Opini

566

Apatisme Politik di Sumatera Barat: Penyebab dan Dampaknya terhadap Partisipasi Pemilih dalam Pilkada

Fariz Antonius Azhari Pemilihan umum (pemilu) merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi. Namun, apa jadinya jika rakyat yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam memilih pemimpin, justru enggan berpartisipasi? Fenomena rendahnya partisipasi terjadi pada Pilkada 2024 di Sumatera Barat (Sumbar). Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumbar, hanya 57,15 persen dari total 4.103.084 pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menggunakan hak suaranya. Sebuah angka yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan target partisipasi nasional yang ditetapkan sebesar 75 persen. Fakta turunnya partisipasi pemilih bukan masalah di Sumbar saja. Kondisi ini nyaris terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data KPU, partisipasi pemilih secara nasional dalam Pilkada 2024 tercatat hanya mencapai 68,1 persen. Menurut Arini dalam bukunya tentang catatan Pilkada 2024, angka 68,1 persen tersebut merupakan angka terendah sejak pelaksanaan pilkada serentak pertama kali, dan mengalami penurunan signifikan dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya. Bahkan, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Pemilu Presiden 2024 yang mencapai 81,78 persen. Jika melihat sejarah Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumbar, angka partisipasi pemilih tidak menunjukkan tren yang stabil. Misalnya saja pada Pilgub 2015. Tingkat partisipasi pemilih tercatat 58,56 persen, kemudian meningkat sedikit menjadi 61,68 persen di Pilgub 2020. Namun, pada Pilgub 2024, partisipasi pemilih kembali menurun drastis menjadi hanya 57,15 persen. Fenomena ini menandakan bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan partisipasi pada Pilgub 2020, banyak faktor yang menyebabkan penurunan angka partisipasi dalam Pilgub 2024. Apatisme Politik Menurut teori yang dikembangkan oleh Dalton (2017), apatisme politik seringkali muncul bukan karena kurangnya sosialisasi atau pendidikan politik, tetapi karena masyarakat merasa bahwa suara mereka tidak akan membawa perubahan yang berarti. Fenomena ini sangat relevan dengan kondisi di Sumbar. Salah satu penyebabnya, mungkin saja karena pemilih merasa kecewa dengan hasil kebijakan yang dihasilkan oleh para pemimpin sebelumnya. Dalam banyak kasus, praktik politik uang dan dinamika politik yang jauh dari orientasi kesejahteraan masyarakat turut memperburuk apatisme ini. Teori perilaku pemilih yang dikembangkan oleh Downs (1957) dalam bukunya "An Economic Theory of Democracy" menjelaskan bahwa pemilih merupakan aktor rasional yang mengevaluasi keuntungan dan kerugian saat memutuskan untuk berpartisipasi dalam pemilu. Dalam konteks ini, masyarakat Sumbar mungkin merasa bahwa biaya yang dikeluarkan untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Bisa saja mereka merasa waktu, tenaga, atau kesempatan ekonomi yang hilang lebih besar dibandingkan manfaat yang dapat mereka peroleh dari Pemilu. Apalagi, jika mereka merasa bahwa tidak ada perubahan nyata yang ditawarkan oleh calon pemimpin yang ada. Menurut penelitian Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet (1944), faktor sosiologis juga sangat memengaruhi keputusan seseorang untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Dalam masyarakat Minangkabau, nilai-nilai kultural dan sosial yang kuat memainkan peran penting dalam membentuk sikap politik masyarakat. Misalnya, jika tokoh adat atau pemimpin informal tidak menunjukkan antusiasme terhadap pemilu, hal ini dapat berdampak pada minat masyarakat untuk terlibat dalam proses politik. Seiring berjalannya waktu, pengaruh tokoh adat dalam politik mulai berkurang. Tokoh adat yang dulu memiliki pengaruh besar dalam menentukan pilihan politik masyarakat kini dianggap kurang relevan. Penurunan pengaruh tokoh adat ini, seperti yang dijelaskan oleh Dalton (2017), menciptakan kebingungan atau ketidakpedulian masyarakat dalam berpartisipasi dalam politik. Hal ini turut berkontribusi terhadap rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilgub 2024. Faktor demografis juga memainkan peran besar dalam menurunnya partisipasi pemilih. Berdasarkan data dari TVRI Sumbar (2024), 51,95 persen dari total pemilih dalam Pilgub Sumbar 2024 adalah pemilih muda. Generasi ini cenderung memiliki pola pikir politik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih memilih untuk berpartisipasi dalam politik melalui platform digital, seperti media sosial, daripada melalui pemilu konvensional. Riset yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI (2023) mengungkapkan bahwa generasi Z dan milenial lebih suka mengekspresikan pandangan politik mereka melalui platform digital daripada memilih langsung dalam pemilu. Hal ini sejalan dengan temuan Bennet dan Segerberg (2012) yang menyebutkan fenomena "connective action", di mana generasi muda lebih tertarik pada partisipasi politik yang lebih personal dan berbasis daring. Pengaruh Banyak Faktor Tak dapat dipungkiri, faktor ekonomi juga sangat memengaruhi keputusan seseorang untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Pemilih yang berada dalam kondisi ekonomi yang sulit, seperti pekerja informal atau buruh harian, cenderung lebih memilih untuk tetap bekerja daripada meluangkan waktu untuk datang ke TPS. Penelitian oleh Muhtadi (2019) menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi meningkatkan kerentanannya terhadap praktik politik uang. Dalam hal ini, praktik politik uang menjadi alat yang digunakan untuk meraih suara, namun justru merusak esensi demokrasi. Pemilu yang seharusnya menjadi alat untuk perubahan jangka panjang, berubah menjadi transaksi ekonomi sesaat. Selain itu, budaya Minangkabau yang kental dengan prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) juga mengalami pergeseran dalam menentukan pilihan politik. Dulu, tokoh adat yang memegang gelar Datuak memiliki pengaruh besar dalam menentukan pilihan politik masyarakat. Namun, seiring perkembangan zaman, masyarakat lebih mengutamakan kapasitas dan integritas calon pemimpin daripada sekadar mempertimbangkan gelar adat. Perubahan ini menunjukkan penurunan pengaruh nilai-nilai adat dalam politik, yang berkontribusi pada menurunnya partisipasi politik masyarakat. Rendahnya partisipasi pemilih tentu membawa dampak yang tidak bisa diremehkan. Legitimasi pemerintahan yang terpilih akan menjadi lemah jika hanya didukung oleh sebagian kecil masyarakat. Hal ini dapat mengurangi efektivitas kebijakan dan menciptakan ketidakstabilan politik. Seperti yang diungkapkan oleh Norris (2021), kehilangan kepercayaan terhadap pemilu akan memperburuk demokrasi, karena semakin sedikit orang yang berpartisipasi, semakin kecil pula tekanan terhadap pemimpin untuk bertanggung jawab. Apatisme politik yang terjadi di Sumatera Barat, tercermin dari rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024. Fakta itu merupakan fenomena yang kompleks. Berbagai faktor, mulai dari ketidakpercayaan terhadap efektivitas pemilu, krisis kepercayaan terhadap institusi politik, pergeseran pola partisipasi generasi muda, hingga praktik politik uang, semuanya berkontribusi terhadap hadirnya sikap apatis. Atas dasar itu, perlu ada upaya bersama dari pemerintah, partai politik, dan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi pemilih, memperbaiki kualitas pemilu, serta memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap proses politik. Sebab, hanya dengan partisipasi aktif masyarakat, demokrasi dapat terwujud secara utuh dan efektif.


Selengkapnya
30

Petani di Panggung Demokrasi: Jejak Langkah Menuju Bilik Pilkada Sumbar 2024

Arif Zulpriansyah Siregar Tepat pada hari Rabu, 27 November 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berhasil membangkitkan kesadaran demokrasi masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) melalui momentum elektoral dalam rangka memilih pemimpin daerah masa depan. Sebanyak 4.214.957 surat suara telah didistribusikan secara sistematis ke 17.569 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 19 kabupaten/kota. Tentulah tidak mudah bagi KPU Provinsi Sumbar untuk menggalang partisipasi dari 4.088.606 pemilih terdaftar. Sungguh sulit bagi pembaca awam untuk mencerna angka-angka statistik tersebut, terlebih bagi seorang petani yang harus menunduk karena keletihan saat berjalan menuju TPS, lalu kembali ke ladang untuk menyambung hidup di atas lahan sempit miliknya. Terlihat seperti narasi dramatik di layar kaca, namun kisah ini nyata. Seorang petani mengenakan kaos partai bertuliskan nama dan lambing partai dengan ujung tulisan yang robek, jemarinya dipenuhi tanah kering, dan kakinya telanjang. Ia menggenggam erat paku di tangan dan bertanya lirih kepada petugas, “sia ambo piliah lai ko?” (Siapa saya pilih lagi ini?). Pertanyaan itu mengundang tawa dari pemuda-pemudi yang mengantre, dan dijawab temannya sesama petani, “cucuak se ciek Da, samo se kaduonyo tu” (Coblos saja satu, sama saja keduanya). Tawa kecil mengiringi. Usai mencoblos, petani tua itu melangkah ke lapau (warung kopi), tempat berkumpulnya petani lainnya di samping TPS. Ini bukan cerita fiksi. Benar-benar terjadi nyata di TPS 02 Rumah Gadang Datuk Rajo Ibrahim Pasar Ambacang, Kota Padang, dan penulis sendiri juga menyaksikannya. Fenomena ini bukan sekadar cerita. Pada Pilkada 2024, petani menjadi aktor dominan dalam konstelasi elektoral daerah. Tidak mengherankan, karena Sumatera Barat (Sumbar) merupakan provinsi dengan sektor pertanian sebagai pilar utama ekonomi lokal. Dengan topografi yang beragam, dari dataran rendah hingga kawasan montana, Sumbar memiliki potensi besar dalam berbagai subsektor seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Sebesar potensi agraria tersebut, sebesar pula keterlibatan petani dalam menentukan arah kebijakan publik melalui bilik suara. Janji-janji kampanye yang menonjolkan reformasi agraria dan keberlanjutan pertanian menjadi magnet elektoral yang kuat. Petani pun menjadi elemen strategis sekaligus target utama dalam kontestasi pemilihan kepala daerah tahun ini. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 724.515 Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Sumatera Barat. Angka ini meningkat dari 693.023 RTUP pada 2018, hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS). Fakta itu menunjukkan bahwa keluarga petani menjadi basis elektoral yang menentukan di setiap perhelatan demokrasi, lebih-lebih Pilkada. Fenomena ini memperlihatkan korelasi kuat antara arah kebijakan politik dengan harapan kesejahteraan petani. Artinya, pertanian tak hanya menjadi entitas ekonomi, melainkan juga kekuatan politik yang signifikan dalam demokrasi lokal. Wajah demokrasi petani terlihat berbeda dibanding pekerja sektor lainnya. Lapau menjadi forum diskusi informal namun substantif. Lapau jadi tempat bertukar opini, menyusun argumentasi, dan memverifikasi kabar politik terkini di ranah Minang. Tidak mengejutkan, di tahun politik tahun 2024, banyak lapau tetap terang dan ramai hingga larut malam. Penulis pernah merasakannya sendiri, saat singgah di sebuah lapau depan kantor pemuda Nagari Koto Berapak, Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan (20 November 2024). Ketika datang, diskusi langsung dihiasi narasi tentang salah satu calon yang dijuluki Pak Jangguik (berjanggut), julukan populis yang diberikan oleh petani. Diskusi mengalir tajam. Dari delapan orang di lapau, mereka terbagi dua kubu, salah satunya mendukung calon dari Solok. Narasi “tagak kampuang, bela kampuang” (berdiri untuk kampung, bela kampung) bergema berkali-kali. Sekilas terdengar biasa, tapi narasi mereka sarat data, retorikanya nyaris mengimbangi juru bicara profesional. Padahal faktanya, sebagian besar belum selesai dan bahkan tak tamat SMA. Dialog malam itu diakhiri oleh candaan Pak Black, seorang petani: “Lah… lah, pulang wak lai. Jan sampai ndak miliah dek takalok pas pemilihan bisuak yo.” (Sudah… sudah, pulang kita. Jangan sampai tak memilih karena ketiduran besok pagi). Dari fenomena ringkas di atas, KPU Provinsi Sumbar perlu menyusun strategi inovatif untuk meningkatkan partisipasi politik petani di masa mendatang. Masih banyak hambatan substansial, seperti rendahnya literasi politik dan keterbatasan informasi seputar kandidat dan program mereka. Maka dari itu, dibutuhkan pendekatan sistemik dan berkelanjutan guna meningkatkan kualitas partisipasi petani, agar suara mereka merefleksikan aspirasi sejati. Beberapa langkah yang direkomendasikan antara lain adalah dengan meningkatkan edukasi politik berbasis komunitas. KPU bisa bermitra dengan kelompok tani, lembaga adat, dan tokoh lokal untuk menyelenggarakan edukasi politik berbasis komunitas. Kemudian, memanfaatkan media berbasis lokal seperti radio nagari, pertemuan lapau, dan seni tradisi untuk menyampaikan pesan politik secara kultural. Selanjutnya, menyesuaikan jam operasional Tempat Pemungutan Suara (TPS) agar tak bertabrakan dengan waktu kerja tani. Tentu saja perlu menyediakan TPS di area yang secara geografis dekat dan mudah dijangkau oleh komunitas agraris. KPU Provinsi Sumbar juga perlu memberikan studi kasus konkret bahwa kebijakan pemilu berdampak pada kesejahteraan petani, seperti subsidi pupuk, kredit mikro tani, dan infrastruktur irigasi. Selain itu, mengundang tokoh petani berpengaruh untuk berperan sebagai katalisator partisipasi politik di komunitasnya. Kemudian, menjadikan lapau sebagai tempat penyebaran informasi politik berbasis dialog, dengan pendekatan informal namun substansial. Penulis meyakini, dalam setiap langkah kaki petani menuju bilik suara, tersimpan harapan besar untuk ketahanan ekonomi rumah tangga, pendidikan berkualitas bagi anak, layanan kesehatan yang merata, dan pemimpin yang mampu menjawab aspirasi mereka. Cerita-cerita mereka di lapau bukan sekadar ekspresi emosi, melainkan manifes semangat nasionalisme dan demokrasi akar rumput. Dalam Pilkada 2024, bukan hanya kandidat yang menentukan masa depan petani, tetapi juga KPU sebagai arsitek demokrasi yang mampu membangun ruang partisipasi yang inklusif dan berdaya guna bagi sektor pertanian Sumatera Barat.


Selengkapnya
151

Menyederhanakan Paham Konstitusionalisme dalam Putusan Sengketa Hasil Pemilihan: Pelajaran dari Pasaman dan Belu

Ory Sativa Syakban Konstitusionalisme berkaitan erat dengan rechtstaat dan rule of law, yang berarti aktifitas penyelenggara negara dan pemerintah berdasar hukum dan dibatasi hukum. Carl J. Friedrich (1941) dalam Contsitusionalisme Government And Democracy menuturkan bahwa konstitusionalisme merupakan sekumpulan aktivitas yang diselenggarakan dan dijalankan untuk kepentingan rakyat, namun berada di bawah berbagai pengekangan (pembatasan) yang bertujuan untuk memastikan agar kewenangan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak digunakan secara tidak semestinya oleh pihak yang diberi wewenang untuk memerintah. Kita mengenal konstitusi dalam bentuk aturan tertulis yakni UUD, keberadaan UUD memiliki tujuan untuk diadakan, tujuan disusunnya undang-undang dasar adalah untuk menetapkan seperangkat ketentuan yang jelas guna mengarahkan perilaku manusia, sehingga dapat menjamin terselenggaranya pemerintahan yang tertib dan teratur, demikian pikiran Richard S. Kay. (Miriam, 2008: 170). Penekanan tersebut merupakan fungsi normatif keberadaan UUD sebagai instrument of control dalam bernegara dan secara substansi, UUD adalah pembatasan kekuasaan dan pertanggungjawaban publik sebagai esensi pemerintahan konstitusional. Pemerintahan konstitusional bukan hanya pemerintahan yang memiliki Undang-Undang Dasar, tetapi merupakan sistem pemerintahan yang kekuasaannya dibatasi oleh aturan hukum, serta berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan tindakannya kepada rakyat (Adnan, 2007:131). Miriam (2008) menjelaskan bahwa konstitusionalisme dalam undang-undang dasar dipandang sebagai suatu institusi yang memiliki peran khusus, yakni menetapkan serta membatasi kewenangan pemerintah di satu sisi, dan di sisi lain melindungi hak-hak asasi setiap warga negara. Mahfud (2017) lebih gamblang lagi mengatakan bahwa inti konstitusionalisme adalah perlindungan HAM dan pembatasan kekuasaan negara melalui pemencaran & pembagian kekuasaan. Tidak ketinggalan Friedrich (Ni’matul, 2010: 152) pun mempertegas, konstitusionalisme merupakan suatu sistem yang terstruktur yang berkaitan dengan pembatasan yang efektif dan terorganisir terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Lebih sederhana lagi, Jimly (2020) mendefinisikan konstitusionalisme tidak lain merupakan suatu sistem pemerintahan yang terbatas, yaitu dibatasi oleh konstitusi, atau dibatasi oleh hukum berdasarkan konstitusi. Bagaimana melihat pembatasan kekuasaan pemerintahan dan perlindungan atas hak-hak asasi warga negara, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 dalam perkara perselisihan hasil pemilihan Kabupaten Pasaman? Secara sederhana dideskripsikan seluruh aktifitas penyelenggaraan negara, termasuk pemilihan yang diselenggarakan oleh KPU, wajib tunduk pada hukum berdasarkan konstitusi, sehingga KPU Kabupaten Pasaman dibatasi (dikekang) kewenangannnya dalam melayani hak konstitusi calon kepala daerah yang pernah dijatuhi hukuman pidana, hanya menurut konstitusi seperti yang diatur dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Nomor 71/PUU-XXIV/2016, dan putusan Nomor 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 dalam satu tarikan nafas harus dibaca pula sebagai upaya konstitusional melindungi hak warga akibat batasan itu dilampaui, atau dalam bahasa pemerhati, akibat pelanggaran prosedur pemilihan. Sengketa hasil pemilihan Pasaman diajukan Paslon Mara Ondak dan Desrizal, mereka menuduh rivalnya Anggit Kurniawan Nasution (Anggit) merupakan mantan terpidana yang tidak transparan dan tidak jujur kepada publik perihal jati dirinya. Masyarakat menanggapi keabsahan ‘Surat Keterangan Tidak Pernah Sebagai Terpidana’ atas namanya berdasarkan muatan informasi dalam tangkapan layar SIPP PN Jakarta Selatan, bahwa ia pernah dijatuhi pidana selama 2 bulan 24 hari berdasarkan putusan inkrah PN Jakarta Selatan nomor: 293/Pid.B/2022/PNJkt.Sel. KPU Kabupaten Pasaman berkesimpulan tanggapan masyarakat tersebut tidak dilengkapi dengan KTP-elektronik pelapor dan disampaikan sudah di luar tahapan. Celakanya, 7 hari menjelang hari pemungutan suara, PN Jakarta Selatan menerbitkan surat yang substansinya membatalkan suket tidak pernah sebagai terpidana yang pernah diterbitkan atas nama Anggit. Merespon KPU Kabupaten Pasaman selaku in-user terhadap dokumen syarat calon, sehingga tidak mengklarifikasi kebenaran tanggapan masyarakat serta menyerahkan kebenaran materiil kepada PN Jakarta Selatan sebagai instansi yang menerbitkan dokumen, MK dalam pertimbangannya menyebutkan, “demi mewujudkan/menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas maka rambu-rambu atau batasan-batasan tertentu sebagai syarat pencalonan sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan harus dipenuhi secara keseluruhan oleh masing-masing calon tanpa terkecuali. Lebih lanjut, adanya pembatasan-pembatasan dimaksud adalah semata-mata untuk menjamin hak dan kebebasan bagi para pemilih untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kompetensi cukup, berintegritas, dan jujur”. Artinya KPU Kabupaten Pasaman dibatasi konstitusi untuk memastikan calon kepala daerah memenuhi syarat sesuai hukum. Juga ikhtiar mencari kebenaran pemenuhan syarat tersebut harus dimaknai sebagai upaya menjalankan batasan kewenangan dan menjamin hak-hak pemilih di Pasaman. Hukum telah membatasi persyaratan calon kepala daerah yang merupakan mantan terpidana sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan, yang dijudicial-review dengan putusan nomor: 56/PUU-XVII/2019. MK menegaskan: “…Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati... harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:... g. (i) tidak pernah dijatuhi hukuman pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali bagi terpidana yang melakukan tindak pidana karena kelalaian atau tindak pidana politik, yaitu perbuatan yang dianggap tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya memiliki pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah menyelesaikan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengungkapkan latar belakangnya sebagai mantan terpidana; serta (iii) tidak terlibat dalam tindak kejahatan berulang…”, dan pembatasan tersebut konstitusional.   Selanjutnya, dibatasi pula dengan ketentuan teknis dalam Pasal 14 huruf f Peraturan KPU tentang pencalonan kepala daerah, yang redaksionalnya persis dengan putusan nomor: 56/PUU-XVII/2019. Dengan pembatasan itu MK sedang melindungi dan menjaga hak-hak konstitusional pemilih, dan  mengawal konstitusi, jika pemilihan dijalankan tidak sesuai konstitusi, MK berwenang membatalkan hasilnya. Jika kewenangan dijalankan berdasarkan hukum dan calon kepala daerah mantan terpidana juga memahami batasan hukum ketika berkontestasi dalam demokrasi elektoral dan patuh pada batasan hukum sesuai konstitusi, sengketa pemilihan tentu tidak terjadi. Demikian rule of law dalam paham konstitusionalisme, dimana hukum jadi landasan tertinggi dalam penyelenggaraan pemilihan, dan setiap orang tunduk padanya. Terhadap kondisi adanya persoalan pemenuhan syarat calon Anggit, dan fakta bahwa ia ternyata pernah disanksi pidana 2 bulan 24 hari dengan ancaman pidana 4 tahun penjara, kondisi ini sudah pernah pula dibatasi konstitusi dalam putusan Nomor 71/PUU-XXIV/2016, dalam angka 2 amar putusannya berbunyi:”… atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”, yang secara konsisten dan faktual telah dipraktekkan dalam Putusan Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 pada pertimbangan hukumnya, MK mengkonstruksikan perbedaan antara ancaman pidana penjara “5 tahun atau lebih” dengan ancaman pidana “maksimal 5 tahun” atau “5 tahun ke bawah”. Individu yang menjadi terpidana dengan ancaman hukuman penjara “5 tahun atau lebih”, dikenai tambahan syarat berupa masa jeda 5 tahun ketika berkontestasi lagi secara electoral, dan untuk mantan narapidana yang dikenai ancaman hukuman“maksimal 5 tahun” atau “5 tahun ke bawah”, tidak dikenai syarat masa jeda 5 tahun, namun tidak menghilangkan kewajibannya untuk terbuka dan jujur mengumumkan jati dirinya sebagai mantan terpidana, ini batasan tegasnya. Perspektif HAM dalam konstitusionalisme menegaskan bahwa negara menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar pemilih sesuai konstitusi, yang dalam praktek sederhana batas kekuasaan negara adalah menjaga terwujudnya hak untuk memilih dan dipilih, serta hak atas akses yang setara dalam memperoleh layanan publik, seperti memperoleh layanan informasi yang hak tersebut dilindungi UUD, maka penyelenggara negara wajib mengambil tindakan afirmatif untuk memenuhi hak-hak warga negara tersebut. Jika batasan itu terlewati, maka dikoreksi oleh yudikatif. Adanya mekanisme koreksi untuk menjamin perlindungan terhadap hak pemilih ketika hak-haknya dilanggar. Anthony Downs (1957: 266) berpendapat, sebelum membuat keputusan dalam memilih, seorang pemilih perlu terlebih dahulu memperoleh informasi mengenai tanggal pemilihan, jumlah partai yang ikut serta, nama-nama partai, tata cara pemungutan suara, dan sebagainya. Sehingga voters make rational choices when accurate information is accessible, (pemilih membuat pilihan yang rasional ketika informasi yang akurat tersedia). Pemilih berhak mendapatkan akses informasi berkenaan kandidat yang akan dipilih, dan hak konstitusional harus diwujudkan oleh pemerintah dan calon berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Terlebih berkenaan dengan status hukum calon, sehingga pemilih rasional menentukan pilihannya dan rasionalitas itu mempengaruhi keterpilihan kandidat dan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas sesuai kehendak pemilih. Praktek calon yang jujur dan berintegritas, sederhananya diperlihatkan dengan sikap jujur calon saat mendaftar. Kandidat mengisi dokumen dengan benar, terutama syarat tidak memiliki riwayat pernah melakukan perbuatan tercela, dengan bukti surat keterangan dari kepolisian yang memuat informasi mengenai data diri calon sebenarnya. Jika ternyata sebaliknya, calon haruslah menolak dan jujur mengatakan bahwa surat keterangan dimaksud tidak benar dan tidak sesuai keadaan yang sesungguhnya. Praktek lainya pada saat mendapatkan “Surat Keterangan Tidak Pernah Sebagai Terpidana”, calon menyampaikan keberatan kepada instansi yang menerbitkan manakala informasinya tidak sesuai realita. Jikalau keberatan telah dilakukan namun masih terdapat kekeliruan pada dokumen yang diterbitkan instansi terkait, calon masih dapat menyampaikan kebenaran perihal dirinya kepada penyelenggara dan mengumumkan kepada publik secara terbuka. Hal tersebut tidak dilakukan Anggit yang berdampak pada pemilih tidak mendapatkan akses infromasi perihal dirinya. Pemilih tidak memiliki kesempatan untuk memilih secara rasional atau untuk mendapat layanan dan akses informasi yang memenuhi prinsip konstitusional. Berbeda dengan yang dipraktekkan oleh Vicente Hornai Gonsalves calon wakil bupati Belu, saat proses pembuatan “Surat Rekomendasi Catatan Kriminal” di Kepolisian Resor Belu, NTT, dengan tulisan tangannya telah menerangkan bahwa dirinya “pernah dihukum pada tahun 2004 dan sudah diputus di PN Atambua”, MK menilai perbuatan Vicente sebagai praktek berlaku jujur. Penyelenggara negara memperoleh legitimasi hanya jika bertindak sesuai kehendak dan kepentingan rakyat. Lengkapnya, hak dan kewajiban pemerintah ditata hanya untuk melindungi kepentingan rakyat, sementara pemilihan adalah sarana rakyat mengekspresikan kedaulatannya secara nyata. Sederhananya pembatasan kekuasaan dimaknai bahwa penyelenggara negara tidak bertindak sewenang-wenang di luar kehendak rakyat yang termuat dalam konstitusi. Akhirnya, demi menjamin legitimasi hasil pemilihan dan menjaga kedaulatan rakyat, MK menyatakan persyaratan Anggit sebagai calon wakil bupati tidak memenuhi ketentuan dan mengandung cacat hukum. Sebab dalam perkara ini ia telah mencederai prinsip penyelenggaraan pemilihan yang berkeadilan, demokratis, dan berintegritas. KPU Kabupaten Pasaman pun diperintahkan untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang.


Selengkapnya
159

Dilema Pilkada Sumbar 2024: Putra Daerah atau Pilihan Hati?

Utari Akhir Gusti Pemilihan umum (pemilu) menjadi momentum krusial dalam menentukan arah kepemimpinan bangsa. Peristiwa ini seringkali ditandai dengan kampanye yang terjadi di berbagai daerah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Tidak heran, jika sebelum pemilu terbentuk kelompok-kelompok yang saling mendukung jagoannya. Hadirnya pemilu ini, menjadikan masyarakat saling kompak dan bekerjasam satu sama lain dalam memperjuangkan hak pilihnya. Kondisi ini, membuat masyarakat selalu menanti-nantikan datangnya pemilu yang diadakan sekali lima tahun. Di tengah maraknya tahapan pemilu, tidak jarang muncul berbagai dilema dan problematika yang menguji kedewasaan demokrasi Indonesia. Dari politik identitas hingga kampanye negatif ikut menjadi bagian tidak terpisahkan dari pemilu. Tidak hanya itu, dilema putra daerah atau pilihan hati juga ikut memeriahkan pemilu yang terjadi di Indonesia. Tantangan ini sering kali memengaruhi persepsi publik dan kualitas partisipasi warga dalam menentukan pemimpin yang terbaik untuk masa depan. Kondisi ini juga terjadi pada Pilkada Sumatera Barat 2024 kemaren. Salah satu dilema yang dihadapi masyarakat, yaitu adanya pilihan putra daerah atau pilihan hati. Kedua pilihan ini tidak bisa dikatakan salah, karena pada akhirnya keputusan ada di tangan masyarakat. Dalam setiap pemilihan umum, warga akan dihadapkan pada berbagai calon dengan beragam kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan secara matang sebelum menentukan pilihan di bilik suara. Tantangan ini kerap memicu perbedaan pendapat yang tak jarang berujung pada ketegangan, perdebatan, bahkan konflik yang merusak harmoni sosial. Kondisi ini turut mewarnai dinamika Pilkada Sumatera Barat 2024, di mana kuatnya ikatan kedaerahan dan perbedaan preferensi politik sering kali memperkeruh suasana. Banyak masyarakat yang terjebak dalam perselisihan panjang untuk mempertahankan pilihannya tanpa ruang untuk saling mendengarkan. Sentimen emosional yang muncul terkadang mengaburkan fokus utama yaitu mencari pemimpin terbaik untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan warga. Akibatnya, proses demokrasi yang seharusnya menjadi ajang partisipasi sehat justru berubah menjadi arena konflik yang melelahkan secara sosial. Penting bagi masyarakat untuk mengedepankan musyawarah dan kebijaksanaan dalam menyikapi setiap perbedaan pandangan politik.   Pilkada di Sumatera Barat Kondisi yang terjadi semakin kompleks dengan tradisi yang dimiliki Minangkabau yang memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak dan kapasitas calon. Hal ini semakin genting dengan pepatah yang dimiliki “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Nilai ini menekankan akan pentingnya menjaga tradisi dan mempercayakan kepemimpinan kepada sosok yang memahami karakter lokal secara mendalam. Kondisi ini sebenarnya tidaklah salah. Bukankah kita memilih pemimpin dengan melihat kualitas dan rekam jejaknya? Tapi, yang salah adalah paksaan memilih dengan melibatkan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan menjadikan sebagai senjata dalam kampanye paslon. Seperti yang diketahui, putra daerah yang lahir dan besar dalam kultur Minangkabau, seringkali dianggap lebih mampu melestarikan nilai-nilai tersebut dan menjaga harmoni masyarakat. Hal tersebut karena putra daerah telah memahami karakteristik masyarakat dan daerah yang akan dipimpin, sehingga lebih tepat dalam memilih strategi untuk mensejahterakan serta memajukan daerah. Berbeda halnya dengan paslon yang berasal dari daerah yang berbeda atau merantau, akan cenderung kurang memahami karakteristik daerah dan masyarakat. Kondisi ini yang diyakin bahwa paslon yang berasal dari luar daerah memiliki strategi kurang efektif. Namun, bukan berarti tidak dapat merancang program yang baik tapi hanya dianggap kurang baik dibandingkan putra daerah. Jika dilihat dari perspektif budaya, hal ini tentu lebih efektif dalam pemilihan umum. Sayangnya, kondisi ini sering dijadikan kambinghitam dalam memengaruhi pilihan masyarakat tanpa memperhatikan kualitas paslon. Tidak jarang, masyarakat memilih hanya karena alasan tersebut tanpa melihat kualitas paslon. Akibatnya, ditemukan kekecewaan dan saling menyalahkan. Pada gilirannya, memicu perdebatan yang berkepanjangan. Artinya, Putra daerah menjadi paslon terbaik jika diikuti dengan kualitasnya juga dan sebaliknya. Pertanyaannya, kenapa pilihan putra daerah atau pilihan hati menjadi salah satu dilema Pilkada Sumbar 2024? Bukankah memilih Putra deaerah atau pilihan hati, sama-sama baik? Pertanyaan ini menjurus pada suatu kondisi yang merusak pesta demokrasi Sumatera Barat. Perihalnya, masyarakat memaksa orang lain untuk memilih antara dua pilihan tersebut dengan argumennya masing-masing. Tidak jarang, ditemukan masyarakat yang terpecah-pecah dan saling tidak sapa dalam periode pra-pemilihan. Perbedaan pandangan politik yang tajam seringkali menimbulkan sekat di antara tetangga, teman, bahkan keluarga. Kondisi ini membuat masyarakat diliputi kebingungan, galau, dan sulit menentukan pilihannya sendiri karena takut akan tekanan sosial atau rasa bersalah jika berbeda pandangan dengan lingkungan sekitar. Padahal, pemilihan seharusnya menjadi momentum persatuan dalam merumuskan masa depan daerah. Setiap suara memiliki makna penting dan perbedaan pilihan adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Bukankah Indonesia terbentuk dari berbagai perbedaan. Hal ini yang dilupakan dan dikesampingkan oleh masyarakat. Dibutuhkan kedewasaan politik dan ruang dialog yang sehat agar masyarakat bisa memilih dengan tenang tanpa harus mengorbankan hubungan sosial yang berharga. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak tersebut. Pertama, memastikan hak pilih masyarakat tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Hal ini akan memberikan kebebasan pada warga untuk menentukan pilihan terlepas dari adanya putra daerah atau tidak. Tindakan ini akan mengurangi adanya konflik antar warga yang berujung pada perpecahan. Kedua, menciptakan kampanye yang ramah warga. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari pengaruh yang bersifat destruktif yang dapat memunculkan kontroversi antar warga. Fakta di lapangan, tidak jarang ditemukan kampanye yang membawa SARA yang memicu pada  perpecahan antar budaya maupun masyarakat. Ketiga, Monitoring dan evaluasi pelaksaan pra dan pasca pemilu. Penyelesaian masalah ini cukup sederhana namun akan menjadi pemantik perpecahan jika tidak adanya solusi dan tindakan nyata dalam menyelesaikannya. Dengan memastikan hak pilih warga dan menjadikan kampanye terbebas dari SARA, akan menjadikan pemilu lebih tenang dan khidmat dalam penentuan pemimpin masa depan. Terlepas dari berbagai masalah yang dihadapi masyarakat di tengah pesta demokrasi, pemerintah harus terus melakukan evaluasi untuk memastikan pemilihan umum yang lebih baik di masa depan. Evaluasi ini termasuk memperkuat pendidikan politik, meningkatkan transparansi, dan pengawasan ketat terhadap kebijakan moneter dan praktik kampanye hitam. Tindakan ini, akan menciptakan kondisi pemilu yang bebas menggunakan hak suara tanpa intervensi atau ancaman perorangan atau kelompok tertentu. Artinya, pemerintah bersama dengan masyarakat perlu berkolaborasi dalam menjadi pemilu yang damai. Ketika berbagai pihak bersatu menjaga kesatuan, pemilu tidak lagi menjadi ajang perpecahan, melainkan momentum untuk merayakan keberagaman dalam bingkai persatuan. Selain itu, peran tokoh masyarakat, pemuda, dan organisasi lokal menjadi esensial dalam mempromosikan pesan toleransi dan kebersamaan. Dengan saling mendukung dan mengutamakan kepentingan bersama di tengah kepentingan pribadi, masyarakat dapat membangun budaya politik yang lebih sehat, berintegritas, dan berorientasi pada kemajuan daerah. Kesadaran kolektif untuk menghindari provokasi dan hoaks juga menjadi fondasi penting dalam menjaga stabilitas sosial. Apabila nilai-nilai ini terus dijaga, maka pesta demokrasi benar-benar bisa menjadi sarana mempererat solidaritas dan melangkah bersama menuju masa depan yang lebih cerah dan terhindar dari berbagai dilema sosial.


Selengkapnya
39

Harapan Mahasiswa Terhadap Pemilihan Serentak 2024 di Sumatera Barat

Wulan Dwidestela Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi pembangunan yang besar. Mulai dari pegunungan, danau, hingga pantai, Sumatera Barat (Sumbar) memiliki kekayaan alam yang melimpah. Provinsi ini menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara karena kentalnya budaya Minangkabau dan Mentawai. Sumbar memiliki potensi yang sangat strategis di Indonesia saat ini, yaitu sektor pariwisata yang tengah naik daun, pertanian yang menjanjikan, dan masih banyak potensi lainnya. Namun, di balik potensi yang luar biasa ini, terdapat tantangan yang dihadapi Sumbar untuk maju. Kesenjangan pembangunan antar wilayah masih menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Sumbar. Poin-poin yang paling sering dibahas antara lain infrastruktur, akses pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Selain itu, angka kemiskinan dan tingkat pengangguran yang relatif tinggi menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi siapapun yang terpilih menjadi pemimpin daerah. Oleh karena itu, Pilkada 2024 menjadi momentum penting untuk menentukan arah Sumatera Barat ke depan, apakah masih akan terjebak dalam masalah klasik atau mau bangkit dan melangkah maju untuk masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Peran Mahasiswa dalam Pilkada 2024 Persoalan terpenting dalam Pilkada 2024 adalah masih rendahnya partisipasi masyarakat, khususnya pemilih muda. Hal ini cukup membuat kita yang paling antusias pun menjadi apatis terhadap keseluruhan proses politik dengan anggapan bahwa memilih tidak akan mengubah keadaan. Padahal, ini adalah kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar bisa membawa perubahan, bukan sekadar omong kosong, tetapi yang benar-benar bisa menyelesaikan masalah di daerah. Dan mahasiswa sendiri harus menjadi agen perubahan yang mendidik masyarakat, terutama teman sebayanya, agar lebih terlibat dalam proses demokrasi ini. Sementara itu, mahasiswa harus berkontribusi dalam meningkatkan kualitas kampanye dengan mendorong calon pemimpin masa depan untuk berkonsentrasi pada program yang jelas dan terukur, bukan membuat serangan fajar yang hanya dapat memicu ketegangan politik di masyarakat. Sebagai mahasiswa, penulis dan banyak teman lainnya menginginkan pemimpin daerah yang tulus, jujur, dan cakap. Pemimpin yang memiliki visi yang jelas untuk memajukan daerah dan dapat melaksanakan program pembangunan. Jadi, pilkada bukan ajang untuk memilih siapa yang paling populer, siapa yang paling banyak pengikutnya di media sosial, tetapi untuk memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak yang baik, yang tidak terbelenggu oleh politik identitas, dan memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan besar Sumatera Barat. Salah satu persoalan yang membuat penulis khawatir adalah permasalahan pendidikan. Meskipun Sumatera Barat memiliki banyak universitas berkualitas, namun masih banyak daerah yang kesulitan dalam mengakses pendidikan yang layak. Ini memang ketidakadilan yang serius yang seharusnya menjadi perhatian para pemimpin masa depan. Pemimpin yang terpilih juga harus memiliki tekad dalam memperbaiki sistem pendidikan dengan meningkatkan kualitas staf pengajar, membenahi tempat pendidikan, dan memberikan kesempatan yang lebih baik bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil untuk memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan. Selain itu, sektor kesehatan juga harus menjadi prioritas utama. Salah satu tantangan terbesar yang perlu segera diatasi adalah terbatasnya ketersediaan infrastruktur kesehatan dan rendahnya kualitas pelayanan kesehatan di berbagai daerah. Para pemimpin di daerah harus memastikan bahwa semua lapisan masyarakat, terutama yang tinggal di daerah pedesaan dan terpencil, dapat menikmati sistem kesehatan yang lebih baik dan lebih adil. Memilih Pemimpin Unggul Salah satu tantangan serius yang dihadapi dalam Pilkada 2024 adalah polarisasi politik yang semakin tajam di masyarakat. Baik di tingkat nasional maupun daerah, fenomena politik identitas, yang terlihat dalam setiap pemilihan, dapat menyebabkan perpecahan sosial. Polarisasi politik semacam itu tidak hanya menciptakan kerusakan pada persatuan tetapi juga mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih relevan dengan tatanan daerah yang sejahtera. Jika ada, sangat penting sebagai mahasiswa untuk menyadari bahwa politik identitas tidak boleh didahulukan dalam hal pilihan. Kita butuh pemimpin yang punya visi dan agenda daerah yang kuat, yang bisa mempersatukan masyarakat, bukan memecah belah masyarakat. Kita harus mendorong kampanye yang fokus pada perdamaian, rekonsiliasi, dan kebersamaan untuk mencegah konflik sosial yang lahir dari perbedaan politik. Pilkada 2024 menjadi momentum untuk mengevaluasi kemampuan calon pemimpin dalam menjelaskan berbagai kekurangan, khususnya di bidang infrastruktur dan pembangunan ekonomi. Sumatera Barat memiliki banyak potensi di sektor pariwisata, pertanian, dan sumber daya alam lainnya. Namun potensi tersebut perlu dioptimalkan oleh para pemimpin dalam merancang kebijakan untuk pembangunan ekonomi yang inklusif, membangun infrastruktur yang berkualitas, dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah sangat penting untuk pembangunan ekonomi yang lebih baik. Infrastruktur yang lebih baik akan memungkinkan masyarakat untuk mengakses pendidikan, kesehatan, dan layanan penting lainnya sekaligus meningkatkan konektivitas antar wilayah. Seorang pemimpin terpilih harus tahu bagaimana mempertimbangkan konstituennya dan membuat kebijakan pembangunan yang berpihak kepada rakyat. Di bidang ekonomi, Sumatera Barat harus menyadari potensi sektor pariwisata dan pertanian yang dapat menjadi sumber utama pendapatan daerah. Pemberdayaan ekonomi masyarakat, pelatihan keterampilan, dan pengembangan usaha kecil dan menengah harus menjadi fokus. Pemimpin yang visioner akan melihat potensi dan berusaha mengoptimalkan semua sumber daya untuk memfasilitasi kemajuan daerah. Provinsi Sumatera Barat telah lama menjadi tanah putra-putri terbaik bangsa,  dan Pilkada Serentak 2024 adalah momen penting bagi masyarakat Sumatera Barat untuk menentukan jalan menuju masa depan. Sebagai seorang mahasiswa, penulis menghimbau teman-teman dan seluruh masyarakat untuk membuat pilihan tidak hanya berdasarkan popularitas atau latar belakang calon, tetapi lebih pada kualitas dan visi pembangunan yang ditawarkan. Kita membutuhkan pemimpin yang berintegritas, berkemampuan, dan berwawasan luas, yang dapat menjawab tantangan pembangunan di Sumatera Barat. Penulis berharap pilkada akan melahirkan kepemimpinan terpilih yang mampu membuka potensi daerah, menciptakan lapangan kerja, mengakhiri kemiskinan, dan menjamin kesejahteraan rakyat. Peran aktif mahasiswa dan masyarakat pada Pilkada 2024 akan menjadi amunisi bagi daya ungkit kinerja pemimpin terpilih demi kemajuan Sumatera Barat ke depan.


Selengkapnya
79

KPU Fasilitasi Suara Rakyat pada Pemilihan Serentak Nasional Tahun 2024

Zainal Abadi Bangsa Indonesia baru saja melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2024, begitu juga di Kabupaten Agam. Keberhasilan Pilkada sesuai jadwal di tengah berbagai tantangan tentu menjadi catatan sejarah bagi bangsa Indonesia. Meski demikian Pilkada masih menyimpan sejumlah catatan negatif seperti persoalan rendahnya partisipasi, dugaan adanya politik uang, penyebaran hoax, politik pragmatis, polarisasi, kampanye hitam serta bentuk perbuatan lainnya yang bertentangan dengan semangat demokrasi. Namun persoalan itu semua tetap tidak mengurangi keberhasilan bangsa Indonesia dalam melaksanakan Pilkada serentak pertama di Indonesia sebagai bentuk perwujudan kedaulatan dalam sistem demokrasi. Upaya yang maksimal telah dilakukan seluruh jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam melaksanakan Pilkada. KPU menjadi aktor utama memfasilitasi kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerahnya. Sejak tahapan telah ditetapkan, KPU kejar tayang untuk menyusun langkah-langkah strategis untuk melaksanakan Pilkada serentak, seperti menyiapkan regulasi, membangun sinergi, menyusun tahapan dan tentunya menyiapkan pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM). Semua itu adalah wujud dari upaya KPU memfasilitasi kedaulatan rakyat. Tekad yang kuat itu diperlihatkan oleh seluruh jajaran yang baru saja pulang dari kerja berat melaksanakan Pemilu, tanpa lelah langsung menyambut tahapan Pilkada. KPU selalu menggaungkan tagline sebagai “KPU Melayani” “Integritas 24 jam” dan juga menggaungkan tagline “Rakyat Berdaulat Negara Kuat” sebagai bentuk kesiapan KPU dengan seluruh jajarannya melaksanakan Pilkada Serentak. KPU se-Sumatera Barat juga senada sebagai wujud upaya memfasilitasi kedaulatan rakyat membuat tagline “Pilkada Bermartabat Berarti Untuk Negeri,” di mana martabat pilkada pertama kali diukur dengan komitmen penyelenggara Pemilu yang bekerja menjunjung tinggi independensi dan profesionalitas. Memfasilitasi suara rakyat tentu bukan hanya pekerjaan selesai dengan “bim salabim” tapi merupakan pekerjaan berat. Penyelenggara harus benar-benar matang dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring serta evaluasi di setiap tahapan. Tentu juga yang menjadi sangat penting menjalankan semua tahapan dengan asas Pemilu yang luber dan jurdil. Sebagai penyelenggara tentu harus berjibaku menuntaskan semua tahapan dengan segala tenaga, usaha dan pikiran. Seluruh personil bekerja tidak lagi mengenal siang dan malam. Semua usaha untuk memastikan rakyat mendapatkan hak konstitusional untuk bersuara menentukan pemimpinnya. KPU Kabupaten Agam yang menyelenggarakan Pilkada serentak tentu memiliki catatan. Catatan ini diharapkan menjadi apresiasi kepada seluruh pihak yang telah bekerja keras, tentu lebih dari itu proses yang berjalan kemudian dapat memberikan pelajaran pada Pilkada mendatang dalam menyiapkan strategi, inovasi dan berbagai bentuk pengelolaan lainnya demi pelaksanaan prosedur yang lebih baik. KPU dan jajarannya harus memfasilitasi pelaksanaan demokrasi pemilihan kepala daerah. Sebagaimana diuraikan di atas, memfasilitasi suara rakyat berarti KPU harus mampu memfasilitasi kedualatan yang esensi yaitu persamaan dan kebebasan dan juga memfasilitasi kedulatan prosedural yaitu setidaknya terkait prinsip suara mayoritas. Dalam mewujudkan kedaulatan rakyat, KPU tidak hanya bertitik fokus pada rakyat yang memiliki hak pilih, namun juga harus mengakomodir hak rakyat untuk dipilih yang merupakan peserta kontestasi dan juga mengakomodir stakeholder lain untuk menjalankan tugas dan wewenangnya dalam pelaksanaan pilkada. Dengan demikian KPU harus mengakomodir tiga elemen dalam pilkada, yaitu pertama elemen pemilih, kedua elemen peserta, dan ketiga elemen pemangku kepentingan yang juga bertanggungjawab dalam pilkada. Dengan demikian memfasilitasi suara rakyat tidak hanya tanggungjawab KPU untuk mengakomodir esensi kedaulatan rakyat tapi juga merupakan ketentuan untuk dapat mengakomodir tiga elemen penting baik pemilih, peserta, maupun pihak stakeholder penyelenggaraan pilkada. Keberhasilan KPU RI membangun sinergi dengan pemangku kepentingan pilkada memberikan peran penting dalam menyukseskan pelaksanaan pilkada di daerah. KPU Kabupaten Agam merasakan hal ini. Sehingga mempermudah pekerjaan teknis yang akan dilaksanakan. Kegigihan KPU RI mengadvokasi serta meyakinkan semua pihak untuk bersinergi menjalankan Pilkada secara serentak pada setiap pertemuan antar pihak di pusat, baik itu pertemuan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Focus Group Discucsion, maupun seminar. Rapat Koordinasi pembahasan pikada semua telah mempermudah pelaskanaan sinergisitas di tingkat daerah. Tidak hanya itu, KPU juga mampu menyampaikan persoalan-persoalan yang terjadi dan yang akan mungkin terjadi di daerah untuk diselesaikan secara bersama misalnya persoalan anggaran pilkada, persoalan pengadaan serta distribusi logistik, persoalan keamanan, dan persoalan data pemilih. Melalui sinergi KPU mampu meyamakan pemahaman dalam menghadapi pilkada. Sinergi ini terwujud tentu dengan kemampuan KPU menjadi pelaksana sekaligus fasilitator dalam menjalankan tahapan. Ada beberapa poin penting yang sangat terbantu seperti pada tahapan pembahasan dana hibah dengan Pemerintah Daerah, Kesbangpol dan KPU Kabupaten untuk sama-sama merasionalkan anggaran pilkada.   KPU Kabupaten Agam dalam Memfasilitasi Suara Rakyat Memfasilitasi suara rakyat ini memang memiliki ruang lingkup yang besar. Namun sebagaimana uraian di atas, memfasilitasi di sini pada dua elemen penting penyelenggaraan pilkada yaitu, hak pilih, hak dipilih dan tentu beberapa prasyarat untuk menjamin terwujudnya hak pilih dan hak untuk dipilih seperti kemitraan, anggaran, dan penyiapan fasilitas pendukung lainnya. Selain persoalan pilkada secara nasional yang banyak dikhawatirkan untuk menghalangi pelaksanaan Pilkada serentak, tentu Kabupaten Agam juga memiliki dinamikanya tersendiri sebagaimana Kabupaten lain juga memiliki persoalan yang bersifat lokalistik. Dalam menjalankan pilkada, KPU Kabupaten Agam dihadapkan dengan tantangan persoalan topografi wilayah yang memiliki laut, gunung, dan danau hal ini dapat mempengaruhi komunikasi jajaran penyelenggara hingga persoalan logistik Pilkada. Persoalan lainnya rendahnya partisipasi pemilih dari pilkada ke Pilkada menjadi momok yang tak kunjung selesai. Letak Agam Barat dan Agam Timur menjadi keunikan tersendiri dalam setiap ajang perhelatan politik yang jika tidak dikelola dengan bijak dapat mengakibatkan tingginya suhu perpolitikan. Ditambah lagi APBD Kabupaten Agam termasuk kecil, yang juga mengakibatkan alotnya pengalokasian hibah pilkada. Selanjutnya KPU Kabupaten Agam mencanangkan kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih yang mana ini tidak dapat dipisahkan dalam pelaksanaan pesta demokrasi, sosialisasi dan pendidikan pemilih adalah aktifitas dalam membentuk insan politik yang mengerti status kedudukannya dalam sebuah negara dan masyarakat. Maka dari itu konsep kedaulatan rakyat mesti dibarengi pelaksanaan pendidikan dan sosilisasi politik. Dalam pendidikan pemilih ini di Sumatera Barat mengusung tema “Pilkada Bermartabat Berarti Untuk Negeri”. Rakyat menjadi aktor kunci untuk menentukan pilihan, harapannya melalui pilkada rakyat menyadari mempunyai legitimasi untuk menentukan pilihan dengan sadar dan tidak pragmatis. Sosialisasi dan pendidikan pemilih juga mengajak seluruh rakyat untuk hadir pada seluruh tahapan Pilkada, dengan kehadiran ini dapat mempersempit ruang kecurangan sehingga dapat melahirkan pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Pendidikan pemilih dan sosialisasi di Kabupaten Agam dilakukan melalui metode tatap muka, memanfaatkan jejaring sosial, dan penggunaan media informasi. Sebagai ciri khas dan sosilisasi lebih menarik, KPU Kabupaten Agam diberbagai sosialisasi menggunakan maskot Inyiak Agam sebuah maskot berbentuk Harimau Sumatera yang sedang senyum berpose melayani suara pemilih. Inyiak Agam sendiri singkatan dari “Ikut Nyoblos Pilkada Badunsanak Agam”. Di Kabupaten Agam, sebutan/panggilan Inyiak itu adalah menggambarkan penghormatan kepada sesorang. Pada momentum sosialisasi ada slogan “Inyiak Agam Maimbau” dan dilanjutkan dengan pesan, maknanya isi materi sosialisasi yang disampaikan adalah pesan penting yang mesti disimak dan dilaksanakan. Sosialisasi di Kabupaten Agam menyentuh berbagai elemen masyarakat seperti masyarakat perkotaan, masyarakat daerah sulit dan perbatasan, pemilih pemula, warga net, warga lapas, kelompok disabilitas. Tema yang disampaikan dalam sosialisasi selalu mengajak partisipasi warga dan seputar tahapan-tahapan yang sedang berlangsung. Untuk menjangkau sasaran KPU Kabupaten Agam lebih mengedepankan pertemuan langsung di masyarakat. Maka dari itu kegiatan sosialisasi lebih banyak dilakukan di tingkat jorong, nagari, dan kecamatan.


Selengkapnya