Opini

482

Pilkada Sumbar 2024 Usai, Tetapi Luka Netralitas Birokrasi Masih Menganga

Kevin Philip Kontestasi elektoral dalam Pilkada Sumatera Barat 2024 telah berakhir. Namun, persoalan fundamental terkait netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) masih menyisakan problematika yang signifikan dalam diskursus demokrasi dan tata kelola pemerintahan di Indonesia. Isu ini bukan sekadar permasalahan teknis administratif, tetapi juga merupakan refleksi dari ketidakseimbangan struktural dalam sistem birokrasi yang masih dipengaruhi oleh political patronage. Keterlibatan ASN dalam politik praktis bukan hanya mengindikasikan lemahnya penegakan regulasi, tetapi juga menunjukkan adanya distorsi dalam mekanisme demokrasi yang seharusnya berjalan secara free and fair. Kasus Afrizon, Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Tanah Datar, yang terbukti bersalah melanggar Undang-Undang Pilkada Nomor 6 Tahun 2020, adalah sebuah empirical evidence dari fenomena yang lebih luas. Afrizon secara aktif mengkampanyekan pasangan calon 02, Eka-Fadli, melalui berbagai narasi di media social. Bahkan, dia melakukan direct endorsement serta comparative framing yang merugikan lawan politiknya. Dalam konteks governance ethics, tindakan tersebut jelas bertentangan dengan prinsip neutrality yang menjadi salah satu pilar fundamental dalam profesionalisme birokrasi. Tidak hanya Afrizon, tujuh ASN di Kota Pariaman juga terbukti bersalah melanggar netralitas pemilu dan dijatuhi hukuman lima bulan penjara serta denda Rp.2 juta. Fakta ini menegaskan bahwa permasalahan netralitas birokrasi bukanlah kasus yang bersifat sporadic atau incidental, melainkan bagian dari structural dilemma yang telah lama mengakar dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Paradoks Netralitas ASN dalam Perspektif Governance dan Demokrasi Dalam studi tentang electoral integrity, netralitas ASN merupakan variabel determinan dalam memastikan fairness dan legitimacy dari sebuah pemilu. Prinsip ini tidak hanya berfungsi untuk menjaga professional accountability dari birokrasi, tetapi juga untuk menghindari conflict of interest yang dapat merusak keseimbangan electoral dynamics. Namun, dalam praktiknya, netralitas ASN kerap mengalami distortive deviation akibat berbagai faktor, baik yang bersifat sistemik maupun pragmatis. Dari perspektif political governance, keberpihakan ASN dalam pilkada mencerminkan adanya political patronage yang masih kuat dalam birokrasi Indonesia. Kepala daerah yang memiliki significant control terhadap administrasi pemerintahan sering kali menggunakan ASN sebagai extension of power untuk memperkuat political influence mereka dalam kontestasi elektoral. Dalam konteks ini, birokrasi tidak lagi berfungsi sebagai neutral actor dalam governance structure, tetapi justru menjadi political tool yang digunakan untuk kepentingan elektoral jangka pendek. Fenomena ini semakin diperparah dengan adanya relasi patron-client antara pejabat birokrasi dan elite politik. Banyak ASN yang merasa bahwa keberpihakan politik bukanlah pilihan, tetapi merupakan adaptive response terhadap political structure yang ada. Dalam lingkungan di mana promosi jabatan lebih banyak ditentukan oleh loyalitas politik dibandingkan meritocracy, keberpihakan menjadi strategi yang dianggap rasional bagi banyak ASN untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi mereka dalam administrasi pemerintahan. Kondisi ini membentuk incentive system yang cenderung mendorong ASN untuk terlibat dalam political engagement, meskipun secara normatif hal tersebut bertentangan dengan etika birokrasi dan regulasi yang berlaku. Enforcement Tidak Efektif Menjaga Netralitas ASN Regulasi yang mengatur netralitas ASN dalam pemilu sebenarnya telah cukup jelas. Undang-Undang Pilkada Nomor 6 Tahun 2020 secara eksplisit melarang ASN untuk berpartisipasi dalam kampanye politik atau melakukan tindakan yang dapat mengindikasikan keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon. Namun, regulasi yang ada tampaknya belum cukup untuk menciptakan deterrent effect yang efektif. Dalam banyak kasus, sanksi yang diberikan terhadap ASN yang terbukti melanggar netralitas hanya bersifat administratif, seperti teguran atau penundaan promosi, yang tidak memberikan efek jera secara signifikan. Bahkan dalam kasus-kasus yang telah mencapai ranah hukum, seperti yang terjadi di Sumatera Barat, hukuman yang dijatuhkan masih tergolong ringan dan tidak cukup untuk mencegah repetition of violations dalam pilkada mendatang. Dari perspektif law enforcement, lemahnya mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran netralitas ASN dapat dijelaskan melalui beberapa faktor. Pertama, regulatory body seperti Bawaslu dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) masih memiliki keterbatasan dalam hal authority dan institutional capacity. Dalam banyak kasus, investigasi terhadap ASN yang melanggar netralitas membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga sering kali tidak memberikan impact yang signifikan terhadap electoral dynamics yang sedang berlangsung. Kedua, sanksi yang diberikan terhadap pelanggar masih bersifat lenient dan tidak mencerminkan seriousness dari pelanggaran yang terjadi. Tanpa adanya stricter punishment yang dapat memberikan efek jera, pelanggaran netralitas ASN akan terus berulang dalam setiap siklus elektoral. Konsekuensi Jangka Panjang terhadap Demokrasi dan Governance Jika fenomena keterlibatan ASN dalam politik praktis tidak segera diatasi, konsekuensi jangka panjangnya akan sangat detrimental bagi stabilitas demokrasi di Indonesia. Pertama, hal ini akan semakin memperkuat political dependency dalam birokrasi, yang pada akhirnya akan menghambat reformasi dalam public administration. Ketika birokrasi lebih berorientasi pada political interests daripada public service delivery, maka efektivitas governance akan mengalami deteriorasi yang signifikan. Kedua, netralitas ASN yang terganggu akan berimplikasi pada delegitimasi electoral process. Dalam electoral theory, salah satu faktor utama yang menentukan kredibilitas dari sebuah pemilu adalah equal access dan equal opportunity bagi setiap kandidat untuk bersaing secara fair. Ketika ASN yang memiliki institutional power digunakan untuk mendukung kandidat tertentu, maka terjadi electoral asymmetry yang merugikan kompetisi yang seharusnya berjalan secara demokratis. Ketiga, fenomena ini akan memperburuk problematika political corruption dalam birokrasi. Dalam banyak kasus, political involvement dari ASN sering kali berkorelasi dengan praktik corruptive behavior, seperti abuse of power, political favoritism, dan transactional governance. Jika tren ini terus berlanjut, maka reformasi birokrasi yang selama ini diperjuangkan akan mengalami stagnasi atau bahkan regresi. Strategi Reformasi Menuju Netralitas ASN yang Substansial Untuk mengatasi problematika ini, diperlukan strategic intervention yang lebih komprehensif dan sustainable. Salah satu langkah utama yang harus dilakukan adalah strengthening meritocracy system dalam birokrasi. Netralitas ASN hanya dapat dijaga jika sistem promosi dan mutasi dalam birokrasi benar-benar berbasis pada kompetensi dan kinerja, bukan pada loyalitas politik. Reformasi dalam mekanisme rekrutmen ASN juga perlu diperkuat agar political interference dalam birokrasi dapat diminimalisir. Selain itu, regulatory enforcement terhadap netralitas ASN harus diperkuat dengan menerapkan lebih severe sanctions bagi pelanggar. Sanksi administratif seperti teguran dan penundaan promosi tidak cukup untuk memberikan efek jera; diperlukan kebijakan yang memungkinkan dismissal dari jabatan bagi ASN yang terbukti melakukan political engagement dalam pemilu. Dengan demikian, akan tercipta strong disincentive bagi ASN untuk tetap menjaga netralitas mereka dalam setiap kontestasi elektoral. Peningkatan oversight mechanism juga menjadi langkah strategis yang harus dioptimalkan. Sinergi antara Bawaslu, KASN, dan Inspektorat Daerah perlu diperkuat agar tidak terjadi fragmentation dalam monitoring dan penegakan hukum. Selain itu, diperlukan sistem digital monitoring yang lebih sophisticated untuk mendeteksi keterlibatan ASN dalam aktivitas politik secara lebih akurat dan cepat. Terakhir, internalisasi etika birokrasi harus diperkuat melalui pendekatan edukasi yang lebih sistematis. ASN harus diberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pentingnya netralitas dalam governance, bukan hanya sebagai regulatory obligation, tetapi juga sebagai bagian dari professional values yang harus dijunjung tinggi dalam administrasi publik. Pilkada Sumatera Barat 2024 memberikan pelaaran yang sangat berharga bahwa tantangan dalam menjaga netralitas ASN masih jauh dari selesai. Tanpa adanya reformasi yang lebih substansial, fenomena ini akan terus berulang dan berpotensi semakin mengikis democratic trust serta efektivitas tata kelola pemerintahan di Indonesia. Oleh karena itu, langkah-langkah strategis yang lebih holistik harus segera diimplementasikan untuk memastikan bahwa birokrasi tetap berfungsi sebagai pilar demokrasi yang netral, profesional, dan berorientasi pada kepentingan publik.


Selengkapnya
146

Pilkada Sumbar 2024: Antara Kemenangan Spektakuler dan Tantangan Demokrasi

Imal Latul Khaira Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan manifestasi demokrasi lokal yang esensial dalam menentukan arah pembangunan suatu daerah. Sumatera Barat (Sumbar), dengan karakteristik politik yang unik, kembali menjadi sorotan dalam Pilkada 2024. Berbagai dinamika, mulai dari kemenangan telak pasangan calon hingga rendahnya partisipasi pemilih, mencerminkan kompleksitas demokrasi di provinsi ini.​ Berdasarkan hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumbar, pasangan Mahyeldi Ansharullah dan Vasko Ruseimy meraih kemenangan signifikan dalam Pilkada Sumbar 2024 dengan perolehan suara sebesar 77,12 persen. Sedangkan rivalnya, pasangan Epyardi Asda dan Ekos Albar hanya memperoleh 22,88 persen suara. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kemenangan Mahyeldi-Vasko. Mulai dari popularitas dan rekam jejak petahana yang kuat dalam pembangunan infrastruktur dan pendidikan. Kondisi itu meningkatkan kepercayaan publik. terhadap Mahyeldi-Vasko. Kemudian, dukungan koalisi partai politik. Koalisi partai besar, termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memberikan dukungan solid yang memperkuat posisi Mahyeldi-Vasko. Selanjutnya, pendekatan kampanye yang menekankan keberlanjutan program pembangunan dan pemanfaatan media sosial berhasil menjangkau pemilih muda.​ Mahyeldi dan Vasko juga unggul karena lemahnya perlawanan politik pasangan Epyardi-Ekos Albar. Mereka terlihat kurang mampu menarik dukungan luas, dengan basis pemilih yang terbatas di wilayah tertentu.​ Selain itu, media massa dan survei elektabilitas juga terus mendengungkan tren positif bagi Mahyeldi-Vasko. Politik Identitas dan Partisipasi Pemilih Meski kemenangan Mahyeldi-Vasko menunjukkan stabilitas politik, Pilkada Sumbar 2024 juga menghadapi tantangan serius. Isu politik identitas, terutama yang berbasis agama dan budaya, masih menjadi faktor yang memengaruhi preferensi pemilih, meskipun penggunaannya relatif menurun dibandingkan pilkada sebelumnya.​ Kemudian, tingkat partisipasi pemilih hanya mencapai 57,15 persen dari total 4.103.084 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Angka tersebut jauh di bawah target 75 persen yang ditetapkan oleh KPU Sumbar. Faktor-faktor seperti kejenuhan politik, ketidakpercayaan terhadap kandidat, dan kendala teknis menjadi penyebab utama rendahnya partisipasi.​ Di sisi lain, media sosial memainkan peran krusial dalam membentuk opini publik selama Pilkada Sumbar 2024. Narasi yang dibentuk oleh buzzer di media sosial lebih banyak membahas seputar ekonomi lokal Sumatera Barat, memengaruhi persepsi pemilih terhadap kandidat. Namun, penyebaran informasi yang tidak akurat atau berita hoaks melalui platform digital juga menjadi tantangan yang harus dihadapi.​ Meningkatkan Kualitas Demokrasi Lokal Untuk memperkuat demokrasi di Sumatera Barat, ada beberapa langkah strategis perlu diambil. Pertama, meningkatkan pemahaman masyarakat tentang proses demokrasi melalui pendidikan kewarganegaraan dan pelatihan politik.​ Kedua, mendorong sinergi antara pemerintah, LSM, akademisi, dan media dalam menyebarkan informasi yang akurat dan mendidik masyarakat terkait proses pemilu.​ Ketiga, mengintegrasikan sistem informasi elektronik untuk memudahkan proses pendaftaran, verifikasi data pemilih, dan penyampaian informasi seputar proses pemilu.​ Selanjutnya, menerapkan mekanisme pengawasan yang efektif untuk mencegah kecurangan dan praktik transaksional selama proses pemilu.​ Kemudian, mendorong masyarakat untuk aktif dalam proses demokrasi, tidak hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai pengawas dan pemberi masukan konstruktif.​ Di bagian penutup, Pilkada Sumbar 2024 mencerminkan dinamika demokrasi lokal yang kompleks, dengan kemenangan telak pasangan Mahyeldi-Vasko di satu sisi, dan tantangan seperti politik identitas serta rendahnya partisipasi pemilih di sisi lain. Untuk mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif dan partisipatif, diperlukan upaya bersama dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, penyelenggara pemilu, media, dan masyarakat sipil.​


Selengkapnya
2843

Buzzer Politik dan Era Post-Truth: Ancaman bagi Demokrasi Lokal di Indonesia

Tri Wahyuni Oktanita, Redni Putri Meldianto, Rayla Osvita Putri Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang menekankan partisipasi publik dan kebebasan berpendapat, telah menjadi pilar utama dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia, termasuk di tingkat daerah. Namun, perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam beberapa dekade terakhir, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan revolusi digital yang mengubah cara kita berinteraksi, berkomunikasi, dan mengakses informasi. Media sosial tidak hanya berperan sebagai alat komunikasi di ruang digital, tetapi juga menjadi platform untuk membangun dan menampilkan citra diri seseorang, termasuk para politisi. Evaluasi publik terhadap konten yang dibagikan oleh politisi seringkali menjadi tolak ukur dalam menilai tingkat partisipasi politik seseorang, termasuk partisipasi generasi muda yang dikenal dengan gagasan-gagasan inovatif dan kritis mereka. Polarisasi Opini Publik Seiring dengan itu, fakta menunjukkan bahwa aktivitas individu di media sosial cenderung terlalu bebas, tidak terkendali, dan bahkan terkesan sembarangan dalam menyampaikan pendapat. Batasan dalam menyampaikan opini melalui media sosial seolah hilang. Netizen seringkali saling menyerang, melecehkan, dan merendahkan identitas orang lain, yang tidak jarang berakhir dengan masalah hukum. Dalam dinamika ini, muncul fenomena baru yang disebut masyarakat sebagai “buzzer”, yang semakin signifikan dalam konteks politik modern, terutama selama masa pemilihan umum atau kampanye. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2020 menyebutkan bahwa pemerintah juga menggunakan buzzer untuk mengamankan kebijakan-kebijakannya. Tidak hanya pemerintah yang menggunakan buzzer untuk kepentingan politis. Politisi, bahkan calon presiden, hingga calon kepala daerah ikut serta menggunakan buzzer untuk kepentingan pemilihan umum. Pada Pemilu Tahun 2014, pasangan calon presiden turut serta menggunakan buzzer; selain itu, praktik ini juga dilakukan pada Pemilu Tahun 2019 dan pada saat pemilihan kepala daerah di beberapa daerah di Indonesia. Evolusi Buzzer Politik di Indonesia Fenomena buzzer muncul akibat pesatnya perkembangan media sosial, yang memiliki dampak besar dalam memengaruhi keputusan politik masyarakat. Media sosial dianggap sebagai platform komunikasi yang efektif karena biaya lebih rendah dibandingkan media konvensional serta memiliki jangkauan global, memungkinkan penyebaran informasi tanpa batas geografis. Di Indonesia, keberadaan buzzer politik telah muncul lebih awal dibandingkan di Korea Selatan, yaitu sejak tahun 2009, meskipun pada saat itu belum terorganisir secara sistematis dan lebih banyak berupa penyebaran ujaran kebencian. Awalnya, para pengguna media sosial atau netizen belum sepenuhnya memahami fenomena ini, dan masih menganggapnya sebagai bagian dari euforia kebebasan setelah lepas dari belenggu era orde baru. Pada tahun 2011, saat menjelang Pilkada DKI Jakarta, buzzer mulai menggunakan teknik perjuangan dan pertempuran di dunia media sosial, di mana praktik saling memuji dan menjatuhkan marak terjadi di berbagai platform, menyerupai perang siber. Fenomena ini semakin menguat pada Pilpres 2014, yang dikenal dengan maraknya berita hoaks, dan kembali terulang pada Pilpres 2019. Untuk menyebarkan pesan dan memengaruhi opini publik, buzzer sering kali memanfaatkan platform media sosial yang banyak digunakan oleh lawan politik mereka seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok. Penggunaannya disesuaikan dengan preferensi audiens yang akan mereka pengaruhi. Dalam satu dekade terakhir, pemilihan umum di Indonesia tidak terlepas dari keterlibatan buzzer. Peran di balik layar yang diberikan kepada buzzer bertujuan untuk mengumpulkan dukungan suara rakyat. Para tokoh politik maupun partai politik sangat menyadari betapa kuatnya pengaruh buzzer dalam menarik perhatian dan simpati masyarakat. Oleh karena itu, buzzer dan cyber army sering kali menjadi bagian dari strategi pemenangan dalam Pemilu, Pilkada, atau kontestasi politik lainnya. Sumatera Barat dan Narasi Post-Truth dalam Pilkada 2024 Sumatera Barat, sebagai salah satu provinsi dengan karakteristik budaya dan sosial yang unik, menjadi konteks yang menarik untuk dikaji. Masyarakat Sumatera Barat, yang kental dengan nilai-nilai adat Minangkabau dan agama Islam, sering kali menjadi sasaran narasi post-truth yang dimanfaatkan oleh buzzer untuk memengaruhi opini publik. Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, fenomena ini semakin relevan untuk diteliti. Pilkada tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga menjadi medan pertarungan narasi yang dapat memengaruhi pilihan dan perilaku pemilih. Aktivitas buzzer dalam menyebarkan narasi post-truth sering kali memanfaatkan isu-isu lokal, seperti adat, agama, dan ekonomi, untuk membangun polarisasi dan memengaruhi persepsi publik. Misalnya, buzzer dapat menyebarkan informasi yang tidak diverifikasi atau bahkan hoaks tentang kandidat tertentu, dengan tujuan mendiskreditkan lawan politik atau membangun citra positif bagi kandidat yang didukung. Hal ini mengakibatkan masyarakat kesulitan membedakan antara fakta dan fiksi, sehingga keputusan politik tidak lagi didasarkan pada informasi yang akurat, melainkan pada narasi yang sengaja dibentuk untuk memengaruhi emosi dan keyakinan. Penelitian tentang dampak aktivitas buzzer dan narasi post-truth terhadap proses demokrasi di Sumatera Barat, khususnya dalam konteks Pilkada 2024, memiliki urgensi yang tinggi. Sebagian besar penelitian tentang buzzer dan post-truth selama ini lebih berfokus pada skala nasional dan membahas peran buzzer dalam kampanye politik atau penyebaran hoaks, tetapi belum banyak yang menganalisis dampak jangka panjang terhadap proses demokrasi di Sumatera Barat. Manipulasi Narasi dan Ancaman Demokrasi Buzzer yang berpihak pada kandidat tertentu membangun konstruksi citra yang justru menyesatkan publik, karena bersandar pada afeksi dan keyakinan emosional ketimbang pendekatan rasional berbasis data objektif. Buzzer memainkan peran strategis dalam berbagai dimensi berikut Pertama, buzzer mengeksploitasi sentimen religius dan budaya lokal. Diketahui, Sumatera Barat dikenal sebagai wilayah yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan budaya Minangkabau. Buzzer mengeksploitasi sentimen ini untuk menyusun narasi manipulatif yang memengaruhi preferensi elektoral masyarakat. Misalnya, munculnya diksi-diksi seperti “politik identitas dan menjual kesalehan”, “tidak layak memimpin”, serta penggambaran terhadap cara bertutur dan gaya komunikasi kandidat tertentu. Narasi-narasi ini dirancang untuk menggugah emosi kolektif, sehingga nalar kritis publik terabaikan. Kedua, buzzer juga berperan aktif dalam menyebarkan hoaks dan disinformasi yang sengaja direkayasa guna mendiskreditkan lawan politik atau memperkuat pencitraan kandidat tertentu. Misalnya, tuduhan bahwa seorang kandidat “memecat seseorang karena faktor suka atau tidak suka” yang hingga kini belum terbukti kebenarannya. Tak hanya itu, narasi yang menyebut tokoh tertentu sebagai “pembohong” juga turut tersebar luas di ruang digital. Ketiga, buzzer membentuk realitas semu yang disesuaikan dengan kepentingan elektoral kandidat tertentu. Dalam konteks post-truth, kebenaran tidak lagi bersifat objektif, melainkan menjadi produk dari narasi yang dikonstruksi. Sebagai contoh, penyebaran narasi bahwa seorang kandidat merupakan “pahlawan rakyat” yang berjasa besar dalam pembangunan masyarakat diperkuat melalui konten-konten bernuansa emosional di media sosial. Keempat, Sumatera Barat memiliki kompleksitas identitas yang mencakup aspek agama, etnisitas, dan afiliasi politik. Buzzer menggunakan isu-isu lokal ini untuk menciptakan fragmentasi sosial yang tajam. Isu identitas budaya, agama, serta kepentingan ekonomi-politik dipolitisasi menjadi senjata naratif untuk memperkuat loyalitas emosional terhadap kandidat sekaligus mendeligitimasi pihak oposisi. Polarisasi ini menciptakan dikotomi sosial yang kian ekstrem. (Rinaldi, Dalmendra & Marta, 2024). Kelima, buzzer kerap melemahkan otoritas moral dan intelektual seperti ulama, tokoh adat, dan media lokal dengan menyebut mereka sebagai pihak yang berpihak atau tidak netral. Sebaliknya, mereka justru mengedepankan sumber informasi yang tidak dapat diverifikasi atau bahkan fiktif, sehingga mengacaukan kepercayaan publik terhadap sumber-sumber informasi kredibel. Aktivitas buzzer dalam membentuk post-truth secara langsung membahayakan ekosistem demokrasi di Sumatera Barat karena mengaburkan batas antara fakta dan fiksi serta memanipulasi opini publik secara sistematis. Masyarakat menjadi kesulitan memilah informasi akurat, yang pada akhirnya menyebabkan keputusan politik dibuat berdasarkan emosi, bukan data dan realitas yang sebenarnya. Lebih jauh lagi, buzzer menciptakan ruang wacana di mana kebenaran menjadi relatif, sehingga ideal ruang publik yang sehat dan dialogis kian menjauh dari kenyataan. Dalam era post-truth, kebenaran direduksi menjadi konstruksi naratif yang dapat diubah sesuai kepentingan politik tertentu. Situasi ini memperdalam polarisasi sosial dan mengikis nalar kritis publik. Akibatnya, kepercayaan terhadap institusi demokrasi seperti KPU, Bawaslu, dan media pun mengalami erosi yang mengkhawatirkan. Manipulasi persepsi publik ini berpotensi mengganggu legitimasi pemilu, bahkan mendorong konflik horizontal. Dalam jangka panjang, ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap informasi yang valid, maka diskursus publik yang sehat dan produktif menjadi mustahil tercipta. Ruang publik yang seharusnya menjadi arena pertukaran ide berbasis data dan logika berubah menjadi medan perang narasi emosional yang sarat kepentingan politik. Propaganda post-truth yang digerakkan oleh buzzer berpotensi memecah belah masyarakat, khususnya di daerah multikultural seperti Sumatera Barat. Berdasarkan analisis ini, tampak bahwa buzzer dan narasi post-truth memberikan dampak struktural dan sistemik terhadap kualitas demokrasi lokal. Pada akhirnya, aktivitas buzzer dan penyebaran narasi post-truth memiliki dampak kompleks terhadap demokrasi di Sumatera Barat, khususnya menjelang Pilkada 2024. Buzzer memanfaatkan media sosial sebagai alat penyebaran disinformasi dengan menyingkirkan objektivitas fakta dan menggantikannya dengan retorika emosional dan kepentingan pragmatis. Strategi ini memperkuat polarisasi politik berbasis isu sensitif seperti agama, adat, dan ekonomi, sehingga masyarakat terpecah dalam kelompok yang saling bertentangan. Fragmentasi sosial ini bukan hanya mengancam stabilitas sosial, melainkan juga menurunkan kualitas demokrasi partisipatif. Tak hanya itu, peran buzzer juga telah mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga demokratis, seperti KPU, Bawaslu, dan media arus utama. Diseminasi hoaks yang tak terverifikasi membentuk opini publik yang keliru tentang legitimasi pemilu, sehingga berpotensi mengurangi partisipasi atau bahkan memicu konflik sosial. Dalam konteks ini, narasi post-truth memperkeruh batas antara fakta dan fiksi, yang menyebabkan keputusan politik lebih banyak dipengaruhi oleh manipulasi emosi daripada penalaran logis. Khusus di Sumatera Barat, yang memiliki struktur sosial-budaya yang kuat, buzzer mengeksploitasi simbol-simbol lokal seperti adat Minangkabau dan Islam untuk membangun narasi sektarian. Hal ini merusak kohesi sosial dan menimbulkan perpecahan yang dalam di masyarakat majemuk. Jika tidak ditangani secara serius, dampak jangka panjangnya dapat merusak fondasi demokrasi yang berbasis pada kesepahaman dan musyawarah. Penulis merekomendasikan sejumlah hal untuk melawan peran buzzer. Pertama, tingkatkan literasi media. Dimana, masyarakat perlu didorong untuk memiliki kemampuan kritis dalam mengakses, memverifikasi, dan mengevaluasi informasi agar tidak mudah terjebak dalam narasi manipulatif yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Kemudian, penguatan regulasi digital. Perlu ada kebijakan tegas yang mengatur aktivitas buzzer dan penyebaran hoaks melalui media sosial, dengan mendorong kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat sipil dalam menjaga etika komunikasi politik. Selanjutnya, tokoh adat dan agama harus dilibatkan secara aktif dalam membangun dialog inklusif untuk meredam polarisasi serta mengembalikan rasionalitas dan etika dalam diskursus publik.


Selengkapnya
138

Refleksi atas Penurunan Partisipasi Pemilih dalam Pemilihan Serentak 2024 di Sumatera Barat

Syafridho Syawal Ayuza Pemilihan Serentak 2024 menandai tonggak sejarah baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Untuk pertama kalinya, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Meskipun pelaksanaannya berjalan lancar dan tertib, terdapat catatan penting mengenai penurunan tingkat partisipasi pemilih. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 se-Indonesia hanya mencapai 68 persen. Angka tersebut jauh di bawah 81,78 persen partisipasi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dan 81,42 persen pada Pemilu Legislatif (Pileg) yang berlangsung pada Februari 2024. Penurunan partisipasi pemilih tentu saja menuntut evaluasi menyeluruh yang tidak hanya terfokus pada aspek teknis penyelenggaraan, tetapi juga pada aspek non-teknis yang memengaruhi antusiasme masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Evaluasi penting untuk membenahi dan menyempurnakan sistem pemilu ke depan, guna memastikan bahwa setiap warga negara merasa terlibat dan memiliki kepentingan dalam proses demokrasi.​ Sejarah dan Kompleksitas Pemilu 2024 Sejak pemilu pertama pada tahun 1955, Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dalam sistem pemilihan umum. Pemilu 2024 menjadi tahun tersibuk dalam sejarah pemilu Indonesia, dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Presiden pada 14 Februari, serta Pilkada Serentak pada 27 November. Di Provinsi Sumatera Barat, bahkan dilaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) untuk Pemilihan DPD pada 13 Juli 2024. Rentang waktu yang hanya delapan bulan antara pemilu dan pilkada menyebabkan tahapan yang saling beririsan, menambah kompleksitas dalam penyelenggaraan dan partisipasi masyarakat.​ KPU memiliki peran strategis dalam memastikan integritas dan partisipasi dalam pemilu. Menurut Tauchid Noor dalam Jurnal Konstitusi menyebutkan bahwa KPU harus menjalankan tugas dan wewenangnya secara tepat, termasuk dalam merencanakan, menyosialisasikan, dan mengawasi seluruh tahapan pemilu. KPU juga harus mampu membuat peraturan dan keputusan yang dapat diterima sebagai rujukan dalam pelaksanaan pemilu, serta menegakkan aturan yang telah ditetapkan demi terciptanya pemilu yang partisipatif.​ Pilkada Serentak 2024 menghadirkan beberapa tantangan yang perlu menjadi bahan evaluasi. Pertama, kejenuhan politik masyarakat. Dimana pelaksanaan pemilu dan pilkada dalam tahun yang sama menyebabkan kejenuhan politik masyarakat. Dominasi pemberitaan dan aktivitas politik di ruang publik dan media sosial dapat mengurangi minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam pilkada. Kedua, efek ekor jas. Fenomena coattail effect atau ekor jas merupakan popularitas calon presiden memengaruhi perolehan suara partai politik. Fakta ini terjadi dalam Pilkada 2024. Koalisi partai politik yang terbentuk pada Pemilu 14 Februari berlanjut dalam Pilkada 27 November, menyebabkan pemilih merasa bahwa pilkada tidak menawarkan pilihan baru dan tetap berada dalam bayang-bayang koalisi yang sama. Ketiga, terputusnya sosialisasi dan pendidikan politik. Sebab, pelaksanaan pemilu dan pilkada dalam tahun yang sama dapat menyebabkan terputusnya sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat. Setelah pelaksanaan kedua agenda tersebut, informasi mengenai kepemiluan cenderung berkurang hingga lima tahun ke depan, yang dapat memengaruhi tingkat partisipasi dalam pemilu berikutnya. Untuk meningkatkan partisipasi pemilih, diperlukan strategi yang melibatkan berbagai pihak. Pertama, pelibatan unsur masyarakat. Sosialisasi pesan kepemiluan harus melibatkan pemerintah, organisasi masyarakat, lembaga pemantau pemilu, partai politik, dan masyarakat luas. Pelibatan ini penting untuk menciptakan pemilih yang cerdas dan pemilu yang berkualitas.​ Kemudian, pendekatan dan pendidikan politik. Dalam hal ini, KPU diharapkan menggunakan berbagai pendekatan dalam menyampaikan pesan kepemiluan, disesuaikan dengan tingkat pendidikan, lingkungan sosial, budaya, dan aspek ekonomi masyarakat. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pesan kepemiluan dapat diterima dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.​ Inovasi KPU KPU telah melakukan berbagai inovasi dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024. Mulai dari penggunaan Sistem Informasi dan digital. Pihak penyelenggara telah memaksimalkan penggunaan sistem informasi dan digital dalam berbagai tahapan pemilihan, seperti cek DPT online yang memungkinkan pemilih untuk memeriksa status pendaftaran mereka secara daring.​ Kemudian, KPU membuka ruang bagi masyarakat untuk melihat rekam jejak dan profil pasangan calon kepala daerah, termasuk visi dan misi mereka. KPU juga memberikan kesempatan kepada publik untuk memberikan tanggapan mengenai calon kepala daerah, yang dapat menjadi dasar untuk menindaklanjuti dan memastikan keabsahan calon tersebut.​ Selanjutnya, KPU menggunakan aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) untuk merekam dan melaporkan hasil pemungutan suara, yang dapat diakses oleh masyarakat. Terlepas dari itu semua, KPU tetap diharapkan mampu meningkatkan partisipasi pemilih di masa-masa mendatang.


Selengkapnya
380

Menelisik Rendahnya Partisipasi Politik Masyarakat Minangkabau dalam Pilkada 2024

Fitria Deswika Indonesia, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, telah menjalankan serangkaian pesta demokrasi untuk memilih pemimpin yang akan membawa bangsa ini ke masa depan. Dalam proses ini, masyarakat memegang peran sentral sebagai penentu utama siapa yang akan memegang tampuk kekuasaan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Pesta demokrasi dimulai dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, dilanjutkan dengan pemilihan anggota legislatif, dan berlanjut pada pemilihan kepala daerah (pilkada). Namun, fenomena yang mengemuka adalah rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada, khususnya di Sumatera Barat. Tercatat, angka partisipasi masyarakat di Ranah Minang hanya mencapai 57,25 persen. Sebuah angka yang menunjukkan adanya masalah serius dalam partisipasi politik masyarakat Minangkabau. Angka partisipasi dalam Pilkada 2024 di Sumbar sangat kontras dibandingkan dengan partisipasi masyarakat dalam pemilihan presiden (pilpres). Diketahui, angka partisipasi Pilpres 2024 mencapai 81,78 persen. Penurunan drastis ini mengindikasikan bahwa antusiasme masyarakat terhadap pilkada terbilang rendah. Fakta itu patut menjadi perhatian serius, mengingat Pilkada merupakan momen penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang akan menentukan arah kebijakan dan pembangunan di daerahnya. Pemimpin yang terpilih melalui pilkada akan menjadi penentu kebijakan-kebijakan strategis yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, layanan kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja. Sangat penting untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah sosok yang kompeten, memiliki integritas, dan mampu merumuskan kebijakan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.​ Jika tidak, maka angka partisipasi dikhawatirkan akan semakin merosot di tahun-tahun berikutnya.   Kenapa Partisipasi Masyarakat Rendah? Rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2024 disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya sosialisasi dan edukasi politik dari partai politik maupun pemerintah daerah tentang pentingnya memilih dalam Pilkada. Masyarakat mungkin tidak menyadari betapa besar dampak yang dapat ditimbulkan oleh pemilihan kepala daerah terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap calon pemimpin yang dianggap tidak memiliki visi yang jelas atau tidak mampu memenuhi janji-janji kampanyenya. Ketiga, minimnya figur pemimpin yang inspiratif dan dekat dengan kebutuhan masyarakat juga dapat menjadi penyebab rendahnya partisipasi. Masyarakat cenderung enggan memilih jika tidak melihat adanya calon yang benar-benar mampu mewakili aspirasi mereka.​ Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah menjalankan proses demokrasi secara rutin, masih terdapat tantangan besar dalam membangun partisipasi politik yang merata dan berkualitas. Pilkada sebagai salah satu pilar demokrasi lokal, seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat untuk secara aktif terlibat dalam menentukan masa depan daerahnya. Namun, realitas yang terjadi justru menunjukkan adanya keterputusan antara harapan demokrasi dengan praktik partisipasi masyarakat. Hal ini tidak hanya terjadi di Sumatera Barat, tetapi juga menjadi gambaran umum di berbagai daerah di Indonesia, di mana partisipasi dalam pilkada seringkali lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan tingkat nasional.​ Selain itu, apatisme dan alienasi politik yang dirasakan oleh masyarakat juga menjadi salah satu factor rendahnya partisipasi Pilkada 2024. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa suara yang mereka berikan tidak akan memberikan perubahan yang signifikan terhadap hidup mereka, karena mereka tidak merasa bahwa pembahasan mengenai isu politik tidak ada kaitannya dengan kehidupan mereka. Masyarakat lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dibandingkan memilih pemimpinnya saat hari pencoblosan berlangsung. Hal ini biasanya terjadi pada masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan Thomas M. Gray dan Christopher W. Anderson yang berpendapat bahwa pendidikan memiliki efek yang positif terhadap partisipasi memilih di Amerika Serikat karena pendidikan juga dapat memberikan ruang bagi individu untuk memproses informasi politik dan mengarah pada keputusan yang rasional.​ Faktor golput atau golongan putih juga dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah karena terbatasnya pilihan yang tersedia bagi masyarakat. Seperti diketahui, dalam Pilgub Sumatera Barat hanya terdapat dua calon yang maju untuk pemilihan. Yang pertama yaitu pasangan Mahyeldi-Vasko dan pasangan Epyardi-Elkos yang didukung oleh dua koalisi besar partai politik.   Pragmatisme Politik dan Krisis Kaderisasi Minimnya jumlah kandidat dalam pilkada memunculkan dilema politik bagi pemilih. Dalam situasi terbatas seperti ini, masyarakat sering kali terpaksa memilih bukan berdasarkan preferensi positif, melainkan sebagai bentuk penolakan terhadap calon lain yang dianggap lebih tidak diinginkan. Bahkan, tidak sedikit yang memutuskan untuk bersikap apatis dan golput. Kondisi ini dapat berdampak serius terhadap arah kebijakan publik, yang berpotensi bersifat populis dan mengabaikan kelompok rentan atau minoritas, karena keberpihakan calon kerap lebih ditujukan untuk memenuhi ekspektasi konstituen dominan. Keterbatasan ini menunjukkan adanya problem sistemik dalam mekanisme kaderisasi partai politik, yang memunculkan pertanyaan mendasar: apakah partai telah gagal dalam mempersiapkan kader potensial, ataukah justru terjebak dalam kalkulasi pragmatis dengan menyandarkan kemenangan pada koalisi semu? Krisis representasi ini tidak dapat dipisahkan dari kecenderungan pragmatis partai politik dalam menyikapi dinamika pilkada. Alih-alih membangun ekosistem kaderisasi yang berkelanjutan, banyak partai justru lebih memilih membentuk koalisi besar demi kemenangan elektoral jangka pendek. Strategi instan ini mengabaikan pembangunan sumber daya manusia politik yang berkualitas dan visioner. Ketiadaan sistem kaderisasi yang sistematis dan terarah menjadikan partai sekadar kendaraan elektoral, tanpa memiliki fungsi transformasional dalam mencetak pemimpin masa depan. Akibatnya, kaderisasi seringkali hanya menjadi formalitas administratif untuk memenuhi ambang batas eksistensi partai, bukan sebagai upaya pembinaan dan pengembangan kompetensi politik. Partai politik sejatinya memainkan peran fundamental dalam pembangunan kesadaran politik, tidak hanya untuk internal kader, tetapi juga bagi masyarakat luas. Langkah awal yang krusial adalah menyediakan pendidikan politik yang komprehensif dan berkelanjutan bagi para kader. Melalui pendidikan ini, kader memperoleh pemahaman mendalam mengenai ideologi partai, nilai-nilai perjuangan, serta visi dan misi strategis organisasi. Pemahaman ini penting agar setiap kader mampu menjalankan peran sebagai penghubung aspirasi rakyat dengan kebijakan publik yang diusung partai. Dalam konteks ini, kader bukan sekadar pengisi struktur, tetapi agen perubahan sosial yang memiliki integritas dan kapabilitas. Usai memperkuat internalisasi nilai di tubuh partai, tahapan selanjutnya adalah memperluas cakupan edukasi politik kepada masyarakat. Partai harus hadir sebagai fasilitator dalam membangun literasi politik publik, melalui kegiatan seperti seminar politik, diskusi publik, hingga kampanye edukatif berbasis data dan narasi konstruktif. Masyarakat yang tercerahkan akan memiliki daya kritis dalam menganalisis figur politik serta kebijakan yang ditawarkan. Hal ini mendorong munculnya budaya demokrasi deliberatif, di mana partisipasi politik tidak lagi sebatas pilihan elektoral, tetapi juga keterlibatan aktif dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, partai politik dituntut untuk melampaui peran sebagai mesin elektoral semata. Ia harus tampil sebagai institusi pendidikan politik yang berintegritas, progresif, dan bertanggung jawab. Hanya melalui penguatan kaderisasi dan pendidikan politik yang berkesinambungan, kita dapat menciptakan pemimpin yang berdaya saing, serta masyarakat yang memiliki kesadaran kritis terhadap masa depan demokrasi bangsa.


Selengkapnya
42

Biduak Lalu, Kiambang Batauik: Meneguhkan Rekonsiliasi Pasca Pilkada 2024 di Sumatera Barat

Abdul Rahman Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan instrumen fundamental dalam sistem demokrasi, yang berperan sebagai medium rakyat dalam menentukan arah pembangunan dan kepemimpinan lokal. Di Sumatera Barat, pesta demokrasi ini kerap diwarnai oleh gejolak politik, perbedaan ideologis, dan kadangkala konflik horizontal yang menguji kohesi sosial masyarakat. Namun, sebagaimana pepatah Minangkabau mengatakan, “biduak lalu, kiambang batauik”, maka usai kontestasi politik, sejatinya kita harus kembali menyatukan kiambang-kiambang yang tercerai berai demi harmoni sosial dan keberlanjutan pembangunan. Esensi demokrasi bukan terletak pada kemenangan atau kekalahan, tetapi pada kemampuan masyarakat untuk merawat perbedaan secara dewasa. pilkada hanyalah satu fase dari siklus politik yang lebih panjang. Sumatera Barat, dengan potensi budaya, sumber daya manusia, dan kearifan lokalnya, memerlukan kolaborasi lintas golongan untuk terus melaju sebagai daerah yang progresif dan resilien. Atas dasar dinamika itu, rekonsiliasi pasca Pilkada menjadi keniscayaan, agar energi yang sebelumnya terfragmentasi dapat disalurkan menjadi kekuatan kolektif untuk membangun nagari. Lebih dari sekadar ajang elektoral, pilkada merupakan manifestasi dari kesadaran politik warga negara dalam menentukan masa depan daerah. Maka, kontestasi politik ini seharusnya tidak merusak jalinan sosial yang telah terbentuk. Justru, Pilkada sepatutnya menjadi wahana peningkatan literasi politik, yang mendorong masyarakat memahami bahwa kepentingan komunal lebih utama daripada sekadar loyalitas kepada kandidat tertentu. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 di Sumatera Barat mencapai 61,68 persen. Angka ini menunjukkan tingkat antusiasme masyarakat yang cukup tinggi. Namun, partisipasi tersebut harus dibarengi dengan kedewasaan dalam menerima hasil dan berkontribusi terhadap proses demokratisasi selanjutnya. Menumbuhkan Solidaritas Sukses atau tidaknya Pilkada tidak hanya ditentukan oleh hasil suara, tetapi juga oleh respons masyarakat dalam menyikapi hasilnya. Jika kontestasi politik hanya menyisakan luka sosial dan segregasi horizontal, maka demokrasi kehilangan substansinya. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa Pilkada adalah ruang edukasi politik, bukan arena konfrontasi berkepanjangan. Perbedaan pilihan adalah hal yang natural dalam sistem demokrasi. Setiap individu memiliki rasionalitas politik masing-masing dalam menentukan pemimpin yang dianggap paling representatif. Namun, apabila perbedaan itu memicu friksi sosial, maka diperlukan mekanisme sosial yang mampu memulihkan kohesi. Pasca pilkada, masyarakat sering kali menyisakan residu konflik seperti retaknya hubungan antar tetangga, keluarga, bahkan antar komunitas adat. Ini merupakan realitas yang harus diantisipasi. Perbedaan bukanlah penyebab perpecahan yang menjadi masalah adalah ketika perbedaan tidak dikelola secara arif. Di titik inilah pentingnya komunikasi konstruktif. Dialog yang dilandasi prinsip saling menghargai akan membantu menetralkan ketegangan. Ruang diskusi yang sehat menjadi penangkal polarisasi yang dapat memecah persatuan. Seperti diungkap oleh survei LSI Denny JA pada 2021, 63 persen masyarakat Indonesia menganggap perbedaan pilihan politik berpotensi merusak hubungan sosial jika tidak dikelola dengan baik. Menjaga Rasionalitas dan Etika Kematangan politik masyarakat ditandai oleh kemampuan menerima realitas politik secara objektif. Dalam demokrasi yang inklusif, fanatisme sempit harus ditinggalkan. Pemilih perlu memahami bahwa setiap kandidat memiliki kelebihan dan keterbatasan, dan hasil Pilkada adalah representasi dari berbagai kepentingan yang ada. Menerima hasil dengan magnanimity atau kelapangan hati adalah indikator penting kedewasaan berdemokrasi. Hubungan sosial yang harmonis jauh lebih bernilai daripada kemenangan sementara yang diraih melalui konfrontasi. Agar pasca pilkada tidak menyisakan polarisasi, berikut langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan masyarakat: Menghapus Polarisasi Politik Polarisasi politik hanya menyisakan residu sosial. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa setelah pilkada, loyalitas harus dialihkan pada pembangunan daerah, bukan pada kepentingan kelompok semata. Membangun Kesadaran Kolektif Sumatera Barat tidak bisa bertumpu pada satu sosok pemimpin saja. Perlu partisipasi aktif masyarakat dalam menyukseskan agenda pembangunan daerah, termasuk dalam sektor ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya. Menjaga Silaturahmi dan Merawat Filosofi Adat Minangkabau Sebagaimana nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, masyarakat Minangkabau diajarkan untuk menjunjung musyawarah, toleransi, dan kohesi sosial. Nilai-nilai ini harus kembali ditegakkan sebagai fondasi membangun masyarakat yang majemuk namun solid. Menyebarkan Narasi Positif Ekosistem informasi digital pasca pilkada sering kali dipenuhi ujaran kebencian dan hoaks. Oleh karena itu, penting untuk membangun narasi positif dan literasi digital agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang menyesatkan.   Peran Strategis Pemimpin Terpilih Tidak hanya masyarakat, pemimpin terpilih juga memiliki tanggung jawab etis dan politis dalam merajut kembali ikatan sosial yang sempat renggang. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah: Merangkul Semua Kelompok Pemimpin sejati bukan hanya milik pendukungnya. Ia harus bersikap inklusif, merangkul kelompok yang berseberangan agar tidak terjadi eksklusi politik. Menjalankan Kebijakan yang Berkeadilan Program pembangunan harus bersifat universal dan menjangkau seluruh elemen masyarakat. Ketimpangan dalam distribusi kebijakan hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan publik. Menjaga Komunikasi Terbuka dengan Masyarakat Transparansi dan keterbukaan menjadi instrumen penting dalam menciptakan legitimasi kepemimpinan. Masyarakat berhak menyampaikan kritik konstruktif, dan pemimpin wajib menanggapinya secara objektif.   Merajut Ulang Kekuatan Kolektif Pilkada hanyalah titik awal dalam perjalanan panjang menuju pembangunan Sumatera Barat yang berkelanjutan. Setelah kontestasi usai, saatnya kita semua bergandengan tangan, menyisihkan perbedaan, dan menatap masa depan dengan semangat kolaboratif. Penguatan sektor pendidikan, ekonomi, dan pelestarian budaya lokal hanya dapat tercapai dengan kebersamaan. Pepatah “biduak lalu, kiambang batauik” bukan sekadar metafora, tetapi filosofi hidup yang relevan dalam konteks demokrasi. Mari kita buktikan bahwa Sumatera Barat adalah tanah yang tak hanya kaya akan adat dan budaya, tetapi juga kedewasaan politik dan solidaritas sosial. Perbedaan adalah anugerah, tetapi persatuan adalah kekuatan. Kini saatnya kembali merajut tenun kebangsaan dari ranah Minang untuk masa depan yang lebih cerah.


Selengkapnya