Terkikisnya Demokrasi pada Pilkada Pasaman 2024: Minyak Habih Samba Tak Lamak
Abdurrahman Ahady
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) bukan sekadar agenda politik lima tahunan. Pilkada merupakan manifestasi demokrasi lokal yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin mereka. Namun, integritas dan transparansi dalam proses ini sering kali terabaikan, menciptakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pribadi.
Pilkada Pasaman 2024 menjadi contoh nyata bagaimana proses demokrasi dapat tercoreng oleh pelanggaran aturan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 mengungkapkan bahwa seorang kandidat yang tidak memenuhi syarat tetap diizinkan untuk mengikuti kontestasi, meskipun terdapat masalah dalam rekam jejak hukumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kredibilitas dan integritas kandidat, yang seharusnya menjadi prioritas, diabaikan.
Transparansi Kandidat dan Verifikasi yang Lemah
Pilkada yang sehat menuntut transparansi dari setiap kandidat. Putusan MK Nomor 71/PUU-XXIV/2016 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mewajibkan mantan terpidana yang mencalonkan diri untuk mengumumkan statusnya kepada publik. Namun, dalam Pilkada Pasaman, prinsip ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Kandidat yang seharusnya terbuka justru menggunakan dokumen administratif yang kemudian terbukti tidak valid.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pasaman, sebagai penyelenggara pemilihan di tingkat lokal, memiliki tanggung jawab utama untuk memastikan bahwa kandidat yang maju ke tahap pemilihan telah memenuhi syarat. Namun, dalam Pilkada Pasaman, KPU Kabupaten Pasaman seperti kurang serius menangani hal ini. Meskipun sebelumnya kandidat yang didiskualifikasi oleh MK dinyatakan tidak pernah terpidana oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, setelah dilakukan pengecekan ulang dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), surat tersebut dinyatakan keliru dan akhirnya dicabut.
Mekanisme verifikasi yang longgar dan ketidaktransparanan kandidat menunjukkan adanya celah besar dalam koordinasi antar-lembaga. Dalam hukum administrasi, prinsip due diligence menuntut agar setiap lembaga melakukan pemeriksaan yang cermat dan teliti sebelum mengambil keputusan. Namun, mekanisme verifikasi yang ada masih memungkinkan keputusan penting diambil berdasarkan dokumen administratif tanpa pengecekan silang yang lebih mendalam.
Jika ditilik aturan keterbukaan informasi publik, maka setiap lembaga negara wajib menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara berkala tanpa harus diminta. Jika regulasi ini diterapkan dengan benar, maka informasi tentang status hukum kandidat harus diumumkan secara aktif oleh KPU Kabupaten Pasaman dan tidak harus menunggu laporan dari masyarakat. Ironisnya, KPU Kabupaten Pasaman tampak acuh dalam menanggapi persoalan ini pada saat pencalonan.
Tak cukup sampai di situ, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa kandidat yang memiliki rekam jejak pernah dipidana harus jujur mengenai status hukumnya. Namun, kedua belah pihak tampaknya tidak menyadari dampak ke depan. Seperti kata pepatah Minang, "minyak habih, samba tak lamak," akibat ketidakcermatan ini, KPU Kabupaten Pasaman harus menelan "pil pahit" dan berlarut-larut menghadapi sengketa Pilkada di MK. Padahal, masalah ini bisa saja tidak terjadi jika sedari awal prosedur pencalonan dimaksimalkan.
Pemungutan Suara Ulang: Koreksi yang Mahal
Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Pasaman adalah konsekuensi dari lemahnya transparansi dan sistem pencalonan. Jika keterbukaan ditegakkan sejak awal, maka PSU tidak akan diperlukan. PSU bukan tanpa konsekuensi. Dana sebesar Rp 14 miliar harus digelontorkan untuk menghelat PSU ini di tengah efisiensi anggaran.
Tidak hanya berdampak pada keuangan daerah, PSU juga berpengaruh terhadap kepercayaan publik terhadap institusi penyelenggara pemilu. Masyarakat mulai mempertanyakan efektivitas regulasi dan pengawasan dalam proses pencalonan. Kegagalan dalam memastikan kandidat yang memenuhi syarat sejak awal menjadi akar masalah yang tidak boleh terulang di masa mendatang.
Kasus serupa pernah terjadi dalam Pilkada Sabu Raijua 2020, di mana Orient P. Riwu Kore, sebagai bupati terpilih, harus didiskualifikasi karena memiliki kewarganegaraan ganda, masih berstatus sebagai warga negara Amerika Serikat. Jika kasus semacam ini terus dibiarkan tanpa ada evaluasi mendalam, maka pilkada akan terus menjadi "ladang subur" bagi mereka yang mampu memanfaatkan celah hukum, bukan bagi mereka yang benar-benar berhak memimpin.
Memantapkan Gagasan
Kasus didiskualifikasi salah satu kandidat Pilkada Pasaman memberikan banyak pelajaran bagi keberlanjutan system demokrasi ke depan. Agar kasus serupa tidak terulang, maka KPU harus memastikan bahwa proses verifikasi calon dilakukan dengan lebih ketat dan maksimal. Informasi terkait status hukum calon harus diulik lebih dalam walaupun masyarakat tidak ada yang memberika masukan dan tanggapan. Hal di atas berkaitan erat dengan peningkatan akses informasi bagi publik. Masyarakat harus memiliki akses informasi yang lebih luas terhadap informasi mengenai calon kepala daerah.
Ke depannya, pilkada yang lebih baik hanya akan bisa terwujud jika kecermatan dalam system pencalonan diperbaiki secara menyeluruh. Tak hanya bagi KPU dan calon kandidat, namun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai mitra KPU juga harus memperkuat fungsinya dalam mengawasi verifikasi kandidat secara lebih proaktif. Selanjutnya, peran media dan masyarakat sipil juga tak bisa diabaikan. Jika informasi kandidat lebih terbuka, maka masyarakat dapat lebih aktif dalam membantu melakukan pengawasan dan investigasi.
Pilkada Pasaman 2024 membuktikan bahwa tanpa sistem verifikasi yang kuat dan keterbukaan kandidat, Pilkada tidak lebih dari sekadar ritual politik saja. Pilkada akan kehilangan maknanya sebagai mekanisme seleksi kepemimpinan yang kredibel. Transparansi bukan hanya norma dan etika, tetapi menjadi fondasi bagi legitimasi kepemimpinan yang akan datang.
Dalam konteks ini, pepatah Minangkabau "minyak habih, samba tak lamak", menjadi refleksi ke depannya. Jangan sampai pepatah ini kembali terulang karena diakibatkan kelonggaran proses verifikasi dan kurangnya transparansi dalam sistem Pilkada ke depannya. Semua pihak harus mengambil pelajaran dari kasus ini, baik penyelenggara pemilu, masyarakat, maupun para pemangku kepentingan lainnya.
Sudah cukup Pilkada Tahun 2024 di Kabupaten Pasaman tersimpan rapi di atas "rak buku" sejarah. Jangan sampai pengalaman pahit ini menjadi sesuatu yang berulang di masa mendatang tanpa ada evaluasi yang menyeluruh dan langkah konkrit yang diambil untuk memperbaiki sistem yang ada.
Abdurrahman Ahady