Menjaga Integritas Demokrasi: Pilkada Pasaman 2024 dan Refleksi atas Kejujuran Politik

Muhammad Ilham

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan manifestasi nyata dari kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi Indonesia. Melalui mekanisme ini, masyarakat secara langsung menentukan pemimpin daerahnya, mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi yang bebas, jujur, dan adil.

Meski begitu, pelaksanaan pilkada tidak selalu berjalan mulus, seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat (Sumbar) yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU). Hal itu terjadi atas pelanggaran prinsip kejujuran oleh salah satu pesertasi kontestasi politik lima tahunan itu.

Pilkada adalah sarana bagi rakyat untuk menyalurkan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Prinsip-prinsip ini menjadi fondasi utama dalam memastikan bahwa setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya tanpa tekanan atau intervensi dari pihak mana pun. Selain itu, Pilkada juga berperan sebagai instrumen penting dalam membebaskan warga dari dominasi kekuasaan yang tidak diinginkan, sehingga memungkinkan terciptanya pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel.​

Pelanggaran Pilkada Pasaman 2024

Dalam Pilkada Pasaman 2024, MK menemukan bahwa calon Wakil Bupati, Anggit Kurniawan Nasution, tidak jujur mengenai statusnya sebagai mantan terpidana kasus penipuan. Ia bahkan menyertakan surat keterangan yang menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menjadi terpidana, padahal kenyataannya ia pernah menjalani hukuman pidana.

Tindakan ini melanggar prinsip kejujuran dan transparansi yang menjadi dasar dalam sistem pemilihan umum yang demokratis. Akibatnya, MK memutuskan untuk mendiskualifikasi Anggit dan memerintahkan PSU di Kabupaten Pasaman tanpa keikutsertaannya, paling lama dalam waktu 60 hari sejak putusan diucapkan.

Anthony Downs, dalam karyanya An Economic Theory of Democracy (1957), mengemukakan bahwa pemilih bertindak secara rasional dengan mempertimbangkan manfaat dan biaya dari setiap pilihan politik. Dalam konteks ini, informasi yang akurat tentang calon sangat penting agar pemilih dapat membuat keputusan yang rasional. Ketidakjujuran calon seperti dalam kasus Pilkada Pasaman dapat mengaburkan informasi tersebut, sehingga merugikan pemilih dan merusak integritas demokrasi.​

Keterbukaan dan transparansi dalam pilkada tidak hanya menjadi syarat etis bagi para kandidat, tetapi juga menjadi fondasi utama bagi sistem demokrasi yang berintegritas. Setiap calon harus secara terbuka mengumumkan rekam jejak mereka kepada masyarakat, termasuk prestasi yang telah diraih dan riwayat hukum, khususnya apabila pernah menjadi terpidana. Hal ini sejalan dengan aturan pemilihan yang bertujuan untuk memastikan pemilih mendapatkan informasi yang akurat mengenai calon yang akan mereka pilih.​

Keberadaan lembaga penyelenggara pemilu yang independen dan terbebas dari campur tangan pemerintah menjadi unsur penting guna menjamin proses pemilihan berjalan secara jujur, adil, dan terbuka. Prinsip ini telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (5), yang menyatakan bahwa "Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Kemandirian lembaga ini bertujuan untuk menjaga integritas dan legitimasi proses demokrasi di Indonesia.​

Putusan MK dan Penegakan Hukum

Putusan MK untuk menggelar PSU di Kabupaten Pasaman menunjukkan komitmen dalam menegakkan prinsip demokrasi serta memastikan bahwa suara rakyat benar-benar dihormati dan tidak dimanipulasi demi kepentingan tertentu. Putusan MK memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh pihak, termasuk perorangan, lembaga negara, maupun pemerintah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan diperkuat melalui ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.​

Kasus Pilkada Pasaman menjadi pelajaran penting tentang pentingnya kejujuran dan transparansi dalam proses demokrasi. Setiap calon harus mematuhi ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan mengenai syarat pencalonan, termasuk mengungkapkan informasi yang benar mengenai latar belakang mereka.

Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini tidak hanya mencederai nilai-nilai demokrasi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan. Oleh karena itu, partisipasi aktif masyarakat dalam setiap tahapan Pilkada, termasuk dalam mengawasi proses pemilihan, menjadi faktor krusial dalam menjaga integritas demokrasi di Indonesia.​

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 31 Kali.