Pilkada Sumatera Barat 2024 di Tengah Dinamika Media Sosial dan Tantangan Partisipasi Pemilih

Riski

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 di Sumatera Barat (Sumbar) menjadi cerminan kompleksitas demokrasi lokal di era digital. Meski teknologi informasi telah membuka ruang partisipasi yang lebih luas, tantangan dalam meningkatkan keterlibatan masyarakat tetap menjadi pekerjaan rumah yang signifikan.​ Realitas ini terbukti dari rendahnya partisipasi.

Dalam satu dekade terakhir, media sosial telah berevolusi dari sekadar platform interaksi sosial menjadi alat strategis dalam kampanye politik. Platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, TikTok, dan WhatsApp kini menjadi ruang publik digital yang memungkinkan kandidat dan partai politik menyampaikan visi, misi, serta program kerja mereka secara langsung kepada pemilih tanpa perantara media konvensional.​

Keunggulan media sosial terletak pada sifatnya yang interaktif, biaya yang relatif rendah, dan kemampuan menjangkau audiens luas secara cepat. Hal ini memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah antara kandidat dan pemilih, serta memfasilitasi keterlibatan pemilih melalui komentar, pembuatan konten politik, dan partisipasi dalam jajak pendapat.​

Meski media sosial membuka peluang partisipasi yang lebih besar, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Sumatera Barat 2024 justru menunjukkan penurunan. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar mencatat partisipasi pemilih hanya 57,15 persen dari total 4.103.084 pemilih terdaftar. Angka ini jauh di bawah target nasional sebesar 75 persen.​

Banyak faktor yang menjadi penyebab rendahnya partisipasi pemilih di Pilkada 2025. Pakar politik dari Universitas Andalas, Prof. Asrinaldi, menyebutkan bahwa euforia politik yang lebih besar pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Februari 2024 menyebabkan antusiasme masyarakat menurun drastis menjelang Pilkada. Selain itu, calon kepala daerah yang dinilai tidak memberikan harapan baru juga turut memengaruhi minat pemilih.

Kota Padang menjadi daerah dengan partisipasi pemilih terendah. Hanya sekitar 280.000 dari 780.356 pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya di Pilkada 2024. Pengurangan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) di beberapa kelurahan juga disebut sebagai faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi, karena jarak tempuh ke TPS menjadi lebih jauh.​

 

Media Sosial Bagai Pedang Bermata Dua

Selain menawarkan peluang untuk memperluas partisipasi politik, media sosial juga membawa tantangan serius bagi proses demokrasi. Penyebaran informasi palsu, polarisasi opini, dan manipulasi menjadi ancaman yang perlu dihadapi dan dicarikan solusi. Algoritma platform yang memprioritaskan keterlibatan (engagement) daripada kebenaran menyebabkan narasi yang penuh sensasi dan tidak terverifikasi menjadi lebih menonjol, menggeser debat substantif mengenai kebijakan.​

Kurangnya literasi digital dan pemahaman etika dalam bermedia sosial memperburuk situasi ini. Pengguna sering kali tidak mampu membedakan informasi yang valid dengan hoaks atau konten yang bersifat emosional daripada informatif, yang dapat memengaruhi pemahaman dan pandangan mereka terhadap pemilu dan calon yang bersangkutan.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan strategi yang komprehensif dan kolaboratif antara pemerintah daerah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil. Pendidikan politik yang inklusif dan berkelanjutan menjadi kunci dalam meningkatkan literasi politik masyarakat, terutama di kalangan pemilih muda yang mendominasi demografi pemilih di Sumatera Barat.​

Jelang Pilkada Sumbar 2024, Plt. Gubernur Sumbar, Audy Joinaldy, menekankan pentingnya dukungan kegiatan pendidikan politik, di mana Kesbangpol menjadi sektor utama dalam meningkatkan partisipasi pemilih. Ia juga menyoroti rendahnya literasi politik di kalangan pemilih muda sebagai faktor yang memengaruhi partisipasi.

Selain itu, inovasi dalam layanan pemilu, seperti penyediaan informasi yang mudah diakses dan transparan melalui platform digital, dapat membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu. Penguatan regulasi dan pengawasan terhadap aktivitas politik di media sosial juga diperlukan untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan perilaku etis dalam kampanye digital.​

Pada akhirnya, dengan strategi yang tepat dan kolaborasi berbagai pihak, tidak mustahil demokrasi lokal yang inklusif dan berkelanjutan, dapat terwujud. Pendidikan politik yang efektif, literasi digital yang tinggi, dan regulasi yang kuat terhadap aktivitas politik di media sosial menjadi bagian dalam membangun kepercayaan publik dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.​

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 60 Kali.