Penurunan Partisipasi Pilkada 2024 di Sumatera Barat: Saat Jeda Pemilu dan Pemilihan Terlalu Singkat
Ridho Rizki Syamnofrianto
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 di Sumatera Barat (Sumbar) mencatatkan partisipasi pemilih sebesar 57,15 persen dari total 4.103.084 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Angka tersebut jauh di bawah target 75 persen yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumbar.
Realitas tersebut menimbulkan kekhawatiran akan legitimasi demokrasi lokal dan memunculkan pertanyaan tentang penyebab rendahnya antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Kenapa partisipasi pemilih begitu rendah?
Sepanjang tahun 2024, masyarakat Sumbar dan daerah lain di Indonesia, dihadapkan pada tiga agenda pemilihan. Mulai dari pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (Pileg) yang serentak pada 14 Februari. Setelah itu, disusul pemungutan Suara Ulang (PSU) DPD RI untuk wilayah Sumbar pada 13 Juli 2024. Barulah kemudian perhelatan pilkada serentak pula pada 27 November di tahun yang sama.
Frekuensi pemilihan yang tinggi dalam waktu singkat ini berpotensi menimbulkan kelelahan politik (political fatigue). Efek buruknya, masyarakat merasa jenuh dan kehilangan motivasi untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Kejenuhan ini diperparah oleh proses kampanye yang terus-menerus, menimbulkan rasa bosan dan ketidakpedulian di kalangan pemilih.
Banyak yang akhirnya memilih untuk tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena merasa bahwa suara mereka tidak akan membawa perubahan yang signifikan dalam jangka pendek. Pemilih yang sudah berkali-kali mendengar janji politik dari berbagai kandidat bisa merasa skeptis terhadap efektivitas pemilu dalam menghadirkan perubahan nyata bagi kehidupan mereka.
Apalagi masyarakat Minangkabau. Mereka enggan berulang-ulang ke TPS dalam waktu yang cukup singkat. Kemalasan ini memperburuk tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024.
Minim Dorongan Kandidat dan Sosialisasi Kurang Efektif
Selain faktor internal dari masyarakat, rendahnya partisipasi juga disebabkan oleh minimnya sosialisasi yang efektif dari penyelenggara Pemilu dan kurangnya dorongan atau pun pendidikan politik dari para kandidat.
Pemilih yang merasa jenuh akan lebih sulit untuk diyakinkan kembali agar hadir di TPS, apalagi jika kandidat tidak punya keterampilan atau seni membangunkan semangat pemilih. Dalam hal ini, diperlukan strategi komunikasi yang lebih inovatif dan persuasif agar masyarakat tetap merasa penting untuk menggunakan hak pilihnya.
Kandidat yang bertarung di Pilkada juga harus lebih aktif. Yakinkan masyarakat bahwa pemilihan kepala daerah memiliki dampak langsung terhadap kehidupan mereka. Berikan janji-janji politik yang masuk akal dan realistis untuk ditunaikan jika kelak memenangkan Pilkada.
Di sisi lain, media sosial dan kampanye digital yang seharusnya menjadi alat efektif dalam menarik perhatian pemilih muda juga belum dimanfaatkan secara optimal. Banyak kandidat yang masih menggunakan metode kampanye konvensional seperti baliho dan spanduk, yang kurang menarik perhatian generasi muda yang lebih terbiasa dengan informasi digital.
Jika strategi kampanye tidak diperbarui dan disesuaikan dengan tren komunikasi saat ini, maka sulit untuk meningkatkan partisipasi pemilih, terutama di kalangan pemilih muda yang semakin apatis terhadap politik.
Partisipasi pemilih yang rendah dalam Pilkada 2024 di Sumbar dapat berdampak negatif terhadap legitimasi hasil pemilu. Jika jumlah pemilih yang datang ke TPS menurun drastis, maka kepala daerah yang terpilih mungkin tidak akan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Hal ini bisa berujung pada rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan daerah dan semakin memperburuk kondisi demokrasi lokal.
Selain itu, rendahnya partisipasi juga dapat membuka peluang bagi praktik politik uang dan mobilisasi pemilih yang tidak sehat. Dengan jumlah pemilih yang lebih sedikit, kandidat yang memiliki sumber daya besar bisa lebih mudah mengarahkan hasil pemilu melalui praktik-praktik yang tidak etis. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip demokrasi yang ideal, di mana setiap suara harus memiliki bobot yang sama dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kehendak bebas pemilih.
Bila tren rendahnya partisipasi ini terus berlanjut, maka pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu mengevaluasi kembali jadwal pemilu di masa mendatang. Bisa jadi, perlu ada perubahan dalam sistem pemilihan agar tidak terjadi penumpukan pemilu dalam satu tahun yang sama, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani untuk terus datang ke TPS dalam waktu yang berdekatan.