Opini

25

Akronim Sederhana Dalam Formulir Pemilu dan Pemilihan

Haerul Hamka Pemilihan umum (pemilu) merupakan momen krusial dalam demokrasi bagi masyarakat untuk memilih pemimpin dan wakilnya, baik di tingkat nasional maupun daerah. Pemilu memastikan suara rakyat dihitung dan menjadi bagian dari kebijakan negara. Sementara itu, pemilihan lebih spesifik, seperti dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), yang melibatkan pemilihan pemimpin di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota. Kedua proses ini memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas demokrasi. Untuk menjaga stabilitas demokrasi pemilu dan pemilihan harus inklusif. Pemilu dan pemilihan yang inklusif dan demokratis memerlukan aksesibilitas yang merata dari semua pihak, termasuk penyelenggara pemilu yang mungkin memiliki latar belakang pendidikan yang beragam. Sebagai penyelenggara pemilu di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, saya merasakan langsung berbagai tantangan dalam proses penyelenggaraan pemilu, terutama terkait penggunaan istilah teknis dan akronim dalam formulir pemilu. Tidak hanya bagi masyarakat umum, tetapi bahkan bagi penyelenggara pemilu sendiri, istilah-istilah ini sering kali menjadi hambatan. Jika petugas pemilu yang bertanggung jawab atas teknis pelaksanaan saja mengalami kesulitan memahami berbagai akronim dalam formulir, maka pemilih yang hanya berinteraksi dengan istilah-istilah tersebut dalam waktu singkat tentu akan semakin kesulitan. Oleh karena itu, penyederhanaan akronim dan bahasa dalam formulir pemilu menjadi langkah penting untuk meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu. Lintau Buo Utara merupakan daerah yang memiliki keberagaman tingkat pendidikan masyarakatnya. Sebagian besar penduduknya memiliki latar belakang pendidikan menengah, dengan mayoritas lulusan sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat. Namun, masih banyak masyarakat yang hanya menyelesaikan pendidikan dasar atau bahkan tidak menamatkan sekolah. Dengan kondisi ini, pemahaman masyarakat terhadap informasi administratif, termasuk istilah dalam pemilu, menjadi tantangan tersendiri. Misalnya, banyak pemilih, terutama yang berusia lanjut atau memiliki pendidikan terbatas, mengalami kesulitan dalam memahami istilah seperti DPTb-KWK, DPK-KWK, atau A5-KWK. Mereka sering kali harus meminta bantuan dari anggota keluarga atau petugas pemilu untuk memahami apakah mereka berhak memilih atau tidak. Jika tidak ada pendampingan yang cukup, kebingungan ini bisa menyebabkan mereka tidak menggunakan hak pilihnya. Tidak hanya pemilih, penyelenggara pemilu di tingkat KPPS dan PPS juga mengalami kendala yang serupa. Dengan latar belakang pendidikan yang beragam, mereka sering kali harus bekerja ekstra untuk memahami berbagai prosedur administratif yang diatur dengan bahasa yang cenderung formal dan penuh dengan singkatan. Jika formulir yang mereka isi dipenuhi dengan akronim tanpa penjelasan yang jelas, risiko kesalahan dalam pengisian dokumen akan semakin besar.   Akronim Membingungkan? Penggunaan akronim dalam birokrasi bertujuan untuk menyederhanakan istilah. Namun, jika tidak dikomunikasikan dengan baik, akronim justru menimbulkan kebingungan. Salah satu contohnya adalah istilah APK (Alat Peraga Kampanye), yang lebih dikenal masyarakat sebagai spanduk atau baliho. Begitu pula dengan C6-KPU, yang pada Pemilu 2019 digunakan sebagai surat pemberitahuan kepada pemilih. Dalam Pemilu 2024, istilah ini disederhanakan menjadi "Model C Pemberitahuan Pemilih" agar lebih mudah dipahami. Namun, masyarakat masih lebih familiar dengan istilah "undangan memilih" dibandingkan "pemberitahuan pemilih", tentu ini dapat menjadi bahan evaluasi dan rekomendasi untuk pemilu dan pemilihan mendatang. Dalam kondisi lain, ketika kami melaksanakan sosialisasi terkait penurunan APK (Alat Peraga Kampanye) dan APS (Alat Peraga Sosialisasi), masyarakat masih bingung dengan istilah ini. Bahkan, tidak sedikit yang bertanya-tanya mengenai perbedaannya. Namun, ketika kami menyederhanakan dengan sebutan "baliho" atau "spanduk", barulah mereka mengerti. Hal ini menunjukkan bahwa istilah yang lebih dekat dengan keseharian masyarakat nampaknya lebih mudah dipahami dibandingkan akronim yang digunakan secara administratif. Kesalahan dalam memahami istilah juga berdampak pada teknis pemilu. Kasus Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Sumatera Barat misalnya menunjukkan bahwa kesalahan penyelenggara dalam membedakan jenis pemilih menjadi penyebab utama PSU. Pemilih tetap, pemilih tambahan, dan pemilih khusus sering kali tidak dipahami secara jelas oleh petugas maupun pemilih itu sendiri. Padahal, istilah-istilah ini dapat disederhanakan untuk menghindari kebingungan. Misalnya, "Pemilih Khusus" bisa diubah menjadi "Pemilih dengan KTP", sementara "Pemilih Tambahan" dapat menjadi "Pemilih dari Daerah Lain". Penyederhanaan ini akan membantu memastikan setiap pemilih dapat menggunakan hak pilihnya tanpa hambatan administratif yang tidak perlu. Banyak pemilih hanya mengenal proses pemilu dari sisi pencoblosan di TPS, tanpa memahami istilah-istilah administratif yang menyertainya. Jika mereka menerima pemberitahuan dengan akronim seperti DPTb-KWK (Daftar Pemilih Tambahan) atau DPT Khusus-KWK (Daftar Pemilih Khusus), mereka mungkin tidak langsung memahami bahwa ini berkaitan dengan status mereka sebagai pemilih yang berhak memilih di TPS tertentu. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan tentu dapat menurunkan partisipasi pemilih.   Perlu Disederhanakan Beberapa istilah dalam formulir pemilu yang sebaiknya disederhanakan agar lebih mudah dipahami masyarakat dan penyelenggara pemilu antara lain: A-KWK – Daftar hadir pemilih di TPS → Daftar Hadir Pemilih; C6-KPU – Surat pemberitahuan kepada pemilih → Undangan Pemilih; A5-KWK – Formulir pindah memilih bagi pemilih yang tidak bisa memilih di TPS asalnya → Formulir Pindah Memilih; DPT-KWK – Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS → Daftar Pemilih Tetap; DPTb-KWK – Daftar Pemilih Tambahan → Pemilih dari Daerah Lain; DPT Khusus-KWK – Daftar pemilih yang tidak terdaftar di DPT tetapi tetap bisa memilih dengan KTP elektronik → Pemilih dengan KTP; Dengan menyederhanakan istilah-istilah tersebut, masyarakat akan lebih mudah memahami hak dan kewajibannya dalam pemilu tanpa merasa bingung dengan istilah teknis yang kompleks. Pemilu adalah hak setiap warga negara, dan memastikan aksesibilitasnya adalah tanggung jawab bersama. Salah satu langkah konkret dalam meningkatkan aksesibilitas pemilu adalah dengan menyederhanakan akronim dalam formulir pemilu. Penggunaan istilah yang lebih familiar bagi masyarakat dan petugas pemilu akan membantu memperlancar jalannya pemilu serta menghindari kebingungan di lapangan. Dengan menyederhanakan bahasa dalam formulir pemilu, kita tidak hanya meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pemilu, tetapi juga memperkuat demokrasi itu sendiri. Pemilih yang memahami proses yang mereka jalani akan merasa lebih berdaya dan lebih yakin bahwa suara mereka benar-benar dihitung dan dihargai. Penyederhanaan tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperbaiki proses penyelenggaraan pemilu dan pemilihan dengan memastikan bahwa akronim atau bahasa yang digunakan dalam formulir pemilu lebih mudah dipahami oleh semua pihak, terlepas dari tingkat pendidikan mereka. Hal ini akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan demokratis dalam proses pemilu atau pemilihan, sehingga memungkinkan partisipasi yang lebih merata dari seluruh elemen masyarakat.


Selengkapnya
22

Pilkada Tanpa Hambatan, Hak Suara Tanpa Batas

 Rani Zuwe Pilkada adalah hak dasar setiap warga negara. Setiap orang berhak memilih pemimpin yang akan mewakili mereka, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan (disabilitas). Namun, tidak semua orang mendapatkan akses yang setara untuk menjalankan hak pilihnya. Di Sumatera Barat, yang memiliki topografi yang beragam, tantangan untuk menjamin aksesibilitas pemilih disabilitas menjadi semakin besar. Berkaca pada tahapan pelaksanaan Pilkada 2024 di Sumatera Barat, secara keseluruhan terselenggara dengan sangat baik. Namun, dibalik suksesnya pelaksanaan Pilkada 2024 ini tentunya ada sisi yang perlu diperbaiki. Ada 26.541 pemilih tersebar di 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat menjadi bagian dari pemilih disabilitas yang telah mensukseskan gelaran pilkada pada 27 November 2024 lalu. Suara yang sangat perlu diperhatikan dengan fokus pada pentingnya menyediakan TPS yang ramah disabilitas dan memastikan hak suara mereka tidak terhalang oleh hambatan fisik atau struktural.   Tantangan Aksesibilitas             Sebuah pengalaman nyata yang mencerminkan tantangan besar dalam aksesibilitas pemilih disabilitas terjadi pada pemilu sebelumnya. Di lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) saya terdapat warga yang memiliki keterbatasan atau disabilitas. Walaupun begitu, TPS tersebut memiliki anak tangga tanpa jalur khusus untuk kursi roda atau pemilih dengan gangguan mobilitas lainnya. Bagi pemilih yang menggunakan kursi roda atau mereka yang kesulitan bergerak, mencapai TPS ini bukan hanya hal yang sulit, tetapi tentu harus mendapatkan bantuan dari orang lain.             Pada hari pemungutan suara, saya menyaksikan cukup sulitnya seorang warga yang menggunakan kursi roda untuk mencapai tempat pemungutan suara. Meskipun ada beberapa orang yang siap membantu, mereka terpaksa mengangkat kursi roda melalui tangga, yang jelas bukan solusi ideal. Bahkan setelah mereka berhasil mencapai lantai tempat TPS, mereka merasa cemas dan tidak nyaman karena tidak ada fasilitas lain yang mendukung aktifitas mereka di sekitar TPS. Bagi sebagian orang, hal ini mungkin tampak sepele, tetapi bagi pemilih disabilitas, ini adalah hambatan yang nyata yang mencegah mereka untuk menggunakan hak pilih mereka secara bebas dan setara. Ini bukan hanya masalah fisik, tetapi juga mencerminkan kesetaraan akses dalam proses demokrasi yang seharusnya dapat dijalani oleh setiap warga negara. Jika diperhatikan ada beberapa hambatan disabilitas dalam pemberian suara di TPS yang dapat diidentifikasi. Pertama, Aksesibilitas TPS yang terbatas. Faktanya, tidak semua TPS di Sumatera Barat, dilengkapi dengan fasilitas yang ramah disabilitas. Beberapa TPS terletak di lantai atas atau di tempat yang sulit dijangkau, tanpa adanya jalur untuk kursi roda. Hal ini tentu saja menghalangi pemilih disabilitas fisik untuk datang dan memberikan suara mereka. Dalam beberapa kasus, pemilih disabilitas terpaksa memilih untuk tidak datang ke TPS karena tidak ada akses yang sesuai, atau bahkan ada yang harus dibantu oleh beberapa orang untuk mencapai lokasi.             Kedua, kurangnya fasilitas penunjang. Selain jalur yang tidak ramah kursi roda, fasilitas lain seperti meja pemungutan suara yang dapat diakses oleh pemilih dengan kursi roda atau meja yang rendah bagi pemilih disabilitas juga sering kali tidak tersedia. Beberapa TPS mungkin juga tidak dilengkapi dengan perangkat lain, seperti papan braille bagi pemilih dengan gangguan penglihatan atau penerjemah bahasa isyarat untuk pemilih dengan gangguan pendengaran. Ketiga, akses informasi yang terbatas. Selain tantangan fisik di TPS, akses informasi juga menjadi hambatan besar. Banyak materi sosialisasi pilkada yang hanya tersedia dalam bentuk tulisan atau poster yang tidak ramah bagi pemilih dengan disabilitas penglihatan. Selain itu, tidak semua daerah menyediakan penerjemah bahasa isyarat atau materi dalam format audio bagi pemilih dengan gangguan pendengaran. Hal ini menyebabkan pemilih disabilitas sering kali kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang tepat.   Meningkatkan Aksesibilitas             Agar hak suara tanpa batas dapat terwujud, langkah-langkah konkret perlu dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas bagi pemilih disabilitas. Aspek ini perlu menjadi perhatian penyelenggara agar partisipasi disabilitas bisa meningkat. Di antaranya desain TPS yang ramah disabilitas dengan memperhatikan aksesibilitas. Ini termasuk menyediakan jalur khusus bagi kursi roda, meja pemungutan suara yang bisa diakses oleh pemilih dengan gangguan mobilitas, dan ruang yang cukup luas untuk memastikan pemilih disabilitas dapat memilih dengan nyaman. Pemilihan lokasi TPS yang strategis juga penting, di mana lokasi tersebut mudah dijangkau oleh semua orang, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil.             Selain itu, fasilitas pendukung yang memadai dengan memperhatikan fasilitas TPS yang memadai, seperti kursi roda, papan Braille, alat bantu dengar, dan penerjemah bahasa isyarat jika diperlukan. Ini juga harus didukung oleh petugas TPS harus terlatih untuk memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan pemilih disabilitas. Begitu juga menlakukan sosialisasi dan edukasi yang inklusif. Kegiatan ini memperhatikan aspek materi kampanye dan sosialisasi Pilkada 2024 perlu disiapkan dalam format yang lebih ramah disabilitas, seperti video dengan teks terjemahan, materi audio, atau informasi dalam Braille. Hal ini akan memastikan bahwa pemilih disabilitas memiliki akses yang setara untuk mendapatkan informasi terkait Pilkada, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang tepat. Asepak lain adalah pengawasan dan evaluasi aksesibilitas TPS dengan memberi perhatian pada evaluasi pasca-pilkada untuk menilai seberapa efektif langkah-langkah aksesibilitas yang sudah diterapkan. Jika masih ada kekurangan, langkah-langkah perbaikan harus segera diterapkan agar pemilih disabilitas dapat memilih dengan nyaman dan tanpa hambatan.             Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah daerah harus memiliki komitmen yang kuat untuk menjamin hak suara pemilih disabilitas. Kebijakan yang mendukung aksesibilitas harus dibuat, dan dana yang cukup harus dialokasikan untuk meningkatkan fasilitas di setiap TPS. Selain itu, pelatihan untuk petugas pemilu sangat penting agar mereka dapat memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan pemilih disabilitas. Pemilih disabilitas memiliki hak yang sama untuk memilih dan ikut serta dalam menentukan masa depan daerah. Aksesibilitas bukanlah sebuah tambahan, tetapi sebuah keharusan. Dengan memastikan bahwa hak suara tanpa batas terjamin, kita bukan hanya memberi kesempatan kepada pemilih disabilitas, tetapi juga memperkuat pondasi demokrasi itu sendiri. Dengan usaha bersama, kita dapat mewujudkan pilkada yang tidak hanya bebas dari hambatan fisik, tetapi juga memastikan bahwa setiap suara didengar dan dihargai.             Pilkada tanpa hambatan adalah pilkada yang memastikan setiap warga negara, termasuk pemilih disabilitas, dapat menggunakan hak pilih mereka tanpa terhalang oleh akses yang tidak memadai. Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa tantangan aksesibilitas di TPS masih sangat nyata. Namun, dengan langkah-langkah perbaikan yang tepat agar pilkada yang dilaksanakan inklusif dan demokratis bagi semua warga negara tanpa terkecuali.


Selengkapnya
41

Strategi Kebijakan Penanganan Masalah Pengadaan dan Distribusi Logistik Pilkada Tahun 2024

 Lati Praja Delmana Kompleksitas dan kerumitan Pemilihan Serentak Tahun 2024 mengharuskan penyelenggara pilkada untuk dapat menyusun strategi menghadapi tantangan. Salah satunya terkait permasalahan pengadaan dan distribusi logistik pilkada. Logistik pilkada membutuhkan jenis dan spesifikasi logistik yang beragam dengan waktu yang singkat menjadikan tahapan ini krusial karena mengindikasikan kerawanan dan potensi kecurangan yang tinggi. Kegagalan pengadaan dan distribusi logistik akan menghambat pelaksanaan pemungutan dan perhitungan suara, sehingga perlu dilakukan kajian untuk memitigasi permasalahan dan strategi untuk menghadapinya. Berbagai permasalahan logistik Pilkada dan Pemilu Tahun 2024, 2020 dan 2019 dapat dijadikan refleksi dan bahan evaluasi untuk penyusunan strategi pengadaan dan distribusi logistik Pemilihan 2024 serta pemilu ke depan. Salah satunya adalah masalah logistik pilkada yang rusak, tidak tepat sasaran, jumlah tidak sesuai dengan kebutuhan, kekurangan logistik di kabupaten/kota, kotak suara yang tidak bersegel, surat suara tertukar antar TPS dan permasalahan distribusi logistik tidak tepat waktu. Keterlambatan logistik, ketidak sesuaian dengan jumlah dan spesifikasi kebutuhan dapat mengindikasikan terjadinya malpraktik pemilu. Untuk mengatasi permasalahan di atas, dibutuhkan strategi menyelesaikan permasalahan, terutama pengadaan dan distribusi logistik pilkada. Untuk itu perlu dilakukan mitigasi permasalahan logistik pilkada sehingga dapat disusun strategi menghadapi potensi masalah logistik, terutama pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Misalnya, melalui penyusunan strategi dan perbaikan menyeluruh, terintegrasi dan sistematis dari tahap perencanaan, pengadaan dan distribusi. Muaranya adalah terwujudnya tata kelola pengadaan dan distribusi logistik yang baik sehingga memengaruhi efektivitas manajemen pilkada sehingga dapat meningkatkan integritas penyelenggaraan pilkada.   Mitigasi Permasalahan Logistik Permasalahan logistik berdasarkan tahapan manajemen logistik pemilu dan pilkada, sesuai fakta lapangan selama Pemilu 2024, 2019 dan Pilkada 2020, 2024 membuktikan terdapat permasalahan dalam pengadaan dan distribusi logistik pemilu. Contohnya, permasalahan anggaran tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan walaupun penyusunan anggaran dilakukan melalui bottom-up, namun tidak seluruh anggaran yang dibutuhkan dapat disahkan dalam DIPA, selain itu tidak cermatnya SDM dan kurangnya koordinasi antara subbagian menyebabkan kesalahan dalam pengadaan dan distribusi logistik pemilu. Selain itu terdapat permasalahan dalam penyusunan anggaran gudang, yang tidak memasukkan semua item atau fasilitas dalam jumlah anggaran sewa, sehingga banyak KPU Kabupaten/Kota yang mengalami kekurangan anggaran sewa gudang. Untuk lebih jelasnya dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, pada tahap perencanaan, permasalahan yang dihadapi adalah jumlah anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan logistik, aturan dan spesifikasi logistik yang belum disesuaikan dengan kondisi geografis dan ketersediaan bahan baku di pasar lokal, peraturan yang sering berubah-ubah mendekati hari pelaksanaan pungut hitung dan aturan KPU yang belum mengakomodasi permasalahan di lapangan dan Peraturan KPU belum mengakomodasi perbaikan permasalahan pemilu/pilkada sebelumnya.    Kedua, pada tahapan pengadaan, permasalahan yang ditemukan adalah keterlambatan proses pengadaan disebabkan sempitnya tahapan pemilu, pengadaan sentralistik, terlambat disahkannya peraturan yang memengaruhi jenis dan spesifikasi logistik Pemilu. Permasalahan yakni spesifikasi, kualitas dan kuantitas logistik yang diproduksi tidak sesuai dengan kontrak, disebabkan karena kelalaian stake holder dalam mengirimkan master desain, seperti penggantian foto peserta pemilu/pemilihan, gambar foto buram dan ketidakmampuan penyedia dalam memenuhi kebutuhan pengadaan logistik tepat waktu dan kuantitas. Kerusakan barang logistik pemilu dan pilkada saat proses produksi menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara, termasuk kasus mudah rusaknya kotak suara bahan duplex, karena terkena air hujan dan rayap sebelum proses distribusi ke TPS. Ketiga, permasalahan pengadaan logistik Pilkada 2024 disebabkan juga karena jumlah logistik besar, banyak jenis, sebaran dan kondisi geografis yang beragam, jadwal yang ketat, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan pelaku usaha yang terbatas, spesifikasi teknis logistik yang sangat presisi, ketidakpastian bakal calon, sentisifitas untuk dipolitisasi, penggunaan produk dalam negeri dan pemberdayaan usaha kecil.     Strategi dan Inovasi Penaganan Permasalahan Pengadaan dan Distribusi Logistik Berdasarkan hasil mitigasi permasalahan logistik pilkada, beberapa strategi kebijakan yang dilakukan penyelenggara agar permasalahan logistik pilkada di atas tidak terulang. Pertama, pengadaan dan distribusi logistik melalui moderenisasi dan integrasikan tahapan perencanaan, pengadaan dan distribusi logistik pemilu menggunakan teknologi informasi. Jenis inovasi yang ditawarkan KPU adalah inovasi teknologi manajemen logistik melalui Sistem Informasi Logistik (SILOG), tujuannya untuk meningkatkan efektifitas, keakuratan, kecepatan, keandalan, pengawasan dan pengendalian pengadaan dan distribusi logistik secara berkelanjutan.   Kedua, strategi percepatan proses pengadaan logistik melalui e-katalog mini kompetisi dengan penyedia terverifikasi. Sempitnya waktu proses pengadaan logistik tahun 2024 mengharuskan penyelenggara untuk membuat strategi dan inovasi dalam proses tahapan pengadaan, salah satunya dengan menggunakan strategi pengadaan konsolidasi e-katalog dengan mini kompetisi. Sedangkan E-katalog adalah sistem informasi pengadaan barang dan jasa yang dikembangkan oleh LKPP, dengan spesifikasi dan proses kurasi harga barang dilakukan Pokja Katalog.  Adanya e-katalog dapat mempermudah KPU dalam melaksanakan perbandingan harga secara cepat dan transparan sehingga dapat menghemat waktu jika dibandingkan dengan proses lelang biasa. Permasalahan pengadaan dan distribusi logistik Pilkada Tahun 2024 dapat diminimalisir dengan melakukan perubahan kebijakan pengadaan barang jasa sesuai dengan kondisi lapangan. Ada beberapa aspek dari kebijakan tersebut yang perlu menjadi perhatian. Pertama, perubahan mekanisme proses pengadaan dari sentralisasi menuju desentralisasi berdasarkan urgensi dan kepentingan. Kedua, proses pemilihan penyedia dilakukan melalui e-catalog sektoral dengan kategori kualifikasi usaha Non-UMK menyebabkan terbatasnya penyedia lokal yang ikut berpartisipasi dalam pengadaan, sehingga meningkatkan risiko keterlambatan dan ketidak efisienan biaya. Ketiga, tidak sinkronnya jumlah perencanaan kebutuhan awal logistik dengan pengadaan akibat penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Calon Tetap (DCT) yang menimbulkan potensi kesalahan sehingga perlu dilakukan pencermatan ulang dan adendum kontrak. Keempat, aplikasi Sistem Informasi Logitistik (SILOG) belum mampu mengintegrasikan perencanaan pengadaan, realisasi pengadaan dan manajemen logistik secara otomatis dan masih bergantung kepada inputan operator secara manual menimbulkan potensi ketidak akuratan dan keterlambatan. Kelima, belum adanya indikator penilaian kualitas dan kinerja manajemen logistik pilkada secara kuantitatif dan berkesinambungan, sehingga belum dapat membandingkan kualitas tata kelola logistik antara pilkada ataupun pemilihan sebelumnya dengan kualitas saat ini, dengan adanya indikator kualitas diharapkan permasalahan manajemen logistik Pemilihan dapat ditekan dan diantisipasi. Keenam, merekomendasikan untuk menciptakan model tata kelola logistik pilkada pada daerah rawan bencana dan sulit. Ketujuh, meningkatkan kompetensi PPK/PBJ dan PPHP melalui bimbingan teknis yang berkelanjutan. Kedelapan, membangun indikator kualitas serta melaksanakan evaluasi dan penilaian kinerja manajemen logistik pilkada secara kuantitatif dan berkesinambungan.  Dengan adanya strategi dan usulan kebijakan di atas, diharapkan permasalahan manajemen logistik pilkada dapat ditekan dan diantisipasi.


Selengkapnya
58

Peningkatan Partisipasi Pemilih Melalui Pendidikan Pemilih Berkelanjutan

 Hardiansyah Padli   Pemilihan umum merupakan bagian dari proses perwujudan negara yang menganut sistem demokrasi. Di dalam konteks lokal, pemilihan merupakan elemen penting dalam proses rekrutmen politik pada level lokal di era modern. Pemilihan menjadi sarana bagi warga negara untuk menunjuk calon kepala daerah yang akan mengisi jabatan kepala daerah. Di setiap tatanan demokrasi, warga negara memiliki hak untuk menentukan bagaimana masa depan suatu daerah. Bahkan dalam konstitusi kita, hak untuk memilih ini diakomodir dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, partisipasi warga negara dalam pemilihan sangat diperlukan, mengingat warga negara mempunyai hak pilih yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Bagaimanapun, komponen penting dalam penyelenggaraan pemilihan adalah warga negara sebagai pemilih. Pemilih merupakan ukuran penting dalam menentukan sukses atau tidaknya pemilihan. Pemilihan dapat berjalan demokratis jika ada pemilih yang ikut serta dalam penyelenggaraan tersebut. Dalam penyelenggaraan pemilihan, peningkatan partisipasi pemilih menjadi indikator penting. Semakin meningkat jumlah partisipasi pemilih, semakin baik pula kualitas demokrasi di suatu daerah.   Sumatera Barat sebagai salah satu daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah berhadapan dengan persoalan rendahnya partisipasi pemilih. Partisipasi pemilih Sumatera Barat pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020. Tercatat partisipasi pemilih Sumatera Barat pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024 sebesar 57,17% dari jumlah daftar pemilih tetap sebesar 4.103.000. Angka tersebut jauh dari target nasional sebesar 82%. Bahkan angka tersebut masih di bawah angka partisipasi Pilkada 2020 yaitu 61,68% yang dilaksanakan pada masa pandemi Covid 19. Agaknya hal ini menjadi problem bersama untuk segera dicarikan solusinya. Benar bahwa angka partisipasi pemilih sering mengalami fluktuasi, tetapi partisipasi pemilih yang tinggi mencerminkan legitimasi terhadap pemerintahan yang berjalan dan keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawal kebijakan publik. Oleh karena itu diperlukan fomulasi kebijakan yang tepat untuk mengatasi persoalan rendahnya partisipasi pemilih pada perhelatan pemilihan. Salah satu strategi yang efektif melalui pendidikan pemilih berkelanjutan. Pendidikan pemilih berkelanjutan  maksudnya adalah pendidikan pemilih tidak hanya dilakukan sebatas pada saat tahapan pemilihan berlangsung,  tetapi pendidikan  pemilih dilakukan secara terus-menerus baik itu di luar tahapan maupun di dalam tahapan sehingga muncul kesadaran untuk menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan bertanggungjawab. Karena, pendidikan pemilih merupakan elemen penting dalam mewujudkan pemilihan berkualitas. Pendidikan pemilih adalah sarana untuk melahirkan pemilih yang rasional. Pemilih yang dapat menentukan pilihan politik yang tidak lagi berdasarkan materi dan kompensasi politik jangka pendek, melainkan berdasarkan kepada track record, visi misi, dan integritas dari si calon.  Artikel ini akan mengkaji urgensi peningkatan partisipasi pemilih, pendidikan pemilih berkelanjutan sebagai solusi, dan strategi implementasi pendidikan pemilih berkelanjutan. Urgensi Peningkatan Partisipasi Pemilih Jika kita mencari sandaran teori  dalam  diskursus  demokrasi maka istilah partisipasi pemilih jarang ditemukan. Teori yang sering digunakan untuk menjelaskan keterlibatan aktif warga negara dalam demokrasi adalah partisipasi politik.  Namun,  Partisipasi pemilih merupakan bagian dari partisipasi politik yang lebih luas. Tingkat partisipasi pemilih sering kali menjadi indikator utama dari keterlibatan politik suatu masyarakat. Suryadi dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Politik: Sejarah, Definisi dan Perkembangan Konsep, mengungkapkan, bahwa partisipasi pemilih merupakan bentuk perwujudan negara demokrasi, di mana masyarakat dilibatkan langsung dalam pemilihan. Dalam hal ini, warga negara berperan penting dalam menyeleksi pejabat-pejabat negara yang nantinya akan mengatur pemerintahan maupun kebijakan-kebijakan yang akan mereka ambil nantinya. Lebih lanjut Syamsuddin Haris dalam bukunya Partai, Pemilu, dan Parlemen di Era Reformasi menjelaskan, setidaknya partisipasi pemilih memiliki manfaat yaitu: (1) memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah dalam bentuk pengiriman wakil atau pendukung, pembuatan pernyataan yang isinya memberikan dukungan terhadap pemerintah, dan pemilihan calon yang diusulkan oleh organisasi politik; (2) menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah dengan harapan agar pemerintah meninjau kembali, memperbaiki, atau mengubah kelemahan tersebut; (3) partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa supaya terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik. Pendidikan Pemilih Berkelanjutan sebagai Solusi Pendidikan pemilih berkelanjutan adalah salah satu strategi jangka panjang untuk meningkatkan rendahnya partisipasi pemilih. Pendidikan ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan pencerahan dan pencerdasan kepada masyarakat tentang arti penting mereka dalam pelaksanaan pemilihan. Menurut Buku Pedoman Pendidikan Pemilih yang dikeluarkan oleh KPU RI, pendidikan pemilih adalah usaha untuk menanamkan nilai-nilai yang berkaitan dengan pemilu dan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kepada warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih dalam pemilu atau potensial pemilih dalam rentang waktu kemudian. Pendidikan pemilih diperlukan untuk menciptakan pemilih yang sadar dan kritis. Sadar akan hak dan kewajiban selaku warga negara, sehingga mengantarkan pemilih pada kesadaran untuk menunjuk sosok pemimpin yang akan mengelola pemerintahan. Kemudian kritis dalam arti mampu memilih dan memilah sosok pemimpin yang layak untuk dipilih berdasarkan track record, visi misi dan integritas dari calon pemimpin tersebut. Pemilih mesti difasilitasi dengan baik untuk dapat menggunakan hak pilihnya oleh penyelenggara pemilu. Namun fasilitasi pemilih tentu tidak cukup hanya sekedar memastikan mereka tercatat sebagai pemilih dan menggunakan hak pilihnya secara bebas di bilik suara. Tetapi lebih dari itu, pemilih dapat menggunakan hak pilihnya dengan cerdas dan bertanggung jawab. Idealnya preferensi pemilih disandarkan pada pengetahuan (knowledge), kesadaran (awareness), dan rasa tanggung jawab (responsibilities) untuk membangun bangsa dan negara. Maka pada titik ini pula pendidikan pemilih perlu dilakukan untuk membangun preferensi politik yang tepat.   Strategi Implementasi Pendidikan Pemilih Berkelanjutan Pendidikan pemilih adalah proses menyampaikan pengetahuan kepada pemilih tentang tahapan pemilihan, sehingga dengan pengetahuan tersebut dapat memberdayakan pemilih untuk membuat keputusan yang tepat selama proses pemilihan. Oleh karena itu, mengedukasi pemilih mengenai hak dan tanggung jawab mereka dalam proses pemilihan sangatlah penting. Sosialisasi pendidikan pemilih dapat membantu meningkatkan jumlah pemilih dan mendorong pemilih untuk membuat keputusan yang tepat. Pendidikan pemilih dalam implementasinya dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu: pertama, integrasi dalam sistem pendidikan formal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menanamkan  pentingnya pendidikan kewarganegaraan dan politik sejak dini hingga perguruan tinggi. Kurikulum tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pemilu demokrasi perlu dimasukkan sehingga kesadaran itu secara sistematis sudah diajarkan sejak dari bangku sekolah. Kedua, sosialisasi oleh lembaga negara dan organisasi masyarakat. Strategi ini sangat sering dilakukan apalagi menjelang pelaksanaan hari H pemungutan. Ke depan perlu formulasi sosialisasi pendidikan pemilih berkelanjutan yang tepat sasaran, seperti pelibatan organisasi kemasyarakatan untuk menjangkau kelompok-kelompok masyarakat yang kurang tersentuh. Sehingga sosialisasi pendidikan pemilih berdampak terhadap peningkatan partisipasi pemilih. Ketiga, pemanfaatan teknologi dan digital. Dewasa ini, pola interaksi sosial masyarakat mulai bergeser dari dunia nyata ke media sosial sebagai konsekuensi logis dari kemajuan teknologi. Bahkan interaksi sosial yang terjadi di dunia nyata dipengaruhi oleh percakapan di media sosial. Hal ini menyiratkan bahwa kemajuan teknologi dan penggunaan media sosial telah memengaruhi setiap aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi pengguna internet di Indonesia mencapai 221,56 juta orang pada tahun 2024. Angka ini meningkat dibandingkan periode sebelumnya sebanyak 215,63 juta orang pada periode 2022-2023. Mengingat jumlah pengguna internet yang begitu besar, KPU beserta jajaran yang diberikan amanah oleh Undang-Undang untuk melakukan pendidikan pemilih dapat menggunakan media sosial dan teknologi digital lainnya. Untuk melakukan pendidikan pemilih secara optimal dibutuhkan kemampuan dalam penggunaan teknologi dan media sosial. Selain itu kemampuan dalam merancang konten-konten menarik terkait pendidikan pemilih juga tak kalah penting. Sehingga proses pendidikan pemilih ini dapat berjalan dengan baik. Keempat, pendidikan pemilih berbasis komunitas. Belakangan ada banyak komunitas yang terbentuk di tengah masyarakat kita. Komunitas ini terbentuk mulai dari kesamaan hobi, kesamaan suku dan budaya dan hal lain. Hal ini menjadi peluang besar bagi penyelenggara untuk meningkatkan partisipasi pemilih dengan pendidikan  pemilih berbasis komunitas. Penyelenggara pemilu dapat mengadakan pelatihan dan forum diskusi, pelibatan tokoh masyarakat dan pemimpin agama, dan penyediaan pusat informasi pemilih di daerah terpencil. Terakhir, penggunaan model simulasi dan partisipasi langsung. Hal ini dapat dilakukan dengan cara praktik pelaksanaan pemilihan atau pemilu di sekolah seperti pemilihan ketua OSIS dengan menggunakan perlengkapan dari KPU. Selain itu, hal yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu adalah pelibatan mahasiswa dan pemuda dalam program magang di penyelenggara pemilu. Dengan begitu, niatan kita untuk meningkatkan partisipasi pemilih dapat terwujud.


Selengkapnya
38

Membidik Suara Muda: Upaya KPU Provinsi Sumbar dalam Meningkatkan Partisipasi Gen Z di Pilkada 2024

 Habil Ramanda Pada Pilkada Tahun 2024, suara Generasi Z (Gen Z) menjadi salah satu penentu arah kebijakan daerah di masa depan. Sebagai kelompok pemilih yang terus bertumbuh, Gen Z generasi yang lahir di kisaran tahun 2000-an punya peran besar dalam menentukan hasil pemilu, termasuk di Sumatera Barat. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumbar, jumlah pemilih muda di Sumbar mencapai 58,7% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 4.088.606 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.310.821 orang berasal dari generasi milenial (kelahiran 1981–1996), sementara 1.089.251 orang adalah Gen Z. Partisipasi Gen Z dalam pilkada sangat penting karena isu-isu yang relevan bagi mereka seperti pendidikan, lapangan kerja, teknologi, dan lingkungan. Kandidat berpotensi mendapat perhatian lebih jika suara mereka terdengar. Partisipasi yang tinggi dari pemilih muda juga memperkuat legitimasi hasil pilkada. Jika tingkat partisipasi tinggi, hasil pilkada akan lebih mencerminkan keinginan masyarakat secara luas. Namun, perlu diakui bahwa meningkatkan partisipasi Gen Z bukan perkara mudah. Tantangan utama muncul dari ketidakpercayaan terhadap politik, kurangnya pendidikan politik, dan pengaruh besar media sosial dalam membentuk persepsi politik. Di tengah tantangan ini, KPU Provinsi Sumbar mencoba melakukan langkah strategis untuk membangkitkan kesadaran politik di kalangan pemilih muda.   Potret Partisipasi Politik Gen Z di Sumbar Partisipasi politik Gen Z di Sumbar pada pemilu sebelumnya masih terbilang fluktuatif. Merujuk pengamat politik Universitas Andalas, Prof. Asrinaldi, keterlibatan Gen Z dalam politik masih di bawah ekspektasi. Mereka aktif mengomentari isu politik di media sosial, tetapi ketika hari pemungutan suara tiba, sebagian dari mereka memilih golput atau tidak menggunakan hak pilih. Beberapa faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi Gen Z antara lain pendidikan politik yang kurang memadai, ketidakpercayaan terhadap politik, pengaruh media sosial, dan minimnya keteladanan dari politisi. Menurutnya, Gen Z kerap merasa kebingungan dalam memahami proses politik dan pemilu karena pendidikan politik yang minim di lingkungan pendidikan maupun keluarga. Maraknya kasus korupsi, janji kampanye yang tidak terealisasi, serta politik identitas juga membuat Gen Z cenderung apatis terhadap politik. Sikap politisi yang tidak transparan dan kurang memperhatikan kebutuhan kaum muda membuat Gen Z merasa tidak memiliki alasan kuat untuk berpartisipasi. Metode yang paling cocok untuk mendekati Gen Z dalam sosialisasi politik adalah dengan menyelaraskan cara penyampaian informasi dengan hobi dan gaya hidup mereka. Misalnya, jika mereka memiliki ketertarikan pada musik dan sering berkumpul di kafe, maka sosialisasi bisa dilakukan di sana. Di tempat-tempat seperti itu, informasi tentang politik dapat disampaikan dengan santai dan relevan, menjelaskan mengapa politik itu penting dan bagaimana dampaknya terhadap kehidupan mereka. Selain itu, layanan informasi di internet juga perlu diperkuat. Media yang bertanggung jawab harus menyediakan akses informasi yang mudah dijangkau, sekaligus mampu merespons jika Gen Z ingin tahu lebih dalam. Artinya, metode sosialisasi ini harus bersifat interaktif, bukan sekadar menghadirkan situs jaringan, billboard, atau unggahan media sosial yang hanya bersifat satu arah. Gen Z membutuhkan ruang untuk berinteraksi dan berdiskusi karena mereka tumbuh di era digital yang menuntut keterlibatan aktif. Meski begitu, ada perbedaan mencolok antara Gen Z dan generasi sebelumnya dalam menyikapi politik. Generasi milenial, menurut banyak kajian, cenderung lebih pragmatis dan memilih berdasarkan manfaat ekonomi atau jaringan politik. Sementara itu, Gen Z lebih kritis terhadap isu-isu seperti lingkungan, kesetaraan gender, dan kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih adaptif dan interaktif menjadi kunci untuk meningkatkan partisipasi politik di kalangan Gen Z.   Strategi Menarik Minat Politik Gen Z Melalui berbagai program edukasi dan sosialisasi, KPU Provinsi Sumbar berupaya menumbuhkan kesadaran politik di kalangan Gen Z dan menarik minat mereka untuk menggunakan hak pilih pada Pilkada 2024. Jons Manedi, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Hubungan Partisipasi Masyarakat KPU Sumbar, menjelaskan bahwa salah satu strategi utama yang dilakukan KPU Provinsi Sumbar adalah pendidikan politik secara langsung melalui kegiatan kemah pemilih pemula. KPU Provinsi Sumbar membuat Kemah Pemilih Pemula di Mifan, Padang Panjang, selama empat hari tiga malam. Dalam kegiatan tersebut, peserta diajarkan tentang tahapan pemilu, mulai dari proses pencalonan, kampanye, hingga pemungutan dan penghitungan suara. Puncaknya, diadakan simulasi pemilihan dengan memilih Gubernur Jambore Pelajar sebagai latihan praktik dalam berdemokrasi. Kegiatan seperti ini membuat pemilih muda lebih paham proses politik. Mereka juga jadi lebih antusias untuk berpartisipasi dalam pemilu yang sesungguhnya. Selain melalui kegiatan di luar sekolah, KPU Provinsi Sumbar juga bekerja sama dengan Dinas Pendidikan melalui program Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Dalam program ini, dilakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah, menjadi pembina upacara, dan bahkan memfasilitasi pemilihan ketua OSIS di beberapa sekolah di Sumbar. KPU Provinsi Sumbar berikhtiar dengan menghadirkan proses pemilu ke dalam kehidupan sehari-hari mereka, kita berharap mereka jadi lebih siap untuk berpartisipasi dalam pilkada. Media sosial menjadi senjata utama KPU dalam menjangkau Gen Z. KPU Provinsi Sumbar rutin memposting konten edukasi tentang pemilu di Instagram, TikTok, dan YouTube. Bahkan, juga diadakan podcast politik di YouTube minimal dua kali dalam sebulan untuk membahas isu-isu politik terkini dan menjawab pertanyaan dari pemilih muda. Gen Z lebih mudah terhubung lewat konten visual dan interaktif. Inilah yang menjadi dasar kenapa informasi disampaikan dengan cara yang menarik dan mudah dicerna. Sementara itu, Bawaslu Provinsi Sumatera Barat juga berpartisipasi dalam pengawasan untuk memastikan proses pemilu berjalan jujur dan adil, terutama dalam menghadapi tantangan yang menyasar pemilih muda atau Gen Z. Statetmen Komisioner Bawaslu Sumbar, M. Khadafi, menegaskan bahwa pengawasan dilakukan di setiap tahapan pemilu, mulai dari pemutakhiran data pemilih, proses kampanye, hingga penghitungan suara. Pengawasan di lapangan diperkuat, termasuk memantau di TPS untuk memastikan tidak ada intervensi atau tekanan yang dapat memengaruhi pilihan pemilih muda. Dalam menghadapi pengaruh kampanye digital, Bawaslu Provinsi Sumbar telah membentuk tim siber untuk memantau aktivitas kampanye di media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube. Pengawasan ini mencakup potensi pelanggaran seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, politik uang berbasis digital, dan kampanye hitam. Jika ditemukan dugaan pelanggaran, akan segera dindaklanjuti sesuai dengan regulasi yang berlaku. Bawaslu Provinsi Sumbar juga menjalin kerja sama dengan platform media sosial dan membuka kanal pengaduan bagi masyarakat, termasuk pemilih muda, untuk melaporkan dugaan pelanggaran kampanye digital. Ini adalah bagian dari upaya untuk memastikan kampanye yang bersih, transparan, dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang yang mana penulis aktif didalamnya, turut serta memberikan edukasi kepada anak muda terkait hoaks dan cek fakta Pilkada 2024. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang membuat program edukasi kepada anak muda tentang bahaya hoaks dan pentingnya cek fakta selama masa Pilkada. AJI Padang menggelar prebunking campaign atau kampanye pencegahan hoaks di acara Car Free Day Padang pada 10 September 2024. Melalui permainan edukatif “Permainan ular Tangga," peserta diajak menjawab pertanyaan seputar Pilkada 2024. Ketua AJI Padang, Novia Harlina menyampaikan bahwa mereka ingin anak muda paham bahwa informasi yang salah bisa memengaruhi hasil pemilu. Jadi, penting untuk tahu cara memverifikasi informasi sebelum mempercayainya. Tak hanya itu, AJI Padang bersama Masyarakat Sipil Sumbar juga membentuk Koalisi Cek Fakta Sumbar, yang sebagian besar diisi oleh Gen Z. Koalisi ini aktif mengadakan diskusi sepanjang September hingga Desember 2024, menyasar komunitas dan kampus di berbagai daerah. Di Kota Solok, misalnya, diskusi bertajuk "Anak Muda Lawan Hoaks" digelar pada 23 November 2024, empat hari sebelum hari pencoblosan. AJI Padang juga masuk ke kampus-kampus untuk mengadakan pelatihan cek fakta bagi mahasiswa. Gen Z ini kritis, tapi sering terjebak informasi palsu, karenanya mereka harus mulai terbiasa melakukan cross-check sebelum menyebarkan informasi. Apa Kata Gen Z? Beberapa Gen Z di Kota Padang penulis wawancarai mengenai pendapat mereka tentang pendekatan KPU terhadap generasi mereka. Salah satu siswi SMA Negeri di Padang, Siti Rahma (18), yang pada November 2024 akan menjadi pemilih pemula, awalnya menganggap politik sebagai urusan orang dewasa. Namun, pandangannya berubah setelah KPU datang ke sekolahnya dan mengadakan sosialisasi. Di lingkungan keluarganya memang kurang minat terhadap politik, tapi setelah mendapatkan sosialisasi dari KPU, ia mulai tertarik untuk datang ke TPS dan ikut memilih dalam Pilkada 2024. Banyak remaja yang pikir politik itu urusan orang tua. Tapi setelah tahu kalau suara mereka bisa menentukan kebijakan daerah, akhirnya ia datang ke TPS untuk nyoblos pertama kali. Hal senada juga disampaikan Ichsanul Amal (20), mahasiswa Universitas Negeri Padang. Sejak menjadi mahasiswa, sebenarnya ia sudah banyak mengikuti diskusi soal politik. Namun, baru pada Pilkada 2024 ini, ia menyadari betapa pentingnya berpartisipasi dalam proses politik. Dia mulai membandingkan visi dan program kerja para calon. Ternyata memilih itu penting karena bisa menentukan masa depan Sumbar. Dengan potensi besar dari kelompok pemilih muda, Pilkada 2024 di Sumatera Barat berpeluang menciptakan momentum politik yang lebih sehat dan representatif. Partisipasi Gen Z bukan hanya soal jumlah suara, tetapi juga menjadi indikator keterlibatan politik yang lebih matang dan berkualitas.  Menurut Prof. Asrinaldi, komunitas politik masyarakat, termasuk Gen Z, harus lebih proaktif dalam mendorong keterlibatan anak muda dalam politik. Ia menekankan bahwa pendekatan melalui figur inspiratif yang berasal dari kalangan Gen Z sendiri bisa menjadi cara efektif untuk menarik minat mereka.  Gen Z yang sekarang jadi politisi bisa jadi contoh yang bagus. Misalnya, menghadirkan figur seperti Wakil Gubernur Vasko, Sherin yang sekarang angota DPD, atau Kimonika. Kalau mereka bisa, kenapa saya tidak bisa? Itu bisa jadi motivasi kuat bagi Gen Z untuk ikut terlibat dalam politik. Strategi ini dinilai efektif karena Gen Z cenderung lebih mudah terhubung dengan figur yang mereka anggap relatable dan inspiratif. Dengan menghadirkan sosok yang berasal dari kalangan mereka sendiri.


Selengkapnya
35

Petahana Bercerai, Hadiah Perlombaan dan Debat Riuh

 Dicky Andrika Salah satu fenomena pada Pilkada Serentak Tahun 2024, adalah  minimnya jumlah pasangan calon yang di daftarkan partai politik. Di Provinsi Sumatera Barat, dari 20 daerah pemilihan, terdapat 8 daerah pemilihan yang diikuti oleh hanya dua pasangan calon. Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur hanya diikuti oleh Paslon Mahyeldi-Vasko dan Epyardi-Ekos. Di Kabupaten Tanah Datar juga diikuti oleh dua pasangan calon, yakni, Richi Aprian - Donny Karsont dan pasangan Eka Putra - Ahmad Fadly. Kenapa minimnya pasangan calon ini menjadi menarik? Karena rata-rata pilkada yang minim kandidasi memiliki tingkat kerawanan keamanan yang tinggi. Berkaca pada Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 yang juga diwarnai dengan minimnya kandidasi dan tidak ada pilihan alternatif membuat suhu politik terasa memanas. Kondisi lain yang juga dikwatirkan adalah calon-calon berasal dari petahana yang terpecah dan bersaing dalam suatu pemilihan. Kondisi ini terjadi pada Pemilihan Tahun 2024 di Kabupaten Tanah Datar, dimana jumlah kandidat hanya 2 (dua) pasangan calon yang merupakan petahana yang terpisah sama-sama mencalonkan dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2024. Berbagai pihak mencemaskan kondisi ini karena dinilai akan berpotensi kisruh dan membuat terbelahnya politik masyarakat ke dalam dua kubu besar. Berbeda dengan pemilihan sebelumnya, dimana pada Pilkada Tahun 2005, 2010, 2015 dan 2020, di Kabupaten Tanah Datar kontestasi pilkada selalu diikuti oleh 4 (empat) pasangan calon. Menyikapi kondisi ini, KPU Kabupaten Tanah Datar sebagai penyelenggara  mencoba untuk mewanti-wanti terjadinya eskalasi politik yang liar. Pada tanggal 24 September 2024, sehari sesudah penetapan nomor urut, KPU Kabupaten Tanah Datar mengajak seluruh elemen masyarakat, pasangan calon, instansi pemerintah, partai politik untuk berkomitmen melaksakan pilkada damai dan bermartabat. Pada saat yang sama juga dilaksanakan penandatanganan deklarasi damai. Seluruh awak media baik cetak maupun elektronik diajak untuk menyebarluaskan komtmen ini. Tak lupa juga KPU Kabupaten Tanah Datar mengajak seluruh lapisan masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan (stake holders) untuk mewaspadai kondisi ini, KPU mengatakan bahwa terjadinya pembelahan pilihan politik atas dua kelompok ini jangan dijadikan sesuatu ancaman, karena kondisi ini bukanlah suatu hal yang baru di dalam dunia demokrasi. KPU Kabupaten Tanah datar menyadari keterbelahan pilihan atas dua kubu ini bisa saja diperparah dengan berbagai kemungkinan, salah satu yang dikhawatirkan adalah dengan munculnya Pasal 66 Peraturan KPU tentang Kampanye, bahwa pasangan calon dan/atau tim kampanye dapat memberikan hadiah kepada peserta kampanye dalam bentuk barang dengan nilai setiap barang tidak lebih dari Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah). Adapun penjelasan turunan terhadap pasal terkait ini diatur dalam Keputusan KPU Nomor 1363 Tahun 2024 Tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota. Pada halaman 25 angka 9 disampaikan bahwa dalam hal Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai, Pasangan Calon, dan/atau tim Kampanye memberikan hadiah pada pelaksanaan Kampanye pertemuan terbatas maka harus dalam bentuk kegiatan perlombaan. KPU Kabupaten Tanah Datar merasa perlu untuk memperjelas makna Frasa “perlombaan” pada aturan dimaksud di atas. Untuk itu KPU Kabupaten Tanah Datar mencoba mendefiniskan apa itu makna dari frasa “perlombaan”. Selanjutnya KPU Kabupaten Tanah Datar menuangkannya ke dalam keputusan Nomor 487 Tahun 2024 tentang Penetapan Pedoman Teknis Kampanye Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tanah Datar Tahun 2024. Disampaikan bahwa “Perlombaan adalah suatu kegiatan adu ketangkasan, keterampilan, kepandaian dan sebagainya yang diadakan dalam suatu kegiatan bertujuan untuk mencari pemenang dan diberikan hadiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku” hal ini tercantum dalam halaman 6 (enam) angka 18 (delapan belas). Sesungguhnya kata kunci dari perlombaan itu harus memuat adu ketangkasan dan sebagainya yang bertujuan mencari pemenang. Di situlah materi kampanye yang berupa hadiah dapat diberikan kepada peserta kampanye. Mengingat, agar jangan menjadi bola liar di masyarakat atau justru menimbulkan persoalan yang baru akibat ambiguitas ataupun multitafsir. Oleh karena itu, KPU Kabupaten Tanah Datar sangat berhati-hati dalam persoalan ini. KPU Kabupaten Tanah Datar mencoba lebih konsen dengan tema ini sehingga KPU Kabupaten Tanah Datar dalam setiap sosialiasasinya selalu memberikan contoh konkret tentang perlombaan dimaksud, seperti liga sepakbola, pertandingan bola voli, lomba tari dan kesenian, kompetisi basket, dan lain-lain. Setidaknya KPU Kabupaten Tanah Datar berharap, dengan adanya kepastian hukum perihal pemaknaan frasa hadiah dalam perlombaan dimaksud, maka KPU Kabupaten Tanah Datar, Bawaslu Kabupaten dan pasangan calon, tim kampanye dan peserta kampanye mempunyai pandangan yang sama dalam menjalankan tahapan kampanye. Jika tidak maka dikhawatirkan hal ini bisa memicu konflik. Selanjutnya, minimnya kandidasi juga akan berefek juga pada tahapan debat kandidat, salah satunya adalah sulitnya menghindari kondisi ricuh antar pendukung yang hanya terpecah ke dalam dua konsentrasi. KPU Kabupaten Tanah Datar melaksanakan dua kali debat kandidat pada Pilkada Tahun 2024. Walaupun sejak awal perencanaan dan persiapan debat baik pertama pertama dan kedua, KPU Kabupaten Tanah Datar selalu melibatkan tim penghubung/LO pasangan calon secara bersama-sama. Tetapi KPU Kabupaten Tanah Datar tetap mengkhawatirkan terjadinya konflik pada tahapan debat ini. Menyadari itu KPU Kabupaten Tanah Datar mengeluarkan Keputusan Nomor 498 Tahun 2024 tentang Penetapan Standar Operasional Prosedur Debat Publik atau Debat Terbuka pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tanah Datar Tahun 2024. Di dalam aturan tersebut, KPU Kabupaten Tanah Datar menetapkan bahwa masing-masing massa pendukung calon hanya diperbolehkan untuk hadir dalam ruangan debat sebanyak 125 orang. Selanjutnya, KPU Kabupaten Tanah Datar juga melaksanakan rapat koordinasi sebelum dilaksanakan debat dengan LO Paslon, Bawaslu dan stake holders lainnya. KPU Kabupaten Tanah Datar menerapkan pembatasan pembatasan selama berjalannya acara debat seperti pembatasan jumlah massa pendukung yang hadir, mengharuskan adanya tanda pengenal dan aturan lain agar acara berjalan lancar. Namun, pada debat pertama salah satu massa pendukung pasangan calon hadir melebihi batas yang telah ditentukan. Alhasil, beberapa jam menjelang debat dimulai, massa kedua belah pihak sudah berada diluar ruangan dalam jumlah yang tak terkendali.  Walaupun lokasi debat dijaga aparat keamanan (TNI, Polri dan Satpol PP) namun semua pihak mencemaskan situasi karena masa yang hadir adalah masa yang hanya terdiri dari dua pihak berhadapan head to head. Sebelum kandidat masuk arena debat, terjadi bentrokan fisik antar massa pendukung calon. Pemicunya hanyalah karena saling ejek di antara kedua massa pendukung. Aparat keamanan kewalahan yang berujung kepada penambahan personil pengamanan dari kabupaten/kota tetangga. Keributan dan bentrokan kedua massa pendukung ini terus berlangsung ke dalam tahapan selanjutnya. Di tambah lagi dengan pengaruh sosial media yang tak bisa dibendung. Ini bukanlah sebuah prestasi, namun selamanya akan menjadi noda dalam penyelenggaraan pesta demokrasi.


Selengkapnya