Opini

14

Efektivitas Sidalih dalam Pilkada Sumatera Barat

  Gio Afandi Pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia adalah peristiwa penting dalam sistem demokrasi karena memberikan ruang kepada masyarakat untuk memilih calon pemimpin pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sistem yang digunakan dalam proses pemilihan memengaruhi kualitas pilkada, terutama dalam hal manajemen data pemilih. Di sinilah Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) berperan sebagai inovasi untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang berhak memilih terdaftar secara akurat, dan bahwa proses pemilihan dilakukan dengan cara yang jelas dan akurat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat Sidalih yang menggunakan teknologi informasi untuk mengelola dan memutakhirkan data pemilih secara lebih efisien. Sebagai salah satu alat penting dalam pemilu dan pemilihan. Sidalih bertujuan untuk mengurangi kemungkinan kesalahan administrasi data pemilih, yang selama ini sering menjadi masalah dalam setiap pemilu. Penggunaan Sidalih untuk mengelola data pemilih di Sumatera Barat, yang terkenal memiliki wilayah yang luas dan geografis yang beragam, diharapkan dapat meningkatkan kualitas pilkada dengan memastikan bahwa setiap warga negara terdaftar dengan benar dan tidak ada suara yang hilang karena kesalahan administrasi. Namun, penggunaan Sidalih di Sumatera Barat menghadapi banyak kesulitan. Efektifitas sistem ini dipengaruhi oleh sejumlah kendala, baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. KPU awalnya menciptakan Sidalih untuk membantu pengelolaan data pemilih pada saat pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Sebelum Sidalih, pengelolaan data pemilih masih dilakukan secara manual yang sering kali menimbulkan masalah seperti pemilih ganda, data yang tidak mutakhir, atau bahkan pemilih yang tidak pernah terdaftar. Sidalih memungkinkan KPU pusat, KPU daerah, dan pihak terkait lainnya untuk melakukan pemutakhiran data pemilih secara real time, mengintegrasikannya, dan mengaksesnya, sehingga prosesnya menjadi lebih efisien dan transparan. Sidalih memungkinkan petugas KPU mengelola informasi pemilih dengan lebih mudah. ​​Setiap informasi pemilih, termasuk nama, alamat, dan nomor induk kependudukan, dapat dimutakhirkan langsung di dalam sistem, sehingga tidak perlu lagi pencatatan secara manual. Hal ini tentu saja mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan dan meningkatkan akurasi data pemilih, sehingga memudahkan penyelenggaraan pemilihan daerah yang lebih transparan dan demokratis. Sidalih juga memungkinkan masyarakat untuk mengecek apakah namanya tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) melalui platform internet/website yang disediakan oleh KPU. Namun, meskipun Sidalih memiliki banyak keuntungan, implementasinya di lapangan menghadapi sejumlah tantangan. Sebagian besar tantangan ini berhubungan dengan kondisi geografis dan keterbatasan infrastruktur di beberapa daerah, terutama di wilayah pedalaman Sumatera Barat yang sulit dijangkau. Permasalahan yang cukup berarti dalam pelaksanaan Sidalih di Sumatera Barat adalah infrastruktur teknologi yang belum memadai, khususnya konektivitas internet yang belum merata. Sumatera Barat memiliki banyak daerah yang berada di daerah pegunungan atau daerah terpencil, yang sulit diakses karena keterbatasan konektivitas internet. Proses pemutakhiran data pemilih secara daring terhambat oleh kebutuhan akses internet yang cepat dan stabil agar Sidalih dapat berjalan dengan efektif. Di banyak daerah, petugas Pantarlih yang bertugas melakukan pemutakhiran data pemilih mengalami kendala konektivitas internet. Akibatnya, data yang seharusnya dapat diinput secara langsung sering kali terlambat atau terhambat, sehingga menghambat verifikasi dan dokumentasi informasi pemilih. Selain itu, terdapat daerah yang sangat terpencil dengan infrastruktur komunikasi yang terbatas, sehingga akses ke Sidalih menjadi sangat sulit, bahkan mustahil, bagi petugas setempat. Selain kendala konektivitas internet, kondisi geografis yang sulit juga memengaruhi ketepatan waktu dan efektivitas pengelolaan data pemilih. Sumatera Barat memiliki banyak daerah yang memiliki topografi yang sulit, sehingga waktu tempuh petugas Pantarlih menjadi lama dan biaya logistik menjadi tinggi. Hal ini tidak hanya menghambat pemutakhiran data pemilih, tetapi juga mempersulit pemantauan revisi data di daerah tersebut. Selain kendala fisik, kendala signifikan dalam pemanfaatan Sidalih adalah kurangnya pemahaman teknologi di kalangan petugas yang terlibat dalam proses pemutakhiran data pemilih. Meski telah mendapatkan pelatihan dari KPU, tidak semua petugas yang terlibat dalam pengelolaan data memiliki tingkat kecakapan teknologi yang memadai untuk menjalankan sistem ini secara efektif. Banyak petugas di daerah dengan keterbatasan akses teknologi sering kali menghadapi kendala dalam memahami fungsi Sidalih dan menggunakannya secara efektif. Pemahaman yang kurang memadai dapat menghambat kemampuan petugas untuk menyampaikan data secara efektif atau menyebabkan kesalahan selama proses verifikasi. Hal ini tentu akan memengaruhi kualitas data pemilih di Sidalih, yang selanjutnya dapat mengubah arah penyelenggaraan pilkada. Kesulitan ini lebih terlihat di daerah yang belum mengenal teknologi informasi. Banyak petugas Pantarlih yang terbiasa dengan sistem manual mengalami kendala dalam bertransisi ke sistem berbasis digital yang memerlukan keterampilan dan keahlian teknologi tingkat lanjut. Meski KPU berupaya memberikan pelatihan yang komprehensif, pemahaman petugas di daerah perkotaan dan pedesaan sering kali mengalami kesenjangan. Bahkan KPU sudah melakukan Bimbingan teknik terkait Sidalih. Namun ada beberapa petugas kurang mahir terkait IT untuk itu Panitia Pemungutan Suara (PPS) di daerah yang ada petugas Pantarlih yang kurang mahir berupaya memberikan edukasi semaksimal mungkin agar tercapainya target verifikasi data melalui akun sidalihnya. Sebaliknya, masyarakat Sumatera Barat memiliki pendapat yang berbeda tentang penggunaan sistem Sidalih, meskipun sistem ini sangat memudahkan KPU untuk mengelola data pemilih. Sebagian besar masyarakat, terutama mereka yang tinggal di kota-kota, merasa puas dengan kemudahan Sidalih. Mereka meningkatkan kepercayaan mereka terhadap proses pemilihan yang lebih transparan dan efisien karena mereka dapat dengan mudah mengakses informasi tentang daftar pemilih melalui platform online dan memastikan apakah nama mereka terdaftar dalam DPT. Namun, keberadaan Sidalih terasa lebih sulit bagi beberapa komunitas yang tinggal di daerah pedesaan dan terpencil. Proses verifikasi data pemilih dapat menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang tidak terbiasa dengan teknologi atau tidak memiliki akses internet yang cukup. Tidak jarang mereka harus bergantung pada petugas setempat untuk membantu memastikan apakah mereka terdaftar dalam DPT. Mengingat keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang sistem digital yang digunakan, ada beberapa tempat di mana orang masih ragu dengan akurasi data yang terdaftar. Dengan tingkat literasi digital yang rendah di beberapa masyarakat, masalah ini semakin diperburuk. Mereka khawatir bahwa data mereka tidak tercatat dengan benar, bahkan jika sudah terdaftar dalam DPT, ketika menghadapi sistem yang serba digital. Kekhawatiran semacam ini menunjukkan betapa pentingnya sosialisasi dan pendidikan yang lebih mendalam kepada masyarakat agar mereka lebih memahami manfaat Sidalih dan bagaimana menggunakannya dengan benar. Meskipun ada beberapa hambatan yang menghalangi pelaksanaannya, Sidalih terus memberikan kontribusi positif dalam Pilkada Sumatera Barat. KPU dan jajarannya dapat mengurangi kemungkinan pemilih ganda, kesalahan pencatatan, dan ketidakakuratan data pemilih yang selama ini menjadi masalah besar selama proses pemilihan dengan sistem ini. Pemilih yang terdaftar dapat lebih mudah memeriksa status mereka, sehingga jumlah pemilih yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya berkurang. Sidalih juga meningkatkan transparansi dalam proses pilkada dengan memberi masyarakat akses ke daftar pemilih untuk melihat apakah mereka terdaftar dengan benar. Ini meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemilu, terutama bagi mereka yang sebelumnya memiliki kekhawatiran tentang keakuratan data pemilih. Karena masyarakat percaya bahwa mereka dapat memilih dengan aman, transparansi ini akan mendorong mereka untuk lebih aktif berpartisipasi dalam pilkada. Namun, KPU perlu mempertimbangkan beberapa hal untuk memaksimalkan potensi besar Sidalih. Langkah-langkah penting yang harus diambil termasuk meningkatkan infrastruktur internet di daerah-daerah terpencil, memberikan pelatihan yang lebih baik kepada petugas, dan meningkatkan sosialisasi masyarakat. Secara jangka panjang, Sidalih dapat berfungsi sebagai sistem yang sangat berguna untuk menjamin pilkada yang lebih terbuka, akurat, dan inklusif. Oleh karena itu, Sidalih telah meningkatkan kualitas Pilkada Sumatera Barat. Sistem ini memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan transparansi dan akurasi data pemilih, meskipun masih ada beberapa tantangan yang harus diatasi, seperti keterbatasan infrastruktur dan kurangnya pemahaman teknologi. Akibatnya, untuk memaksimalkan penggunaan Sidalih di masa depan, perbaikan yang terus-menerus diperlukan. Langkah-langkah yang harus segera diambil termasuk meningkatkan pelatihan petugas, memperluas akses internet di daerah-daerah terpencil, dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menggunakan dan memeriksa data pemilih. Dengan perbaikan ini, Sidalih diharapkan dapat mencapai Pilkada yang lebih jelas, efektif, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam demokrasi Indonesia.


Selengkapnya
48

Daftar Pemilih Partisipatif pada Pilkada Sumatera Barat

 Aldianto Ilham Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu mekanisme demokrasi yang penting dalam menentukan arah kebijakan dan kepemimpinan di tingkat lokal. Salah satu aspek krusial dalam penyelenggaraan pilkada adalah proses pemutakhiran daftar pemilih. Daftar pemilih yang akurat dan partisipatif menjadi fondasi bagi terciptanya pemilu yang adil, transparan, dan inklusif. Di Sumatera Barat, proses pemutakhiran daftar pemilih untuk pilkada telah berjalan dengan baik, tanpa adanya permasalahan yang signifikan. Hal ini tidak lepas dari peran teknologi, khususnya aplikasi E-Coklit, yang telah membantu Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) dalam melakukan pencocokan dan penelitian daftar pemilih secara lebih efisien. Namun, meskipun proses pemutakhiran telah berjalan relatif lancar, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi untuk meningkatkan partisipasi dan akurasi daftar pemilih di masa mendatang. Salah satu indikator keberhasilan proses pemutakhiran daftar pemilih di Sumatera Barat adalah minimnya masalah yang muncul selama tahapan pilkada. Aplikasi E-Coklit, yang digunakan oleh Pantarlih, telah terbukti efektif dalam memudahkan proses pencocokan dan verifikasi data pemilih. Aplikasi ini memungkinkan Pantarlih untuk melakukan pendataan secara digital, mengurangi kesalahan manusia (human error), dan mempercepat proses pemutakhiran. Selain itu, penggunaan teknologi ini juga membantu dalam mengidentifikasi pemilih yang telah pindah domisili, meninggal dunia, atau mengalami perubahan data lainnya. Dengan demikian, daftar pemilih yang dihasilkan menjadi lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, di balik keberhasilan tersebut, masih terdapat beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian serius. Salah satunya adalah adanya pemilih yang telah dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk masuk dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS), tetapi namanya masih tercantum dalam daftar pemilih. Hal ini menunjukkan bahwa proses pendataan secara de facto belum sepenuhnya masif dan akurat. Pendataan de facto, yang seharusnya dilakukan secara door-to-door, masih menemui kendala dalam pelaksanaannya. Beberapa faktor yang memengaruhi hal ini antara lain keterbatasan sumber daya manusia, luasnya wilayah yang harus dijangkau, serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan perubahan data mereka. Akibatnya, data pemilih yang dihasilkan tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil di lapangan. Permasalahan yang masih terjadi dalam Sistem Informasi Daftar Pemilih (Sidalih) adalah adanya data pemilih dengan RT 00/RW 00 atau data yang bersifat invalid. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam pencatatan alamat pemilih, yang dapat berdampak pada validitas daftar pemilih tetap. Selain itu, masih ditemukan pemilih yang alamatnya tidak sesuai dengan data yang tercatat dalam daftar pemilih, sehingga berpotensi menimbulkan kesalahan dalam penentuan lokasi pemungutan suara. Permasalahan lainnya adalah keterlambatan atau ketidakterhubungan data bagi pemilih yang baru saja pindah domisili, di mana seharusnya alamat baru mereka dapat langsung terkoneksi dalam sistem Sidalih untuk memastikan hak pilih mereka tetap terjamin tanpa kendala administratif. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan sistem yang lebih responsif dan sinkronisasi data yang lebih akurat guna meminimalisir ketidaksesuaian dalam daftar pemilih. Selain itu, regulasi terkait pemutakhiran daftar pemilih juga perlu diperbaharui. Regulasi yang ada saat ini dinilai belum sepenuhnya mampu mengakomodir dinamika perubahan data pemilih, terutama di era digital seperti sekarang. Misalnya, belum ada mekanisme yang jelas untuk mengintegrasikan data kependudukan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) dengan data pemilih yang dimiliki oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, integrasi data antara kedua instansi ini dapat meminimalisir terjadinya kesalahan dalam daftar pemilih. Oleh karena itu, diperlukan revisi regulasi yang lebih komprehensif untuk memastikan bahwa proses pemutakhiran daftar pemilih dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Tantangan lain yang dihadapi adalah rendahnya partisipasi pemilih, yang salah satunya disebabkan oleh jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang terbatas. Menurut aturan yang berlaku, satu TPS hanya dapat menampung maksimal 600 orang pemilih. Aturan ini seringkali menimbulkan masalah di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, karena jumlah TPS yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pemilih yang ada. Akibatnya, banyak pemilih yang harus menempuh jarak jauh untuk mencapai TPS, atau bahkan memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya karena alasan kepraktisan. Hal ini tentu saja berdampak pada tingkat partisipasi pemilih, yang pada akhirnya memengaruhi legitimasi hasil Pilkada. Partisipasi pemilih dalam pilkada merupakan indikator penting dalam mengukur tingkat demokrasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses politik. Di Sumatera Barat, partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Berdasarkan data dan analisis yang tersedia, beberapa faktor utama yang memengaruhi partisipasi pemilih di Sumatera Barat antara lain adalah kurangnya sosialisasi, keterbatasan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS), masalah administrasi kependudukan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu, serta faktor geografis dan budaya yang khas di daerah tersebut. Salah satu faktor yang memengaruhi partisipasi pemilih adalah keterbatasan jumlah TPS. Menurut aturan yang berlaku, satu TPS hanya dapat menampung maksimal 600 pemilih. Di Sumatera Barat, yang memiliki wilayah geografis yang beragam dengan kepadatan penduduk yang tidak merata, aturan ini seringkali menimbulkan masalah. Di daerah perkotaan seperti Padang, jumlah TPS yang terbatas menyebabkan antrean panjang dan waktu tunggu yang lama, sehingga banyak pemilih yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Sementara itu, di daerah pedesaan dan terpencil, jarak yang jauh ke TPS menjadi hambatan tersendiri bagi masyarakat. Masalah administrasi kependudukan juga menjadi faktor penting yang memengaruhi partisipasi pemilih. Banyak pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena kesalahan dalam proses pemutakhiran data. Misalnya, pemilih yang telah pindah domisili atau mengalami perubahan data kependudukan seringkali tidak melakukan pembaruan data secara tepat waktu. Selain itu, integrasi data antara KPU dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) yang belum optimal menyebabkan banyak data pemilih yang tidak akurat. Akibatnya, banyak pemilih yang merasa kecewa karena tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu juga turut memengaruhi partisipasi pemilih. Di Sumatera Barat, sebagaimana daerah lain di Indonesia, masih terdapat skeptisisme di kalangan masyarakat terhadap integritas penyelenggaraan pemilu. Isu-isu seperti kecurangan dalam penghitungan suara, politik uang (money politics), dan intervensi dari pihak tertentu seringkali menjadi alasan bagi masyarakat untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu, ketidakpuasan terhadap calon yang diusung oleh partai politik juga menjadi alasan bagi sebagian masyarakat untuk golput (golongan putih). Faktor geografis dan budaya juga tidak dapat diabaikan. Sumatera Barat memiliki topografi yang beragam, mulai dari daerah pantai hingga pegunungan, yang menyulitkan akses ke TPS bagi masyarakat di daerah terpencil. Selain itu, budaya dan adat istiadat masyarakat Minangkabau yang kuat juga memengaruhi partisipasi pemilih. Misalnya, sebagian masyarakat lebih memprioritaskan kegiatan adat atau keagamaan daripada menggunakan hak pilihnya. Di sisi lain, keterlibatan tokoh adat dan tokoh agama dalam proses sosialisasi pemilu dapat menjadi kunci untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Berdasarkan data dari KPU Sumatera Barat, partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 diperkirakan mengalami penurunan dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Hal ini terlihat dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara, yang hanya mencapai 57,15% dari total daftar pemilih tetap. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan partisipasi pemilih pada Pilkada 2020, yang mencapai sekitar 61,68%. Penurunan ini menunjukkan bahwa berbagai faktor yang telah disebutkan di atas memiliki dampak signifikan terhadap partisipasi pemilih. Untuk meningkatkan partisipasi pemilih di masa mendatang, KPU Provinsi Sumatera Barat perlu melakukan berbagai upaya perbaikan. Pertama, sosialisasi yang lebih intensif dan inklusif perlu dilakukan, baik melalui media konvensional maupun digital. Kedua, penambahan jumlah TPS dan penyebarannya yang lebih merata dapat memudahkan akses masyarakat ke tempat pemungutan suara. Ketiga, integrasi data kependudukan antara KPU dan Disdukcapil perlu ditingkatkan untuk memastikan akurasi daftar pemilih. Keempat, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilu dapat membantu membangun kepercayaan masyarakat. Terakhir, pelibatan tokoh adat dan tokoh agama dalam proses sosialisasi dapat menjadi strategi efektif untuk meningkatkan partisipasi pemilih, terutama di daerah pedesaan dan terpencil. Dengan demikian, partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 di Sumatera Barat dipengaruhi oleh kombinasi faktor sosial, administratif, dan kultural. Upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih di masa mendatang memerlukan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, dengan memanfaatkan teknologi serta melibatkan seluruh stake holder terkait. Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, KPU perlu memanfaatkan teknologi secara lebih optimal, sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu contoh yang dapat diterapkan adalah penggunaan platform virtual seperti zoom meeting untuk mengontrol kinerja Pantarlih. Dengan memanfaatkan teknologi ini, KPU dapat melakukan pengawasan secara real-time terhadap proses pemutakhiran daftar pemilih, tanpa harus melakukan pertemuan fisik. Hal ini tidak hanya meningkatkan efisiensi dalam pengawasan, tetapi juga meminimalisir biaya operasional yang harus dikeluarkan. Selain itu, penggunaan teknologi virtual juga dapat memudahkan koordinasi antara KPU dengan Pantarlih di daerah-daerah terpencil, yang selama ini seringkali mengalami kesulitan dalam mengakses informasi. Selain itu, KPU juga perlu mempertimbangkan untuk mengembangkan sistem pendataan pemilih yang lebih terintegrasi dan berbasis data real-time. Misalnya, dengan memanfaatkan teknologi big data dan artificial intelligence (AI), KPU dapat melakukan analisis terhadap data pemilih secara lebih mendalam. Teknologi ini dapat membantu mengidentifikasi pola-pola perubahan data pemilih, seperti perpindahan domisili atau perubahan status kependudukan, sehingga proses pemutakhiran daftar pemilih dapat dilakukan secara lebih proaktif. Selain itu, integrasi data antara KPU dengan instansi terkait, seperti Disdukcapil dan Badan Pusat Statistik (BPS), juga perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa data pemilih yang dihasilkan benar-benar akurat dan paling update. Di sisi lain, partisipasi masyarakat juga perlu ditingkatkan melalui berbagai upaya sosialisasi dan edukasi. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya mendaftarkan diri sebagai pemilih dan melaporkan perubahan data mereka secara tepat waktu. KPU dapat memanfaatkan media sosial dan platform digital lainnya untuk menjangkau masyarakat, terutama generasi muda, yang saat ini lebih akrab dengan teknologi informasi. Selain itu, KPU juga perlu melibatkan berbagai stake holder, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh agama, dan tokoh adat, untuk membantu menyebarluaskan informasi terkait pemutakhiran daftar pemilih. Pada konteks Sumatera Barat, upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih juga perlu mempertimbangkan karakteristik sosial-budaya masyarakat setempat. Sumatera Barat, yang dikenal dengan sistem matrilineal dan adat Minangkabau yang kuat, memiliki dinamika sosial yang unik. Oleh karena itu, KPU perlu merancang strategi yang sesuai dengan konteks lokal, misalnya dengan melibatkan ninik mamak (pemimpin adat) dan tokoh masyarakat dalam proses sosialisasi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya partisipasi dalam pemilu, sekaligus memastikan bahwa proses pemutakhiran daftar pemilih dapat berjalan lebih efektif. Secara keseluruhan, proses pemutakhiran daftar pemilih untuk pilkada di Sumatera Barat telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, terutama dengan adanya dukungan teknologi seperti aplikasi E-Coklit. Namun, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi, seperti masalah pemilih TMS yang masih tercantum dalam daftar pemilih, pendataan de facto yang kurang masif, regulasi yang belum optimal, serta rendahnya partisipasi pemilih akibat jumlah TPS yang terbatas. Untuk mengatasi hal ini, KPU perlu memanfaatkan teknologi secara lebih optimal, memperbaharui regulasi yang ada, serta meningkatkan partisipasi masyarakat melalui berbagai upaya sosialisasi dan edukasi. Dengan demikian, diharapkan proses pemutakhiran daftar pemilih di masa mendatang dapat berjalan lebih efektif, akurat, dan partisipatif, sehingga mendukung terciptanya pilkada yang lebih demokratis dan berkualitas.


Selengkapnya
130

Keselamatan Kerja Penyelenggara Ad Hoc

Jumiati Kepala Bagian  Parhubmas dan SDM Sekretariat KPU Provinsi Sumatera Barat Badan ad hoc dalam melaksanakan tugasnya penuh dengan tekanan dari pihak ekternal yang tidak bisa dihindari karena bersentuhan langsung dengan pemangku kepentingan terutama peserta pemilihan. Karakter geografis yang sangat beragam juga menambah beban berat dan resiko bagi penyelenggara ad hoc sehingga ini perlu diimbangi dengan jaminan sosial yang jelas dari pemerintah. Hasil evaluasi Pemilu tahun 2019 semakin memperjelas resiko kerja penyelenggara ad hoc di berbagai tingkatan karena banyak dari penyelenggara ad hoc yang mengalami kecelakaan kerja yang berakibat sakit bahkan meninggal dunia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian dengan semangat memberikan perlindungan kepada tenaga ad hoc penyelenggara Pilkada Tahun 2024, serta kondisi hasil evaluasi Pemilu Tahun 2019, maka untuk pelaksanaan Pemilihan (Pilkada) Tahun 2024 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Nomor 59 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pemberian Santunan Kecelakaan Kerja Dan Santunan Kematian Bagi Badan Ad Hoc Penyelenggara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024. Tujuan pedoman teknis ini antara lain pedoman dalam mengidentifikasi penyelenggara Pemilu dan Pemilihan di tingkat PPK, PPS, KPPS, Pantarlih, dan Petugas Ketertiban TPS yang berhak menerima santunan, memberikan pedoman dalam pengadministrasian pemberian santunan dan sebagai pedoman dalam pembayaran santunan. Beberapa hal prinsip yang diatur dalam keputusan tersebut antara lain tentang pemberian santunan kematian dan santunan kecelakaan kerja badan ad hoc, besaran pemberian santunan kematian dan santunan kecelakaan kerja badan ad hoc dan mekanisme pemberian santunan kematian dan santunan kecelakaan kerja badan ad hoc. Untuk besaran santunan yang dapat diterima oleh penyelenggara ad hoc yang mengalami kecelakaan kerja diatur dalam keputusan ini secara berjenjang yaitu santunan bagi yang meninggal santunan sebesar Rp36.000.000, cacat permanen santunan sebesar Rp30.800.000, luka berat dengan rawat inap sebesar Rp16.500.000, luka sedang dan rawat inap 3-4 hari santunan sebesar Rp8.250.000, luka sedang dan rawat inap 1-2 hari santunan sebesar Rp4.000.000, rawat jalan santunan sebesar Rp2.000.000, dan biaya pemakaman sebesar Rp10.000.000,. Untuk penyelenggara ad hoc Pemilu Tahun 2024 di Sumatera Barat pelaksanaan Keputusan KPU Nomor 59 Tahun 2023 sudah berjalan dengan baik. Sebanyak 119 (seratus sembilan belas) orang yang mengalami kecelakaan kerja dengan resiko sakit bahkan meninggal dunia, sudah bayarkan santunan oleh KPU Kabupaten/Kota setelah dilakukan verifikasi kebenaran dan keabsahan dokumen. Rincian resiko kerja penyelenggara ad hoc pada Pemilu Tahun 2024 dialami oleh PPK dan sekretariat PPK sebanyak 8 orang, PPS dan Sekretariat PPS sebanyak 24 orang, dan KPPS serta Petugas Keamanan TPS sebanyak 87 orang. Dengan rincian sakit sebanyak 107 orang dan meninggal sebanyak 12 orang. Pada Pemilihan Serentak Tahun 2024 tercatat sebanyak 122.774 (seratus dua puluh dua ribu tujuh ratus tujuh puluh empat) orang penyelenggara ad hoc yang membantu KPU Provinsi Sumbar, baik di tingkat PPK, PPS, Pantarlih maupun KPPS. Pola pemberian santunan masih di terapkan oleh KPU Provinsi Sumatera Barat dengan pengalokasian belanja santunan dalam RAB KPU Provinsi Sumatera Barat, sebesar Rp1.500.000.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah) dan disetujui oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Sejak PPK dan PPS dilantik pertengahan Mei 2024, pola jaminan dengan memberikan santunan masih berjalan normal terhadap beberapa kasus kecelakaan kerja yang dialami penyelenggara ad hoc termasuk pada tingkat Pantarlih dengan masa kerja bulan Juni dan Juli 2024. Pemberian santunan berlaku sampai dengan peristiwa yang terjadi sampai dengan tanggal 24 November 2024. Setiap peristiwa kecelakaan kerja yang dialami penyelenggara ad hoc, setelah di laporkan secara tertulis oleh KPU Kabupaten/Kota, dilakukan verifikasi oleh KPU Provinsi Sumatera Barat dan jika dinyatakan lengkap dan benar akan dilakukan pembayaran melalui transfer ke rekening yang bersangkutan atau ahli waris. Tercatat mulai bulan Mei 2024 sampai dengan 24 November 2024 terdapat 31 (tiga puluh satu) kecelakaan kerja yang dibayarkan santunannya oleh KPU Provinsi Sumatera Barat dengan nilai sebesar Rp. 263.000.000,- (dua ratus enam puluh tiga juta) rupiah. Dalam proses berjalan, BPJS Ketenagakerjaan menawarkan pemberian jaminan ketenagakerjaan bagi tenaga ad hoc dilakukan dengan pola pembayaran premi setiap bulan sesuai dengan masa kerja ad hoc setiap tingkatan. BPJS berpandangan bahwa PPK, PPS dan KPPS dianggap pekerja rentang yang harus diberikan perlindungan dengan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Diskusi terkait tanggungjawab pembayaran premi menjadi pertimbangan KPU Provinsi Sumatera Barat untuk merubah pola santunan menjadi pola pembayaran premi BPJS Ketenagakerjaan, namun KPU RI melalui surat nomor 2564/SDM.06.7-SD/01/2024 tanggal 8 November 2024 memberikan izin penggunaan anggaran hibah pilkada untuk pembayaran iuran jaminan sosial ketenagakerjaan bagi badan ad hoc karena tenaga ad hoc dianggap salah satu Pegawai Non-PNS yang bekerja di instansi pemerintah. Dengan dasar ini maka, KPU Provinsi Sumatera Barat menjalin kerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan untuk mendaftarkan sebanyak 106.636 (seratus enam ribu enam ratus tiga puluh enam) orang tenaga ad hoc dengan total nilai jaminan sebesar Rp. 623.844.720,- (enam ratus dua puluh tiga juta delapan ratus empat puluh empat ribu tujuh ratus dua puluh rupiah). Dengan kerjasama ini, maka terhitung tanggal 25 November 2024 sampai dengan akhir Januari 2025, seluruh kecelakaan kerja yang dialami penyelenggara ad hoc dialihkan kepada BPJS ketenagakerjaan dengan cabang-cabang yang ada di Sumatera Barat. KPU Provinsi Sumatera Barat terhitung tanggal perjanjian sudah mendaftarkan kepesertaan seluruh penyelenggara ad hoc Pilkada 2024 se-Sumatera Barat dengan total sebanyak 106.636 (seratus enam ribu enam ratus tiga puluh enam) orang. Premi yang dibayarkan berbeda antara PPK, PPS dan KPPS sesuai dengan sisa masa kerja masing-masing tingkatan penyelenggara ad hoc serta besaran premi tergantung honor yang diterima.  Premi asuransi yang dibayarkan setiap bulan rinciannya adalah  ketua PPK sebesar Rp. 13.500,- anggota PPK Rp. 11.880,- Sekretaris PPK Rp. 9.990,-, Pelaksana PPK Rp. 7.020,- Ketua PPS Rp. 8.100,- anggota PPS Rp. 7.020,- Sekretaris PPS Rp. 6.210,-, Pelaksana PPS Rp. 5.670,-, Ketua KPPS Rp. 4.860,- anggota KPPS Rp. 4.590,- dan petugas ketertiban TPS Rp. 3.510,- Sepanjang masa kontrak sejak 25 November 2024 sampai 27 Januari 2025, terdapat sebanyak 34 (tiga puluh empat) kecelakaan kerja yang dialami penyelenggara ad hoc di berbagai tingkatan dengan 2 kasus meninggal dunia. Namun berdasarkan data dari BPJS Ketenagakerjaan Cabang Padang hanya 4 (empat) kejadian kecelakaan kerja yang tuntas sampai dengan proses pembayaran dengan nilai manfaat sebesar Rp. 85.376.820,- (delapan puluh lima juta tiga ratus tujuh puluh enam ribu delapan ratus dua puluh rupiah). Sampai dengan berakhirnya masa kerja PPK dan PPS tanggal 27 Januari 2025, masih terdapat proses pembayaran klaim asuransi yang belum tuntas oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan berbagai alasan. Keterangan yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan Kota Padang adalah proses pengajuan yang belum tuntas oleh peserta di kantor-kantor cabang kabupaten/kota se-Sumatera Barat. Diperkirakan ini terjadi karena nilai klaim yang kecil sehingga peserta malas melengkapi dokumen untuk proses klaim. Di lapangan juga terjadi perbadaan pemahaman oleh BPJS Ketenagakerjaan terkait dengan jenis kecelakaan kerja yang bisa diklaim oleh peserta dan menjadi diskusi yang cukup panjang. Kecelakaan kerja hanya diartikan sebagai kejadian tertabrak, terjatuh, terpukul, tersengat listrik yang menyebabkan cedera pada tubuh akibat ada unsur ruda paksa. Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 yang terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2023 mendefiniskan kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya dan penyakit yang disebabkan oleh lingkugan kerja. Keputusan KPU Nomor 59 tahun 2023 memiliki terjemahan yang sama dengan dengan Peraturan Pemerintah tentang kecelakaan kerja, sehingga banyak kasus sakit ketika bekerja dapat dibayarkan santunannya oleh KPU Provinsi Sumatera Barat. Pada tahap pemahaman ini, sudah mulai terasa kelemahan menggunakan BPJS Ketenagakerjaan ketika ingin memberikan jaminan kepada badan ad hoc jika dibandingkan dengan pola santunan yang digunakan sebelumnya. Kita harus menjelaskan secara detail seperti apa kategori kecelakaan kerja yang dialami oleh peserta dari penyelenggara ad hoc yang bisa ditanggung BPJS Ketenagakerjaan. Dalam proses pendaftaran kepesertaan tenaga ad hoc juga menjadi lama karena data yang cukup banyak, dimana seluruh badan ad hoc harus didaftarkan dengan beberapa elemen data yang harus benar. Pada saat klaim biaya kepada BPJS ketenagakerjaan yang langsung dilakukan oleh peserta, penyelenggara ad hoc melalui KPU Kabupaten/Kota mengeluhkan sangat rumit dan lambat, padahal nilai yang diterima penyelenggra ad hoc lebih sedikit dibandingkan ketika memakai pola santunan. Kalau untuk peserta yang mengalami sakit akibat kecelakaan kerja, hanya bisa di bayarkan sebanyak biaya pengobatan yang dikeluarkan oleh peserta. Untuk kasus kematian, biaya yang bisa di bayrakan oleh BPJS Ketenagakerjaan juga lebih rendah dibandingkan dengan pola santunan yang sudah diterapkan sebelumnya sebesar Rp. 46.000.000,- (empat puluh enam juta) rupiah sementara BPJS Ketenagakerjaan hanya membayarkan sebanyak Rp. 42.000.000,- (empat puluh dua juta) rupiah. Dengan beberapa kondisi tersebut di atas, dapat disimpulkan jaminan kerja bagi tenaga ad hoc lebih mudah dan lebih menguntungkan jika menggunakan pola santunan. BPJS Ketenagakerjaan yang diawal kerjasama diharapkan mempermudah proses pembayaran klaim kepada peserta ternyata pada prakteknya sering terbentur dengan pemahaman personil lembaga penyelenggara jaminan yang terkesan hanya mengejar keuntungan. Undang-undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan KPU serta Juknis KPU tetap bisa dilaksanakan dengan pola santunan yang sudah dipraktekkan pada Pemilu 2024 maupun Pilkada 2024. Pola santunan jelas lebih menguntungkan bagi penyelenggara ad hoc walaupun di sisi lain menambah beban pekerjaan KPU Kabupaten/Kota dalam melakukan verifikasi dokumen keabsahan penerima santunan bersamaan dengan tugas penyelenggaraan tahapan. Dalam hal pengelolaan keuangan negara, pola santunan jelas lebih hemat dari segi realisasi karena hanya dibayarkan sesuai nilai resiko yang dialami tenaga ad hoc berdasarkan dokumen yang disampaikan. Sementara pola asuransi yang harus bayar premi di depan bagi seluruh ad hoc yang ditetapkan sementara kejadian kecelakaan kerjanya badan ad hoc persentasenya sangat kecil dengan nilai yang jauh di bawah premi yang sudah dibayarkan.  Keterlibatan PPK, PPS dan KPPS dalam pemilu maupun pilkada akan terus berlanjut untuk masa yang akan datang sehingga kendala ataupun persoalan dalam penerapan jaminan bagi badan ad hoc merupakan bagian dari evaluasi besar pengelolaan penyelenggara ad hoc. Pengalaman pertama penerapan pola santunan maupun asuransi oleh KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam Pemilu maupun Pilkada Tahun 2024 harus menjadi pertimbangan dalam memilih santunan atau BPJS Ketenagakerjaan.


Selengkapnya
40

Eksistensi Perempuan Penyelenggara Ad Hoc

Hana Khairi Afriyanli Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2024 yang sukses tidak lepas dari campur tangan para pejuang demokrasi. Salah satu unsur tersebut adalah penyelenggara pemilu lebih khusus badan ad hoc pemilu. Mulai dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih), serta Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang memiliki peran vital dalam hajatan tersebut. Kebanggaan tersendiri bagi saya untuk bisa mengambil bagian dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024 di Kota Padang sebagai petugas PPK di Kecamatan Kuranji yang dilantik  pada 16 Mei 2024 bersama 55 (lima puluh lima) orang anggota PPK dari 11 (sebelas) kecamatan di Kota Padang. Saya sendiri diamanahkan sebagai Ketua PPK Kecamatan Kuranji sekaligus bertanggung jawab sebagai divisi Sumber Daya Manusia (SDM). Tentu menjadi Ketua PPK merupakan suatu tantangan baru serta pengalaman baru bagi saya. Kecamatan Kuranji sendiri merupakan kecamatan nomor dua terbesar di Kota Padang dengan Jumlah TPS Pilkada Tahun 2024 sebanyak 253 TPS dan dengan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 106.936 orang. Sebagai Ketua PPK, saya harus mampu berkoordinasi dengan berbagai pihak baik internal maupun eksternal. Juga harus memiliki kemampuan membangun komunikasi efektif dan membangun relasi serta bersinergi antar unsur masyarakat. Sebagai petugas PPK tidak luput dari godaan yang dapat menciderai integritas. Tidak dipungkiri banyak orang yang datang mencoba memengaruhi hasil penghitungan dengan menekan petugas PPK. Sebagai ujung tombak penghitungan suara di tingkat kecamatan, petugas PPK berhadapan dengan orang-orang partai politik, pemerintah, sesama penyelenggara pemilihan, maupun dengan masyarakat. Sebagai perempuan dan menjabat sebagai ketua PPK, pengalaman saya memberi pelajaran yang penting. Pengalaman yang bermakna bahwa memimpin sekaligus berkoordinasi dengan banyak pihak tidaklah gampang. Secara keseluruhan dari proses awal seleksi sampai berakhirnya masa tugas PPK telah menjadi pengalaman hidup yang akan selalu dikenang. Terlebih bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk dapat menjadi petugas PPK terutama dari kalangan perempuan. Dominasi budaya patriarki dan pandangan tentang perempuan lebih cocok bekerja di rumah dibandingkan bekerja di ruang publik masih santer terdengar. Namun perlu diketahui sejak bergulirnya reformasi, kesempatan perempuan Indonesia untuk ikut terlibat dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial serta bidang publik lainnya semakin meningkat. Begitu juga halnya dengan kesempatan dan keterlibatan dalam bidang kepemiluan seperti sebagai penyelenggara. Keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan ataupun proses kepemiluan pada sebuah negara sangatlah penting dan sine qua non di dalam demokrasi. Kepemimpinan perempuan menjadi isu publik yang selalu diperbincangkan. Peningkatan peran perempuan bukanlah tren apalagi fenomena baru seperti dikatakan sebagian orang. Perempuan sebagai kepala pemerintahan telah ada sejak abad ke-15. Kepemimpinan perempuan mulai bangkit dari tidur panjang sejak isu hak asasi manusia dan persamaan gender secara lantang disuarakan oleh aktivis feminisme. Kiprah perempuan tersebut semakin menonjol pada abad ke-21. Di berbagai negara, sebagian besar perempuan mengalami perkembangan dalam berbagai sisi kehidupan atau mobilitas vertikal. Sudah banyak kaum perempuan yang dapat mengenyam dunia pendidikan yang sejajar dengan kaum laki-laki sehingga dapat menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan. Hak setara dan non diskriminasi antara perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan berperan dan berpartisipasi dalam berbagai bidang adalah prinsip hak asasi manusia yang paling mendasar dan bagian integral dari demokrasi. Hak-hak ini diabadikan dalam peraturan hak asasi manusia tingkat regional dan internasional yang bersumber dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 yang menyatakan dari awal di Pasal 1 bahwa “semua manusia lahir dengan martabat dan hak yang setara.” Keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu terutama di badan ad hoc seperti PPK, PPS, Pantarlih dan KPPS pada pilkada serentak cukup masif. Berdasarkan data petugas penyelenggara berdasarkan jenis kelamin ada sebanyak 29% perempuan sebagai anggota PPK, 65% perempuan sebagai petugas PPS, dan 67,9% perempuan terlibat di tingkat KPPS. Dari sini bisa kita lihat ada peningkatan keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu. Perempuan semakin sadar dan berani untuk terlibat kegiatan-kegiatan publik. Hal ini bisa dikatakan perempuan juga mampu eksis dalam keterlibatan sebagai penyelenggara badan ad hoc Pilkada Tahun 2024. Keterlibatan perempuan pada badan ad hoc Pilkada 2024 menunjukan kesetaraan gender dan mampu dalam hal memimpin sebuah organisasi. Perempuan sebagai pemimpin memiliki hak sama dengan laki-laki. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai sosok yang lemah lembut akan tetapi memiliki fondasi penting dalam kehidupan keluarga, organisasi maupun di lingkungan bermasyarakat. Sejalan dengan reformasi dan konsep gender menempatkan perempuan pada posisi yang sama di semua bidang kehidupan tak terkecuali sebagai pemimpin. Pada dasarnya, perempuan memiliki sifat-sifat dasar untuk sukses sebagai pemimpin. Mereka cenderung lebih sabar, memiliki empati, dan multi tasking. Perempuan juga memiliki bakat untuk menjalin networking dan melakukan negosiasi. Demikian menurut Helen Fisher. Kemampuan-kemampuan itu tentu saja tidak eksklusif hanya ada pada perempuan. Namun ketimbang laki-laki, perempuan cenderung lebih sering menunjukkan sifat-sifat tersebut. Perempuan juga bertanggung jawab dan suka mengatasi tantangan-tantangan dalam pekerjaannya.


Selengkapnya
54

Jadi Penyelenggara? Kenapa Tidak!

Fitria Diane Pratiwi Syukri Suasana pemilihan mulai terasa, terutama dari apa yang saya amati di kota saya. Spanduk, poster serta pamflet ajakan para kandidat menempel di berbagai sudut kota. Termasuk ajakan untuk terlibat sebagai penyelenggara pemilihan di tingkat kelurahan pada pemilihan kepada daerah yang saya baca di akun media sosial milik KPU Kota Padang Panjang. "Wah, patut dicoba”, saya pikir. Pengalaman saya sebagai penyelenggara di tingkat TPS sejak Pemilu 2004 dapat menjadi modal utama. Naik tingkat sebagai Panitia Pemungutan Suara di Tingkat Kelurahan sepertinya akan menjadi pengalaman baru bagi saya. Seluruh tahapan selesi dilalui mulai pendaftaran melalui aplikasi SIAKBA dengan mengunggah dokumen yang dipersyaratkan, kemudian menyerahkan dokumen cetak ke sekretariat KPU Kota. Setelah dinyatakan lulus administrasi dan uji wawasan melalui CAT, saya pun lanjut ke tahapan wawancara sampai akhirnya saya terpilih sebagai anggota PPS pada Pemilihan Serentak tahun 2024 di Sumatera Barat menjadi operator data yang banyak berperan dalam mengelola data di tingkat kelurahan. Pasca pelantikan, saya dan teman-teman langsung disibukkan dengan berbagai tugas sebagai PPS di kelurahan. Di mulai dari pendaftaran calon PPDP atau Pantarlih Pilkada Serentak 2024, menyeleksi berkas dan mencek keanggotan mereka di partai politik serta menetapkan hasil seleksi petugas pemutakhiran data pemilih, hingga melaksanakan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih dari bulan Juni sampai Juli 2024. Pengalaman lain sebagai PPS Pilkada 2024 adalah menjadi penyelenggara Pemungutan Suara Ulang (PSU) anggota DPD sebagai tindak lanjut keputusan Mahkamah Konstitusi yang dilakukan bulan Juli 2024. Sebagai PPS, kami harus menugaskan kembali KPPS Pemilu 2024 di seluruh TPS beserta beberapa rutinitas PSU yang harus dilakukan  hingga larut malam termasuk mengikuti bimbingan teknis karena ada perubahan regulasi yang harus dipahami. Sebagai PPS Pilkada 2024 yang bertugas sebagai operator data, saya pun mengikuti berbagai kegiatan seperti rapat koordinasi penyusunan daftar pemilih , rapat pleno rekapitulasi, pleno rekapitulasi DPS serta rapat kerja pelaksanaan pilkada. Saya dan rekan-rekan PPS juga aktif memberikan unggahan terkait penyelenggaraan di akun media sosial PPS seperti himbauan cek status pemilih di website cekdptonline.kpu.id. PPS pun wajib melakukan uji publik DPS di kelurahan dilanjutkan dengan penempelan DPS di ruang terbuka masyarakat. Usai melaksanakan uji publik DPS, dilanjutkan dengan rapat pleno terbuka penetapan Daftar Pemilih Tetap. DPT yang telah ditetapkan melalui rapat pleno segera ditempel di seluruh RT dalam kelurahan. Kegiatan ini didampingi oleh PKD serta Panwascam. Tugas selanjutnya adalah tahap perekrutan KPPS Pilkada 2024, Bimtek Pengawasan Internal Badan ad hoc. Tak lupa pula sosialisasi pilkada kepada masyarakat terus dilakukan dengan berbagai metode seperti: door to door, blusukan, mengadakan senam sehat dan mengadakan berbagai lomba. Kami mendatangi banyak daerah termasuk daerah terjauh Pondok Kapur di atas Bukit Tui, memasang berbagai APK (Alat Peraga Kampanye) di beberapa tempat yang kami datangi. Saya juga mengikuti ToT sebagai persiapan PPS melaksanakan bimtek untuk KPPS, melantik KPPS dan akhirnya di hari Rabu pada 27 November 2024 pemungutan suara Pilkada Serentak Tahun 2024 dilaksanakan. Rasanya wajar kalau selama bertugas sebagai PPS cukup melelahkan. Memang, di awal saat pelantikan telah disampaikan bahwa bekerja sebagai penyelenggara pemilu harus siap tanpa mengenal jam kerja. Termasuk tidak mengenal tanggal merah di kalender. Harus pintar-pintar membagi waktu agar efektif dan efisien. Bijak mengatur skala prioritas pekerjaan. Bahkan, saya juga berkerja di instansi pemerintah yang mengharuskan hadir setiap hari. Nah, itu pula yang menjadi perhatian komisioner yang pada akhirnya meloloskan saya menjadi anggota PPS. Dengan komitmen yang sudah saya sepakati dan saya sanggupi, tentu saja saya harus konsisten dengan janji tersebut dan saya akan berusaha membagi waktu secermatnya agar pekerjaan bisa diselesaikan sesuai target. Bagi teman-teman yang berniat untuk menjadi penyelenggara ad hoc baik di tingkat KPPS, PPS atau PPK, harus memahami tugas pokok dari pekerjaan sebagai penyelenggara pemilu. Badan ad hoc ini memiliki tugas yang cukup penting selama pemungutan suara. Fungsi utamanya menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara. Kita harus menjunjung etika sebagai penyelenggara, sekaligus mengemban asas mandiri dan adil, tertib jujur hingga profesional.  Ada yang menarik di media sosial. Selama masa pemilu, banyak konten-konten terkait kepemiluan terutama unggahan yang menampilkan narasi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Banyak yang mengira petugas KPPS dianggap sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Narasi tersebut banyak bermunculan usai pelantikan sebagai petugas KPPS. Di salah satu unggahan yang lain, warganet membagikan candaan yang menganggap petugas KPPS sebagai menantu idaman. Alasannya karena memiliki gaji harian yang lebih besar. Tidak dapat dipungkiri, dan tidak bisa dibilang naif tentunya, terkait niatan untuk bergabung menjadi penyelenggara pemilu tidak lepas dari motif ekonomi, yaitu mencari penghasilan tambahan. Kenyataannya memang demikian, dimana honor sebagai penyelenggara pemilu bisa menjadi menyokong perekonomian meskipun bisa dibilang tidak terlalu besar. Namun terkadang hanya faktor ekonomilah yang bisa dianggap sebagai keuntungan bergabung menjadi penyelenggara pemilu. Padahal masih banyak faktor lain yang bisa dikatakan menjadi keuntungan bagi penyelenggara pemilu. Misalnya, sebagai penyelenggara kita mendapatkan pengetahuan dan kemampuan mengelola manajemen organisasi yang didapatkan melalui bimtek dan pelatihan. Pengalaman menjadi anggota PPS tentunya dapat menjadi portofolio atau track record pribadi pernah berkiprah di kegiatan penyelenggaraan pemilu. Kendati bertugas sebagai penyelenggara pemilu bersifat ad hoc atau sementara, akan tetapi rasa bangga telah berkiprah sebagai penyelenggara pemilu tidak bisa disembunyikan. Tentunya akan menjadi bagian dari kenangan hidup bahwa saya sempat berdarma bakti kepada negara dan bangsa Indonesia.


Selengkapnya
57

Penerapan SPBE Dalam Pilkada 2024

Irzal Zamzami Sekretaris KPU Provinsi Sumatera Barat Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Tahun 2024 di Sumatera Barat dilaksanakan beririsan dengan tahapan pemilu untuk memilih legislatif dan presiden-wakil presiden. Pelaksanaan Pilkada di tahun yang bersamaan dengan pemilu, tentu menjadi tantangan tersendiri oleh KPU Provinsi Sumatera Barat apalagi harus melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan sempitnya waktu yang tersedia dan harus melakukan 3 (tiga) kali pemungutan suara dalam tahun yang sama, maka perlu dilakukan inovasi dan transformasi digital, serta tata kelola pemilu yang baik sehingga prinsip penyelenggaraan pemilu tetap terus terjaga pada setiap tahapan yang dijalankan. Salah satu bentuk inovasi KPU secara kelembagaan, dalam pelaksanaan tahapan pemilu maupun pilkada adalah dengan menerapkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2028 dimana setiap instansi pemerintah wajib menerapkan SPBE dengan tujuan meningkatkan efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Mengingat pelayanan publik yang dilakukan KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota bersentuhan langsung dengan kepentingan publik yang berasal dari peserta pemilu dan pilkada, serta masyarakat pemilih, maka upaya pengembangan teknologi informasi dalam tata kelola pemilu terus dilakukan. Pengguna aplikasi-aplikasi yang dibuat KPU juga cukup signifikan, mulai dari penyelenggara tingkat provinsi, kabupaten/kota, ad hoc sampai KPPS, hingga masyarakat sebagai pemilih, termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan jajaran sebagai mitra penyelenggara. Pada Pilkada Serentak Tahun 2024, KPU Provinsi Sumatera Barat menggunakan beberapa aplikasi yang dibuat oleh KPU RI dalam mendukung pelaksanaan tahapan. Aplikasi yang dibangun sesuai dengan tujuannya adalah memberikan kemudahan kepada penyelenggara, peserta pemilihan, dan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kepemiluan baik yang diperuntukkan untuk tahapan maupun non tahapan. Untuk mendukung tahapan Pilkada 2024, setidaknya terdapat 7 (tujuh) aplikasi yang digunakan KPU Provinsi Sumatera Barat sebagai alat bantu dalam pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak Tahun 2024, antara lain SIDALIH (Sistem Informasi Data Pemilih), SILON (Sistem Informasi Pencalonan), SIKADEKA (Sistem Informasi Dana Kampanye), SILOG (Sistem Informasi Logistik), SIAKBA (Sistem Informasi Anggota KPU dan Badan Ad Hoc), SIREKAP (Sistem Informasi Rekapitulasi), SITAB (Sistem Informasi Pertanggungjaban Anggaran Badan Ad Hoc). Seluruh aplikasi yang dibuat, penggunanya beragam dari internal, peserta pemilihan maupun masyarakat secara umum. Dengan segala keterbatasan aplikasi yang sudah dibangun secara mandiri oleh KPU RI, banyak kemudahan yang dirasakan oleh pengguna terutama oleh peserta pemilihan. Dalam hal pendaftaran pasangan calon misalnya, cukup dengan mengunggah data melalui SILON. Begitupun pendaftaran sebagai anggota KPU, penyelenggara ad hoc bisa dilakukan secara online melalui aplikasi SIAKBA. Dalam hal pemutakhiran data pemilih, masyarakat juga dapat secara mandiri melihat statusnya apakah terdaftar atau tidak sebagai pemilih melalui aplikasi DPT online. Untuk memantau proses penyediaan logistik dan distribusinya sampai ke TPS, penyelenggara dan penyedia barang dan jasa logistik pemilu menggunakan SILOG sebagai alat bantu koordinasi sehingga jika terdapat kekurangan dapat segera diatasi dan tidak mengganggu pelaksanaan pemungutan suara. Termasuk dalam hal pertanggungjawaban keuangan yang selama ini menjadi kendala terutama dalam mengumpulkan SPJ di daerah-daerah sulit, dengan SITAB semuanya bisa dipermudah dengan mengunggah dokumen oleh penyelenggara ad hoc dan bisa diakses secara online bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk pemeriksaan. Sedangkan untuk menjamin keaslian data hasil penghitungan suara di TPS, KPU menyediakan aplikasi SIREKAP di mana petugas KPPS setelah melakukan penghitungan suara harus melakukan unggah dokumen asli hasil penghitungan dan terkoneksi ke website info pemilu dan bisa diakses oleh masyarakat. Di samping aplikasi yang berkaitan dengan tahapan, banyak aplikasi dari lintas kementrian lembaga untuk menunjang kegiatan pelayanan rutin di KPU Provinsi Sumatera Barat, antara lain aplikasi SRIKANDI (Sistem Informasi Kearsipan Dinamis Terintegrasi) yang diinisiasi oleh ANRI, Kemenpan RB, dan BSSN. Ada juga aplikasi SAKTI (Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi) dari Kementrian Keuangan, aplikasi MyASN dari BKN, aplikasi E-Kinerja dari BKN, aplikasi SIMPEG KPU, aplikasi SIMPEL KPU, aplikasi e-SPIP (Elektronik Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) yang dibangun oleh BPKP. Dalam hal keterbukaan informasi publik, KPU Provinsi Sumatera Barat menyediakan fasilitas aplikasi e-PPID dimana masyarakat bisa mengajukan permohonan informasi secara online dan data akan dikirimkan melalui email. Secara serta merta seluruh data yang dianggap layak dipublikasikan juga di sampaikan melalui media sosial seperti website, Instragam dan YouTube. Kondisi di atas menggambarkan bahwa kemajuan teknologi informasi harus dilihat sebagai peluang untuk mengefektifkan dan mengefisienkan pekerjaan sehingga memberikan manfaat yang maksimal kepada masyarakat. KPU Provinsi Sumatera Barat sudah membuktikan bahwa penerapan SPBE dalam melaksanakan pekerjaan tahapan Pilkada Tahun 2024 dan pekerjan rutin lainnya memberikan kemudahan pelayanan kepada internal maupun ekternal. Diperlukan sosialisasi yang lebih masif kepada publik terkait penggunaan aplikasi sebagai bagian dari sarana pelayanan di KPU Provinsi Sumatera Barat, sehingga pemanfaatannya sarana pelayanan secara online bisa lebih ditingkatkan baik pada saat pelaksanaan tahapan pemilu dan pemilihan, maupun dalam pelayanan rutin kelembagaan lainnya. Penerapan SPBE dalam pelayanan publik selain memberikan kemudahan juga mengurangi interaksi langsung antara pemberi dan penerima layanan sehingga mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih,efektif, efisien, transparan, dan akuntabel serta pelayanan yang berkualitas dan terpercaya untuk menciptakan birokrasi bersih dan melayani.


Selengkapnya