandidat, tetapi juga menjadi fondasi utama bagi sistem demokrasi yang berintegritas. Setiap calon harus secara terbuka mengumumkan rekam jejak mereka kepada masyarakat, termasuk prestasi yang telah diraih dan riwayat hukum, khususnya apabila pernah menjadi terpidana. Hal ini sejalan dengan aturan pemilihan yang bertujuan untuk memastikan pemilih mendapatkan informasi yang akurat mengenai calon yang akan mereka pilih.​ Keberadaan lembaga penyelenggara pemilu yang independen dan terbebas dari campur tangan pemerintah menjadi unsur penting guna menjamin proses pemilihan berjalan secara jujur, adil, dan terbuka. Prinsip ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (5), yang menyatakan bahwa "Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Kemandirian lembaga ini bertujuan untuk menjaga integritas dan legitimasi proses demokrasi di Indonesia.​ Putusan MK dan Penegakan Hukum Putusan MK untuk menggelar PSU di Kabupaten Pasaman menunjukkan komitmen dalam menegakkan prinsip demokrasi serta memastikan bahwa suara rakyat benar-benar dihormati dan tidak dimanipulasi demi kepentingan tertentu. Putusan MK memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh pihak, termasuk perorangan, lembaga negara, maupun pemerintah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan diperkuat melalui ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.​ Kasus Pilkada Pasaman menjadi pelajaran penting tentang pentingnya kejujuran dan transparansi dalam proses demokrasi. Setiap calon harus mematuhi ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan mengenai syarat pencalonan, termasuk mengungkapkan informasi yang benar mengenai latar belakang mereka. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini tidak hanya mencederai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan. Oleh karena itu, partisipasi aktif masyarakat dalam setiap tahapan Pilkada, termasuk dalam mengawasi proses pemilihan, menjadi faktor krusial dalam menjaga integritas demokrasi di Indonesia.​

Terkikisnya Demokrasi pada Pilkada Pasaman 2024: Minyak Habih Samba Tak Lamak

Abdurrahman Ahady Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bukan sekadar agenda politik lima tahunan. Pilkada merupakan manifestasi demokrasi lokal yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin mereka. Namun, integritas dan transparansi dalam proses ini sering kali terabaikan, menciptakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi.​ Pilkada Pasaman 2024 menjadi contoh nyata bagaimana proses demokrasi dapat tercoreng oleh pelanggaran aturan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 mengungkapkan bahwa seorang kandidat yang tidak memenuhi syarat tetap diizinkan untuk mengikuti kontestasi, meskipun terdapat masalah dalam rekam jejak hukumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kredibilitas dan integritas kandidat, yang seharusnya menjadi prioritas, diabaikan.​ Transparansi Kandidat dan Verifikasi yang Lemah Pilkada yang sehat menuntut transparansi dari setiap kandidat. Putusan MK Nomor 71/PUU-XXIV/2016 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mewajibkan mantan terpidana yang mencalonkan diri untuk mengumumkan statusnya kepada publik. Namun, dalam Pilkada Pasaman, prinsip ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Kandidat yang seharusnya terbuka justru menggunakan dokumen administratif yang kemudian terbukti tidak valid.​ Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pasaman, sebagai penyelenggara pemilihan di tingkat lokal, memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan bahwa kandidat yang maju ke tahap pemilihan telah memenuhi syarat. Namun, dalam Pilkada Pasaman, KPU Kabupaten Pasaman seperti kurang serius menangani hal ini. Meskipun sebelumnya kandidat yang didiskualifikasi oleh MK dinyatakan tidak pernah terpidana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah dilakukan pengecekan ulang dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), surat tersebut dinyatakan keliru dan akhirnya dicabut.​ Mekanisme verifikasi yang longgar dan ketidaktransparanan kandidat menunjukkan adanya celah besar dalam koordinasi antar-lembaga. Dalam hukum administrasi, prinsip due diligence menuntut agar setiap lembaga melakukan pemeriksaan yang cermat dan teliti sebelum mengambil keputusan. Namun, mekanisme verifikasi yang ada masih memungkinkan keputusan penting diambil berdasarkan dokumen administratif tanpa pengecekan silang yang lebih mendalam.​ Jika ditilik aturan keterbukaan informasi publik, maka setiap lembaga negara wajib menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara berkala tanpa harus diminta. Jika regulasi ini diterapkan dengan benar, maka informasi tentang status hukum kandidat harus diumumkan secara aktif oleh KPU Kabupaten Pasaman dan tidak harus menunggu laporan dari masyarakat. Ironisnya, KPU Kabupaten Pasaman tampak acuh dalam menanggapi persoalan ini pada saat pencalonan. Tak cukup sampai di situ, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa kandidat yang memiliki rekam jejak pernah dipidana harus jujur mengenai status hukumnya. Namun, kedua belah pihak tampaknya tidak menyadari dampak ke depan. Seperti kata pepatah Minang, "minyak habih, samba tak lamak," akibat ketidakcermatan ini, KPU Kabupaten Pasaman harus menelan "pil pahit" dan berlarut-larut menghadapi sengketa Pilkada di MK. Padahal, masalah ini bisa saja tidak terjadi jika sedari awal prosedur pencalonan dimaksimalkan.​ Pemungutan Suara Ulang: Koreksi yang Mahal Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Pasaman adalah konsekuensi dari lemahnya transparansi dan sistem pencalonan. Jika keterbukaan ditegakkan sejak awal, maka PSU tidak akan diperlukan. PSU bukan tanpa konsekuensi. Dana sebesar Rp 14 miliar harus digelontorkan untuk menghelat PSU ini di tengah efisiensi anggaran. Tidak hanya berdampak pada keuangan daerah, PSU juga berpengaruh terhadap kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara pemilu. Masyarakat mulai mempertanyakan efektivitas regulasi dan pengawasan dalam proses pencalonan. Kegagalan dalam memastikan kandidat yang memenuhi syarat sejak awal menjadi akar masalah yang tidak boleh terulang di masa mendatang.​ Kasus serupa pernah terjadi dalam Pilkada Sabu Raijua 2020, di mana Orient P. Riwu Kore, sebagai bupati terpilih, harus didiskualifikasi karena memiliki kewarganegaraan ganda, masih berstatus sebagai warga negara Amerika Serikat. Jika kasus semacam ini terus dibiarkan tanpa ada evaluasi mendalam, maka pilkada akan terus menjadi "ladang subur" bagi mereka yang mampu memanfaatkan celah hukum, bukan bagi mereka yang benar-benar berhak memimpin. Memantapkan Gagasan Kasus didiskualifikasi salah satu kandidat Pilkada Pasaman memberikan banyak pelajaran bagi keberlanjutan system demokrasi ke depan. Agar kasus serupa tidak terulang, maka KPU harus memastikan bahwa proses verifikasi calon dilakukan dengan lebih ketat dan maksimal. Informasi terkait status hukum calon harus diulik lebih dalam walaupun masyarakat tidak ada yang memberika masukan dan tanggapan. Hal di atas berkaitan erat dengan peningkatan akses informasi bagi publik. Masyarakat harus memiliki akses informasi yang lebih luas terhadap informasi mengenai calon kepala daerah. Ke depannya, pilkada yang lebih baik hanya akan bisa terwujud jika kecermatan dalam system pencalonan diperbaiki secara menyeluruh. Tak hanya bagi KPU dan calon kandidat, namun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai mitra KPU juga harus memperkuat fungsinya dalam mengawasi verifikasi kandidat secara lebih proaktif. Selanjutnya, peran media dan masyarakat sipil juga tak bisa diabaikan. Jika informasi kandidat lebih terbuka, maka masyarakat dapat lebih aktif dalam membantu melakukan pengawasan dan investigasi. Pilkada Pasaman 2024 membuktikan bahwa tanpa sistem verifikasi yang kuat dan keterbukaan kandidat, Pilkada tidak lebih dari sekadar ritual politik saja. Pilkada akan kehilangan maknanya sebagai mekanisme seleksi kepemimpinan yang kredibel. Transparansi bukan hanya norma dan etika, tetapi menjadi fondasi bagi legitimasi kepemimpinan yang akan datang. Dalam konteks ini, pepatah Minangkabau "minyak habih, samba tak lamak", menjadi refleksi ke depannya. Jangan sampai pepatah ini kembali terulang karena diakibatkan kelonggaran proses verifikasi dan kurangnya transparansi dalam sistem Pilkada ke depannya. Semua pihak harus mengambil pelajaran dari kasus ini, baik penyelenggara pemilu, masyarakat, maupun para pemangku kepentingan lainnya. Sudah cukup Pilkada Tahun 2024 di Kabupaten Pasaman tersimpan rapi di atas "rak buku" sejarah. Jangan sampai pengalaman pahit ini menjadi sesuatu yang berulang di masa mendatang tanpa ada evaluasi yang menyeluruh dan langkah konkrit yang diambil untuk memperbaiki sistem yang ada.

Pilkada Sumatera Barat 2024: Antara Sibuknya Proses dan Minimnya Partisipasi

Gilang Gardhiolla Gusvero Pilkada 2024 di Sumatera Barat (Sumbar) layaknya sebuah pesta demokrasi yang datang lima tahun sekali. Namun, kali ini Pilkada lebih sibuk dan penuh tantangan. Salah satu penyebabnya karena dilangsungkan serentak se-Indonesia. Pilkada bagai "lebarannya dunia politik". Masyarakat Indonesia dihadapkan pada pesta demokrasi besar dalam tahun yang sama: memilih presiden, gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupat dan wali kota-wakil wali kota. Komplit semua. Lantas, seperti apa harusnya masyarakat menyikapinya? Sebagai seorang wartawan yang terlibat langsung dalam dinamika pemilu, penulis menyaksikan bagaimana masyarakat di Sumatera Barat merespons Pilkada 2024. Jurnalis yang memfokuskan peliputan pada dinamika pemilu dan pilkada “bermarkas” di warung legendaris Kadai Teh Talua yang terletak di depan kantor KPU Provinsi Sumbar. Kedai ini menjadi saksi bagi kami, mengamati perjalanan demokrasi. Pilkada 2024 cukup membawa tantangan ekstra bagi KPU Provinsi Sumbar. Sebab, di tengah persiapan Pilkada, juga berlangsung pula Pemungutan Suara Ulang (PSU) DPD RI. Jelas ini menambah kesibukan para penyelenggara dan juga masyarakat sebagai pemilih. Penulis mengibaratkan riuhnya Pilkada seperti Kantor Urusan Agama (KUA) di bulan Syawal yang selalu penuh dengan antrean calon pengantin yang ingin menikah. Hal utama yang penulis soroti adalah persoalan partisipasi pemilih. Realitas ini menarik untuk ditelusuri. Di beberapa daerah, masyarakat datang dengan penuh semangat ke TPS, sementara di tempat lain, sebagian warga justru tampak enggan atau bahkan cuek untuk memilih. Lalu, apa yang menjadi penyebab ketidakseriusan masyarakat dalam memberikan suaranya di Pilkada 2024? Salah satu faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi pemilih adalah kurangnya kesadaran politik masyarakat di Sumbar. Mereka yang memahami bahwa satu suara bisa menentukan masa depan lebih bersemangat untuk menggunakan hak pilihnya. Namun, mereka yang merasa pesimis terhadap sistem politik, banyak yang berpikir "untuk apa memilih kalau hasilnya sudah bisa ditebak". Pandangan seperti itu menjadi satu pemicu merosotnya partisipasi pemilih. Selain itu, sebagian masyarakat percaya dengan proses pemilu yang transparan. Kondisi itu membawa mereka berbondong-bondong ke TPS untuk memberikan hak suara. Namun, sebagian masyarakat lainnya justru tidak percaya dengan proses pemilu. Mereka bahkan sampai menjustifikasi pemilu sudah dirancang dan penuh manipulasi. Nada miring dari masyarakat itu harusnya menjadi alarm bagi KPU dan penyelenggara pemilu lainnya. Faktor lain yang turut memengaruhi rendahnya partisipasi adalah daya tarik calon pemimpin. Ketika calon pemimpin yang hadir tidak menarik, karismatik, atau tidak memiliki program yang jelas, masyarakat bisa merasa jenuh dan enggan untuk memilih. Apalagi jika pilihan yang ada hanya itu-itu saja, maka semangat untuk memilih pun akan hilang seketika. Belum lagi masalah kendala teknis, seperti akses yang sulit menuju TPS atau antrean panjang yang membuat proses pemilihan terasa rumit. Banyak orang yang memilih untuk tidak berpartisipasi karena mereka sudah kehilangan harapan terhadap sistem politik. Korupsi yang marak, skandal politik, serta janji-janji palsu yang sering kali diucapkan oleh para calon pemimpin menambah deretan kemuakan masyarakat untuk tidak ikut memilih. Selain itu, kurangnya edukasi politik juga menjadi masalah besar di Pilkada 2024 dan Pemilu 2024. Banyak masyarakat yang tidak tahu siapa kandidat yang akan mereka pilih. Kemudian, apa program kerja dan bagaimana visi-misinya. Pemilu seolah menjadi sebuah acara yang jauh dari kehidupan mereka. Padahal, keputusan yang diambil oleh para pemimpin yang terpilih berpotensi memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka. Faktor ekonomi juga berperan besar dalam rendahnya partisipasi pemilih. Banyak orang yang memilih tetap bekerja mencari nafkah ketimbang libur sehari untuk datang ke TPS. Fakta dan realitas itu tentu menjadi antangan besar bagi pemerintah dan KPU untuk bisa meyakinkan masyarakat bahwa partisipasi mereka dalam pemilu adalah bagian dari upaya membangun masa depan yang lebih baik. Upaya KPU Provinsi Sumbar Tingkatkan Partisipasi KPU Provinsi Sumbar telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Mereka tidak hanya fokus pada perbaikan teknis dalam sistem pemilu, tetapi juga melakukan sosialisasi yang lebih kreatif dan menarik. Salah satunya adalah dengan mengadakan acara nonton bareng film edukatif bertajuk "Tepatilah Janji". Pemutaran film tersebut bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menggunakan hak pilih mereka. Di sisi lain, KPU Provinsi Sumbar juga melibatkan akademisi dan lembaga riset untuk menganalisis dan mencari solusi atas rendahnya partisipasi pemilih. Mereka ingin tahu faktor apa yang menyebabkan ketidaktertarikan masyarakat dalam datang ke TPS dan bagaimana cara mengatasinya dengan pendekatan yang lebih efektif. KPU Provinsi Sumbar juga mengadakan Pesta Rakyat Pilkada Fest 2024 sebagai upaya untuk menarik minat masyarakat dalam berpartisipasi pada Pemilu dan Pilkada 2024. Kegiatan itu bertujuan untuk memberikan kesan bahwa pilkada adalah momen penting yang perlu dirayakan bersama, bukan hanya rutinitas yang membosankan. Dengan pendekatan yang lebih santai, diharapkan masyarakat bisa merasa lebih dekat dengan proses demokrasi ini. Meski berbagai upaya sudah dilakukan, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 di Sumbar ternyata masih jauh dari harapan. Berdasarkan data, partisipasi pemilih hanya mencapai 57,15 persen dari 4.103.084 daftar pemilih tetap (DPT). Angka tersebut jauh di bawah target awal sebesar 75 persen. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih antara lain adalah kualitas calon yang tidak memadai, kurangnya edukasi politik, serta perasaan apatis terhadap politik. Partai politik perlu lebih serius dalam memilih calon-calon yang benar-benar mampu membawa perubahan, bukan hanya calon yang dikenal oleh publik tanpa program yang jelas. Masyarakat pun perlu menyadari bahwa hak suara mereka sangat penting dalam menentukan masa depan mereka. Jangan biarkan ketidakpedulian menguasai kita. Pilihlah pemimpin yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan kita, agar keputusan besar yang berkaitan dengan masa depan bangsa dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar dipercaya oleh rakyat. Sebagai penutup, mari jadikan pilkada sebagai pesta demokrasi yang penuh semangat. Jangan biarkan hak suara masyarakat terbuang sia-sia. Datanglah ke TPS dan gunakan hak pilih Anda! Demokrasi hebat dan sehat itu dimulai dari partisipasi aktif semua penduduk. Jika bukan kita yang menentukan masa depan, siapa lagi? Jangan Golput!

Publikasi