Apatisme Politik di Sumatera Barat: Penyebab dan Dampaknya terhadap Partisipasi Pemilih dalam Pilkada
Fariz Antonius Azhari Pemilihan umum (pemilu) merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi. Namun, apa jadinya jika rakyat yang seharusnya menjadi kekuatan utama dalam memilih pemimpin, justru enggan berpartisipasi? Fenomena rendahnya partisipasi terjadi pada Pilkada 2024 di Sumatera Barat (Sumbar). Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumbar, hanya 57,15 persen dari total 4.103.084 pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menggunakan hak suaranya. Sebuah angka yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan target partisipasi nasional yang ditetapkan sebesar 75 persen. Fakta turunnya partisipasi pemilih bukan masalah di Sumbar saja. Kondisi ini nyaris terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data KPU, partisipasi pemilih secara nasional dalam Pilkada 2024 tercatat hanya mencapai 68,1 persen. Menurut Arini dalam bukunya tentang catatan Pilkada 2024, angka 68,1 persen tersebut merupakan angka terendah sejak pelaksanaan pilkada serentak pertama kali, dan mengalami penurunan signifikan dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya. Bahkan, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Pemilu Presiden 2024 yang mencapai 81,78 persen. Jika melihat sejarah Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumbar, angka partisipasi pemilih tidak menunjukkan tren yang stabil. Misalnya saja pada Pilgub 2015. Tingkat partisipasi pemilih tercatat 58,56 persen, kemudian meningkat sedikit menjadi 61,68 persen di Pilgub 2020. Namun, pada Pilgub 2024, partisipasi pemilih kembali menurun drastis menjadi hanya 57,15 persen. Fenomena ini menandakan bahwa meskipun ada upaya untuk meningkatkan partisipasi pada Pilgub 2020, banyak faktor yang menyebabkan penurunan angka partisipasi dalam Pilgub 2024. Apatisme Politik Menurut teori yang dikembangkan oleh Dalton (2017), apatisme politik seringkali muncul bukan karena kurangnya sosialisasi atau pendidikan politik, tetapi karena masyarakat merasa bahwa suara mereka tidak akan membawa perubahan yang berarti. Fenomena ini sangat relevan dengan kondisi di Sumbar. Salah satu penyebabnya, mungkin saja karena pemilih merasa kecewa dengan hasil kebijakan yang dihasilkan oleh para pemimpin sebelumnya. Dalam banyak kasus, praktik politik uang dan dinamika politik yang jauh dari orientasi kesejahteraan masyarakat turut memperburuk apatisme ini. Teori perilaku pemilih yang dikembangkan oleh Downs (1957) dalam bukunya "An Economic Theory of Democracy" menjelaskan bahwa pemilih merupakan aktor rasional yang mengevaluasi keuntungan dan kerugian saat memutuskan untuk berpartisipasi dalam pemilu. Dalam konteks ini, masyarakat Sumbar mungkin merasa bahwa biaya yang dikeluarkan untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Bisa saja mereka merasa waktu, tenaga, atau kesempatan ekonomi yang hilang lebih besar dibandingkan manfaat yang dapat mereka peroleh dari Pemilu. Apalagi, jika mereka merasa bahwa tidak ada perubahan nyata yang ditawarkan oleh calon pemimpin yang ada. Menurut penelitian Lazarsfeld, Berelson, dan Gaudet (1944), faktor sosiologis juga sangat memengaruhi keputusan seseorang untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Dalam masyarakat Minangkabau, nilai-nilai kultural dan sosial yang kuat memainkan peran penting dalam membentuk sikap politik masyarakat. Misalnya, jika tokoh adat atau pemimpin informal tidak menunjukkan antusiasme terhadap pemilu, hal ini dapat berdampak pada minat masyarakat untuk terlibat dalam proses politik. Seiring berjalannya waktu, pengaruh tokoh adat dalam politik mulai berkurang. Tokoh adat yang dulu memiliki pengaruh besar dalam menentukan pilihan politik masyarakat kini dianggap kurang relevan. Penurunan pengaruh tokoh adat ini, seperti yang dijelaskan oleh Dalton (2017), menciptakan kebingungan atau ketidakpedulian masyarakat dalam berpartisipasi dalam politik. Hal ini turut berkontribusi terhadap rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilgub 2024. Faktor demografis juga memainkan peran besar dalam menurunnya partisipasi pemilih. Berdasarkan data dari TVRI Sumbar (2024), 51,95 persen dari total pemilih dalam Pilgub Sumbar 2024 adalah pemilih muda. Generasi ini cenderung memiliki pola pikir politik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih memilih untuk berpartisipasi dalam politik melalui platform digital, seperti media sosial, daripada melalui pemilu konvensional. Riset yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI (2023) mengungkapkan bahwa generasi Z dan milenial lebih suka mengekspresikan pandangan politik mereka melalui platform digital daripada memilih langsung dalam pemilu. Hal ini sejalan dengan temuan Bennet dan Segerberg (2012) yang menyebutkan fenomena "connective action", di mana generasi muda lebih tertarik pada partisipasi politik yang lebih personal dan berbasis daring. Pengaruh Banyak Faktor Tak dapat dipungkiri, faktor ekonomi juga sangat memengaruhi keputusan seseorang untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Pemilih yang berada dalam kondisi ekonomi yang sulit, seperti pekerja informal atau buruh harian, cenderung lebih memilih untuk tetap bekerja daripada meluangkan waktu untuk datang ke TPS. Penelitian oleh Muhtadi (2019) menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi meningkatkan kerentanannya terhadap praktik politik uang. Dalam hal ini, praktik politik uang menjadi alat yang digunakan untuk meraih suara, namun justru merusak esensi demokrasi. Pemilu yang seharusnya menjadi alat untuk perubahan jangka panjang, berubah menjadi transaksi ekonomi sesaat. Selain itu, budaya Minangkabau yang kental dengan prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) juga mengalami pergeseran dalam menentukan pilihan politik. Dulu, tokoh adat yang memegang gelar Datuak memiliki pengaruh besar dalam menentukan pilihan politik masyarakat. Namun, seiring perkembangan zaman, masyarakat lebih mengutamakan kapasitas dan integritas calon pemimpin daripada sekadar mempertimbangkan gelar adat. Perubahan ini menunjukkan penurunan pengaruh nilai-nilai adat dalam politik, yang berkontribusi pada menurunnya partisipasi politik masyarakat. Rendahnya partisipasi pemilih tentu membawa dampak yang tidak bisa diremehkan. Legitimasi pemerintahan yang terpilih akan menjadi lemah jika hanya didukung oleh sebagian kecil masyarakat. Hal ini dapat mengurangi efektivitas kebijakan dan menciptakan ketidakstabilan politik. Seperti yang diungkapkan oleh Norris (2021), kehilangan kepercayaan terhadap pemilu akan memperburuk demokrasi, karena semakin sedikit orang yang berpartisipasi, semakin kecil pula tekanan terhadap pemimpin untuk bertanggung jawab. Apatisme politik yang terjadi di Sumatera Barat, tercermin dari rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024. Fakta itu merupakan fenomena yang kompleks. Berbagai faktor, mulai dari ketidakpercayaan terhadap efektivitas pemilu, krisis kepercayaan terhadap institusi politik, pergeseran pola partisipasi generasi muda, hingga praktik politik uang, semuanya berkontribusi terhadap hadirnya sikap apatis. Atas dasar itu, perlu ada upaya bersama dari pemerintah, partai politik, dan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi pemilih, memperbaiki kualitas pemilu, serta memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap proses politik. Sebab, hanya dengan partisipasi aktif masyarakat, demokrasi dapat terwujud secara utuh dan efektif.
Selengkapnya