Opini

81

Kampanye Digital: Efektivitas dan Manipulasi Opini Publik

 Suci Kurnia Putri Pilkada Serentak 2024 di Sumatera Barat tidak hanya menjadi ajang kontestasi politik, tetapi juga cerminan dari bagaimana teknologi digital semakin memengaruhi dinamika sosial dan politik. Di era digital ini, kampanye politik tidak lagi terbatas pada pertemuan fisik dan media konvensional, tetapi semakin bergantung pada platform daring untuk membangun citra, penyebaran pesan politik dan opini publik. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas strategi kampanye digital serta potensi manipulasi opini publik dalam Pilkada 2024 di Sumatera Barat, dengan menggunakan perspektif sosiologi politik. Di dalam kampanye digital, kandidat dan tim sukses memanfaatkan berbagai platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok untuk membangun citra dan menarik simpati pemilih. Strategi komunikasi yang digunakan pun semakin canggih, mulai dari penggunaan konten visual yang menarik hingga penyebaran narasi yang disesuaikan dengan karakteristik segmen pemilih tertentu. Salah satu teknik utama yang digunakan adalah micro-targeting, di mana algoritma media sosial memungkinkan pesan-pesan politik tersampaikan secara spesifik kepada kelompok-kelompok yang dianggap potensial memberikan suara. Dengan analisis big data, kecenderungan politik masyarakat dapat dipetakan dengan lebih akurat, sehingga strategi kampanye bisa dirancang secara lebih efektif dan efisien. Dalam perspektif sosiologi komunikasi, fenomena ini menunjukkan bagaimana teknologi digital telah mengubah pola interaksi politik dan mempercepat proses persuasi massa. Lebih lanjut, efektivitas kampanye digital juga ditentukan oleh tingkat engagement yang mampu dibangun oleh kandidat. Strategi seperti live streaming, sesi tanya jawab daring, hingga penggunaan influencer politik menjadi faktor yang menentukan seberapa kuat pesan kampanye dapat diterima oleh publik. Kandidat yang mampu berinteraksi secara langsung dengan pemilih melalui media sosial cenderung mendapatkan respons yang lebih positif dibandingkan dengan mereka yang hanya mengandalkan iklan berbayar atau unggahan satu arah. Di Sumatera Barat, ada tren peningkatan penggunaan media sosial oleh kandidat dalam merespons isu-isu lokal, seperti kebijakan ekonomi berbasis kearifan lokal, tata kelola sumber daya alam, dan penguatan nilai-nilai adat dalam politik. Para kandidat yang mampu mengemas pesan politik mereka sesuai dengan nilai budaya Minangkabau, seperti konsep musyawarah mufakat dalam adat Minang, memiliki peluang lebih besar untuk menarik simpati pemilih. Di balik efektivitas kampanye digital, terdapat tantangan besar berupa potensi manipulasi opini publik. Fenomena echo chamber dan filter bubble semakin menguat dalam lanskap digital, di mana pengguna media sosial cenderung hanya terpapar pada informasi yang mendukung preferensi politik mereka. Akibatnya, ruang diskusi publik menjadi semakin terpolarisasi, dan kebenaran sering kali ditentukan oleh seberapa sering suatu informasi muncul di linimasa, bukan berdasarkan validitas faktualnya. Selain itu, penggunaan bot dan buzzer untuk menggiring opini, menyebarkan hoaks, serta membangun narasi tertentu juga menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Pada Pilkada Sumatera Barat, politik identitas sering digunakan dalam kampanye digital, terutama dengan memanfaatkan isu keagamaan dan adat. Strategi ini dapat membantu kandidat menarik dukungan, tetapi jika berlebihan, berisiko memperdalam segregasi sosial. Penelitian Dalmenda & Marta (2024) menunjukkan bahwa kampanye di Sumbar kerap membahas ekonomi lokal, infrastruktur, dan budaya, yang kemudian dimanfaatkan dalam narasi positif maupun negatif. Sementara itu, laporan AJI mengungkapkan bahwa ujaran kebencian berbasis agama cukup dominan di beberapa provinsi, termasuk Sumatera Barat. Pemantauan AJI dan Monash University Indonesia mencatat Jawa Barat sebagai wilayah dengan tingkat ujaran kebencian tertinggi selama Pilkada 2024, diikuti oleh Aceh, Sumatera Barat, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Pemantauan di lima provinsi ini dilakukan dari 1 Agustus hingga 23 November 2024 dengan menganalisis 185.083 teks dari platform X (Twitter) dan TikTok. Bawaslu Provinsi Sumatera Barat juga memperingatkan ancaman isu negatif yang dapat memicu ketegangan selama kampanye. Untuk mengatasi hal ini, Bawaslu memperketat pengawasan serta mendorong masyarakat melaporkan pelanggaran. Algoritma media sosial cenderung lebih memperkuat informasi sensasional dibandingkan fakta, sehingga disinformasi menyebar lebih cepat. Kondisi ini tidak hanya merugikan kandidat yang menjadi sasaran serangan, tetapi juga melemahkan kualitas demokrasi karena masyarakat semakin sulit membedakan antara fakta dan opini yang telah direkayasa. Di dalam kajian sosiologi politik, fenomena ini dapat dianalisis melalui Teori Hegemoni Gramsci. Kandidat yang menguasai narasi politik di media sosial mampu membentuk kesadaran publik sesuai dengan kepentingannya, sering kali tanpa disadari oleh masyarakat. Keberhasilan kampanye digital tidak hanya bergantung pada jumlah pemilih yang terpengaruh, tetapi juga pada sejauh mana narasi yang dibangun diterima sebagai kebenaran umum. Kampanye digital dalam Pilkada 2024 menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, teknologi memungkinkan penyebaran informasi yang lebih luas, partisipasi politik yang lebih aktif, dan interaksi langsung antara kandidat dan pemilih. Namun, di sisi lain, risiko manipulasi informasi, polarisasi sosial, dan penyalahgunaan data pribadi juga semakin tinggi. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih ketat terhadap aktivitas kampanye digital, peningkatan literasi digital di kalangan pemilih, serta komitmen dari semua pihak untuk menjaga etika dalam berpolitik. Selain regulasi dan literasi digital, peran media independen dan masyarakat sipil juga sangat penting dalam menjaga keseimbangan informasi. Media perlu lebih aktif dalam melakukan verifikasi fakta dan memberikan ruang bagi diskusi yang lebih objektif. Sementara itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam menyaring informasi dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang bersifat emosional. Dengan demikian, teknologi dapat menjadi alat yang memperkuat demokrasi, bukan justru merusaknya. Lebih jauh, pemerintah daerah dan lembaga pengawas pemilu harus memastikan bahwa praktik kampanye digital yang tidak sehat, seperti penyebaran hoaks dan serangan siber terhadap lawan politik, dapat diminimalisir dengan pengawasan yang lebih ketat. Dengan upaya ini, diharapkan Pilkada mendatang di Sumatera Barat tidak hanya menjadi ajang demokrasi yang bersih, tetapi juga dapat menjadi model bagi pemanfaatan teknologi dalam politik yang lebih sehat.


Selengkapnya
50

Dinamika Kampanye Digital di Pilkada Sumbar 2024: Strategi, Tantangan, dan Efektivitas

 Putri Maharani Pilkada Sumatera Barat 2024 menjadi ajang kompetisi politik yang semakin dinamis, ditandai dengan perubahan tren dalam strategi kampanye. Kampanye digital kini memainkan peran yang lebih dominan dibandingkan metode konvensional seperti pemasangan baliho dan pertemuan tatap muka. Para kandidat dan tim sukses memanfaatkan berbagai platform media sosial untuk menjangkau pemilih secara lebih luas dan cepat. Pada Pilkada Sumbar 2024, strategi kampanye digital semakin beragam. Beberapa pendekatan utama yang digunakan oleh para kandidat meliputi, pertama, penggunaan media sosial, iklan berbayar, dan influencer. Media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi alat utama dalam kampanye. Kandidat memanfaatkan fitur iklan berbayar untuk menargetkan audiens berdasarkan usia, lokasi, dan minat. Selain itu, mereka juga menggandeng influencer dan tokoh masyarakat untuk memperluas jangkauan pesan kampanye mereka. Beberapa influencer lokal terlihat aktif dalam mendukung pasangan calon tertentu dengan membuat konten yang membangun citra positif kandidat. Selain itu, kandidat juga menggunakan fitur live streaming dan sesi tanya jawab langsung untuk berinteraksi dengan masyarakat. Langkah ini membantu mereka membangun citra yang lebih dekat dengan pemilih dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka secara langsung.   Kedua, peran AI (Artifcial Intelligence) dan Big Data dalam menargetkan pemilih. Beberapa kandidat mencoba menerapkan AI dalam kampanye mereka. Misalnya, RKN, salah satu calon bupati, menggunakan AI untuk menghasilkan gambar wajahnya yang kemudian digunakan dalam video kampanye. AI juga digunakan untuk membuat suara sintetis yang menyampaikan pesan politiknya. Namun, pendekatan ini justru mendapat reaksi negatif dari netizen yang menganggapnya kurang personal dan tidak autentik. Selain itu, penggunaan big data memungkinkan tim sukses menganalisis preferensi pemilih berdasarkan aktivitas mereka di media sosial. Data ini digunakan untuk menyusun strategi komunikasi yang lebih efektif dan menyesuaikan pesan kampanye sesuai dengan segmen audiens yang ditargetkan. Dengan algoritma yang semakin canggih, kandidat dapat mengirimkan pesan yang lebih relevan kepada pemilih yang kemungkinan besar akan mendukung mereka. Ketiga, contoh kampanye sukses, beberapa kandidat berhasil memanfaatkan strategi digital dengan baik. Misalnya, ada yang membuat konten interaktif seperti kuis politik, sesi tanya jawab langsung dengan pemilih, dan video pendek yang mudah dibagikan. Strategi ini meningkatkan keterlibatan masyarakat dan memperkuat citra kandidat di mata pemilih. Salah satu kandidat bahkan menggunakan teknik storytelling untuk menceritakan perjalanan hidupnya secara emosional, yang berhasil menarik perhatian banyak orang. Meskipun menawarkan berbagai keunggulan, kampanye digital juga menghadapi sejumlah tantangan besar yang dapat memengaruhi efektivitasnya, yakni hoaks dan disinformasi. Salah satu tantangan utama adalah penyebaran hoaks dan disinformasi yang begitu cepat di media sosial. Beberapa kandidat bahkan menjadi korban serangan berita palsu yang dirancang untuk merusak citra mereka. Meskipun ada upaya dari platform digital untuk mengatasi hal ini, hoaks tetap sulit dikendalikan sepenuhnya. Sebagai contoh, salah satu kandidat dituduh terlibat dalam skandal korupsi melalui berita yang ternyata tidak berdasar. Meskipun klarifikasi telah diberikan, informasi tersebut sudah terlanjur menyebar luas dan membentuk opini negatif di kalangan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi publik dapat dengan mudah dimanipulasi melalui kampanye negatif yang terorganisir dengan baik. Praktik politik uang kini juga merambah dunia digital. Beberapa kandidat diduga menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda atau melakukan serangan terhadap lawan politik. Selain itu, giveaway atau hadiah dalam bentuk saldo digital sering digunakan untuk menarik perhatian pemilih, meskipun praktik ini tidak selalu sesuai dengan etika kampanye. Buzzer politik juga menjadi fenomena yang marak di Pilkada Sumbar 2024. Akun-akun anonim sering kali digunakan untuk mengangkat isu-isu tertentu, baik untuk mendukung kandidat tertentu maupun menyerang lawan. Hal ini menciptakan polarisasi di masyarakat dan membuat perdebatan politik semakin tajam. Berikutnya, kendala akses internet. Tidak semua daerah di Sumatera Barat memiliki akses internet yang memadai. Masyarakat di daerah terpencil masih kesulitan mengakses informasi kampanye digital, sehingga mereka lebih bergantung pada metode kampanye konvensional. Hal ini menyebabkan kesenjangan informasi yang dapat memengaruhi hasil pemilihan. Pertanyaan besar yang perlu dijawab adalah apakah kampanye digital benar-benar mengubah pilihan pemilih atau hanya memperkuat opini yang sudah ada sebelumnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kampanye digital lebih efektif dalam memperkuat basis pendukung dibandingkan mengubah pilihan pemilih yang sudah mantap. Hal ini terlihat dari bagaimana interaksi di media sosial cenderung terjadi dalam lingkaran pendukung yang sama, sehingga sulit menjangkau pemilih yang masih ragu. Beberapa warga mengungkapkan bahwa mereka tidak terlalu terpengaruh oleh kampanye digital. Bagi mereka, faktor yang lebih menentukan adalah rekam jejak kandidat dan interaksi langsung yang dapat membangun kepercayaan. Ada juga yang menganggap kampanye digital sebagai ajang promosi yang tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya. Salah satu indikator efektivitas kampanye adalah tingkat partisipasi pemilih. Jika kampanye digital tidak mampu meyakinkan pemilih untuk datang ke TPS, maka efektivitasnya perlu dipertanyakan. Dalam Pilkada Sumbar 2024, fenomena golput tetap menjadi isu yang signifikan, menunjukkan bahwa banyak pemilih masih skeptis terhadap janji politik yang disampaikan melalui kampanye digital. Dari analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kampanye digital merupakan alat yang penting dalam Pilkada Sumbar 2024, tetapi bukan satu-satunya faktor yang menentukan kemenangan kandidat. Kampanye digital mampu memperluas jangkauan komunikasi, tetapi masih memiliki keterbatasan dalam mengubah preferensi pemilih yang sudah mantap. Agar kampanye digital lebih efektif di masa depan, beberapa rekomendasi yang dapat diberikan adalah meningkatkan transparansi dan regulasi, perlu ada aturan yang lebih ketat terkait penggunaan AI, big data, dan buzzer dalam kampanye digital agar tidak merugikan salah satu pihak. Kedua, mengedepankan interaksi personal, kandidat sebaiknya tidak hanya mengandalkan AI dan konten digital, tetapi juga membangun keterlibatan langsung dengan pemilih untuk meningkatkan kepercayaan. Ketiga, mengoptimalkan jangkauan digital di daerah terpencil. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu memastikan bahwa akses internet merata agar informasi kampanye dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Dengan mengadaptasi strategi yang lebih transparan dan efektif, kampanye digital dapat menjadi alat yang lebih bermanfaat dalam proses demokrasi di Indonesia.


Selengkapnya
44

Perspektif Teori Strukturasi Anthony Giddens pada Tahapan Kampanye Pilkada Serentak 2024 di Kabupaten Padang Pariaman

Hari Juliansyah   Prespektif teori strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens merujuk pada hubungan antara pelaku (tindakan) dan struktur berupa relasi dualitas, bukan dualisme. Dualitas terjadi dalam praktik sosial yang terjadi secara terulang dan terpola dalam lintas ruang dan waktu. Sehingga menjadikan praktik sosial sebagai objek kajian dalam ilmu-ilmu sosial. Dualitas berada dalam sebuah fakta yang menjadikan pedoman pada praktik-praktik dimana tempat dan waktu menjadi produk dari perulangan tindakan. Sebaliknya skemata menjadi sarana dalam berlangsungnya praktik sosial, sehingga Giddens menyebut bahwa skemata adalah sebuah struktur. Karena sifat dari struktur adalah melintasi ruang dan waktu. Berbeda dengan pandangan Durkheim yang mengatakan bahwa struktur itu sebagai kerangkeng besi yang sifatnya mengekang. Sementara struktur menurut Giddens bersifat memberdayakan. Giddens mengusung tiga konsep besar struktur yaitu struktur sebagai sebuah bentuk penandaan, struktur sebagai penguasaan dan dominasi serta struktur menjadi sebuah pembenaran. Dalam hubungannya struktur berada pada posisi saling berinteraksi dengan agen dan bahkan menjadikan agen sebagai mitra dalam berinteraksi. Jika struktur berbicara mengenai aturan, sementara agen adalah yang akan menjalankan aturan itu. Secara singkatnya struktur dapat dikatakan adalah sebuah atau seperangkat aturan yang dibuat untuk mengatur praktik-praktik sosial dari agen. Selanjutnya relasi Strukturasi Giddens dengan kampanye Calon Bupati Padang Pariaman. Berbicara mengenai struktur dan agen dalam lingkungan masyarakat, juga tidak terlepas bahwa struktur dan agen juga berproses pada aspek politik. Termasuk dalam proses pelaksanaan Pemilihan Serentak Tahun 2024 lalu. Dalam relasinya, proses kampanye merupakan alat atau sarana dalam pelaksanaan teori strukturasi antara struktur dan agen. Dalam hal ini yang berperan sebagai struktur adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, sementara yang menjadi agen adalah partai politik pendukung, pasangan calon bupati dan wakil bupati, dan termasuk di dalamnya adalah masyarakat. Implementasi Teori Strukturasi menghasilkan bahwa “struktur” dilatarbelakangi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Adapun relasi antara struktur dan agen yaitu peserta Pemilihan Serentak (partai, pasangan calon dan masyarakat). UU No. 1 Tahun 2015  menjadi struktur yang mengatur pelaksanaan kampanye. Struktur juga membuat, dan bahkan melakukan pengawaan dalam pelaksanaan kampanye. Namun pada sisi lain agen yang di dalamnya termuat KPU, Bawaslu, partai politik, pasangan calon beserta tim dan peserta pemilu lainnya. Agen bisa saja dijerat jika tidak menjadikan struktur sebagai pedoman. Struktur inilah yang menjadi aturan yang harus dijalankan oleh agen, baik itu KPU, partai politik maupun peserta pemilihan agar menjadi proses untuk terlaksananya tahapan-tahapan dalam pemilihan. Dalam kontestasi kepala daerah di Kabupaten Padang Pariaman sendiri yang menjadi agen dalam proses interaksinya dengan struktur yaitu KPU Kabupaten Padang Pariaman, partai politik pengusung, pasangan calon yaitu Pasangan Calon Urut 01 Suhatribur-Yosdianto, dan Pasangan Calon Urut 02 John Kenedi Azis-Rahmat Hidayat, serta masyarakat pemilih lainnya. Dalam proses pelaksanaan kampanye pasangan calon baik pasangan Suhatribur-Yosdianto maupun John Kenedi Azis-Rahmat Hidayat, keduanya sama-sama menjalankan aturan-aturan yang dibuat oleh struktur yaitu UU No. 1 Tahun 2015 sehingga menjadikan kedua pasangan calon ini harus mematuhi dan menjalankan sesuai regulasi yang ditetapkan, baik secara jadwal pelaksanaan, metode dalam pelaksanaan, larangan dan sanksi, dan laporan pelanggaran. Semuanya harus dijalankan dengan semestinya. Dari inilah dapat dilihat bahwa struktur membutuhkan agen sebagai pelaksanaan, dan agen membutuhkan struktur sebagai pedoman. Implementasi konsep Giddens dalam pelaksanaan kampanye Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Padang Pariaman sebagai berikut,  pertama, struktur sebagai sebuah penandaan dalam konsep ini Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Padang Pariaman, dalam pelaksanaan kampanye memberikan simbol atau tanda. Simbol yang diberikan baik berupa klaim wilayah ataupun daerah pemenangan. Masing-masing pasangan calon ini memiliki klaim atau tanda terhadap sumber suara yang dianggap dapat memenuhi target dalam kontestasi Pemilihan Serentak 2024. Seperti halnya pasangan Suhatri Bur-Yosdianto yang memiliki klaim daerah pemenangan seperti beberapa kecamatan yaitu umumnya daerah pilihan 1, 2, dan beberapa di dapil 4 Padang Pariaman. Begitupun dengan pasangan John Kenedi Aziz-Rahmat Hidayat, yang juga melakukan hal yang sama dengan memberi klaim daerah pemenangan pada dapil 3 dan 4 Padang Pariaman. Namun penandaan daerah pemenangan bukan jadi penentu dalam hasil kontestasi Pemilihan Serentak 2024 dan bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Kedua, struktur sebagai penguasa dan dominasi sama halnya dengan penandaan, penguasa dan dominasi sangat diperankan dalam kontestasi kepala daerah di Padang Pariaman. Kedua pasangan calon baik Suhatri Bur-Yosdianto, maupun pasangan John Kenedi Aziz – Rahmat Hidayat, sama-sama melakukan penguasaan dan bahkan menghasilkan sebuah dominasi. Adapun hal yang diangkat dalam penguasaan ataupun dominasi adalah isu domisili. Isu domisili sangat diperankan dalam pelaksanaan kampanye dalam memengaruhi agen (pemilih). Dan hal itu memang terbukti pasca terlaksananya Pemilihan Serentak 2024 pada Rabu 27 November 2024 lalu. Kedua pasangan calon meraih suara telak dan mendominasi pada daerah asalnya masing-masing. Sehingga itu menjadi suatu pembuktian bahwa penguasaan dan dominasi sangat diwarnai oleh isu domisili. Ketiga, struktur sebagai sebuah pembenaran, maksud dari struktur sebagai sebuah pembenaran dapat dikatakan bahwa dalam pelaksanaan kampanye masing-masing pasangan calon Bupati Padang Pariaman melakukan branding kepada masyarakat. Branding ini biasanya dilakukan oleh masing-masing tim pemenangan dalam meraup suara, dalam memengaruhi dan bahkan untuk memukau masyarakat agar tertarik dalam memilih pasangan calon yang di-branding. Dalam melakukan ini, tim kampanye sangat berperan aktif dan tentu harus sangat paham pemetaan dan strategi serta manajemen konflik yang mungkin saja muncul dalam pelaksanaan kampanye. Maka di sini, tim sangat berhati-hati dalam melakukannya, sehingga antisipasi sangat dikedepankan agar tidak terikat oleh jeratan hukum yang terus menghantui. Konsep Giddens ini dituliskan dan dirasakan cocok dalam pelaksanaan kampanye pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Padang Pariaman Tahun 2024 dikarenakan bahwa adanya relasi struktur dan agen terhadap pelaksanaan kampanye. Adapun bentuk singkat dari relasi ini adalah adanya Undang-Undang yang mengatur secara spesifik hal-hal mengenai kampanye pada saat Pemilihan Serentak Nasional Tahun 2024. Mulai dari hal-hal yang menjadi muatan kampanye, hal-hal yang  diperbolehkan, hal-hal yang dilarang serta sanksi yang mengikat yang disebut struktur, dalam hal ini agen, baik itu KPU, Bawaslu, partai politik dan pasangan calon serta masyarakat pemilih harus tunduk terhadap struktur. Dalam perjalanannya, agen membutuhkan struktur agar tidak terjebak, disisi lain struktur butuh agen dalam pelaksanaan Undang-Undang. Sehingga memunculkan hubungan timbal balik dari keduanya. Namun perlu kehati-hatian karena jika terlena maka agen bisa saja terjebak dalam ranah struktur. Kemudian dalam pelaksanaannya, tiga konsep yang diusung Giddens yaitu sturktur sebagai penandaan, struktur sebagai dominasi serta struktur sebagai pembenaran. Ketiganya ini saling berkolaborasi dalam pelaksanaan kampanye pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2024 di Padang Pariaman. Hal ini bertujuan agar terlaksananya amanah Undang-Undang sebagai wujud demokrasi di Indonesia dalam konteks pemilu yang berintegritas dan adil bagi semua baik penyelenggara, peserta maupun pemilih dalam konteks tahapan kampanye berlangsung.


Selengkapnya
47

Pengaruh Cost Politik dan Persaingan Memperebutkan Kursi Kepala Daerah

Masnaidi B. Pemilihan kepala daerah langsung merupakan satu-satunya metode penggantian kepala daerah yang diatur secara konstitusuonal sesuai amanat Undang-Undang. Pemilihan kepala daerah secara langsung sudah dilaksanakan semenjak tahun 2005 sesuai amanat Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Secara bertahap pemilihan kepala daerah secara langsung dilakukan di seluruh provinsi, kabupaten/kota se-Indonesia. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan serentak mulai dilaksanakan secara bertahap semenjak tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020. Akhirnya pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 baru bisa dilaksanakan pemilihan kepala daerah serentak nasional di seluruh provinsi, kabupaten/kota se Indonesia. Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 dimulai dari tahapan penyusunan program dan anggaran, sampai pada pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih yang terdapat pada 18 tahapan besar sebagaimana tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan Dan Jadwal pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota. Ini memakan waktu lebih dari 1 tahun mulai 26 Januari 2024 dan diperkirakan selesai semuanya sampai Februari atau Maret 2025. Sementara itu di bulan Juli 2024 masih berlangsung juga tahapan pemungutan suara ulang DPD RI dapil Sumatera Barat sehingga diperkirakan efektifitas pelaksanaan tahapan pilkada sekitar 8 bulan. Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah terdapat beberapa komponen yang terlibat yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai penyelenggara, partai politik sebagai pengusul, pasangan calon sebagai peserta, dan pemerintah daerah, TNI, POLRI bersama pihak terkait lainnya sebagai supporting. Semua komponen menuju satu titik yaitu bagaimana mensukseskan pemilhan kepala daerah serentak nasional tahun 2024. Partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah adalah partai politik peserta pemilu legislatif. Sesuai aturan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusulkan pasangan calon dengan syarat minimal 25% dari akumulasi jumlah suara atau 20% dari jumlah perolehan kursi di DPRD. Dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Akhirnya syarat untuk dukungan suara partai politik peserta pemilu tidak memiliki ambang batas minimal. Hal ini mencuat terkait dengan indikasi banyaknya bakal pasangan calon tunggal dalam perebutan kursi kepala daerah. Dengan keluarnya putusan MK ini maka di banyak daerah fenomena calon tunggal tidak jadi terlaksana. Selain melalui partai politik atau koalisi partai politik ada mekanisme pembentukan pasangan calon dan pencalonan melalui jalur independen dilakukan dengan mengumpulkan syarat dukungan dari masyarakat yang secara aturan dapat dipertanggungjawabkan. Calon independen harus melakukan komunikasi dan silaturrahmi dengan masyarakat agar bersedia memberikan dukungan secara tertulis dengan menandatangani bukti surat dukungan di atas materai dalam form model B1-KWK Perseorangan. Pengumpulan syarat dukungan ini dilakukan mulai 5 Mei sampai 19 Agustus 2024 (4 bulan/ 138 hari). Misalnya di Kota Bukittinggi syarat untuk dapat ditetapkan menjadi pasangan calon harus dapat membuktikan dukungan sebanyak 9.507 dukungan. Secara matematika politik bahwa jika jumlah syarat minimal dukungan di bagi dengan jumlah hari yang tersedia untuk mengumpulkan dukungan x 10 % margin error maka didapat (9.507: 138) x 10 % = 95,13. Ini dapat diartikan bahwa setiap hari calon harus dapat mengumpulkan bukti dukungan sebanyak 95 orang. Ini juga diartikan bahwa setiap hari calon harus mengunjungi dan bersilaturrahmi dengan minimal 95 orang dan menyampaikan permohonan untuk dapat diberikan dukungan sebagai calon walikota dan wakil walikota dan disetujui oleh masyarakat. Jika dalam satu titik pertemuan hanya bisa mengumpulkan 20 orang maka harus ada 5 kali pertemuan setiap hari yang dilakukan oleh sang calon. Jika satu hari diadakan 5 kali pertemuan maka jika dikalikan dengan 138 hari sebagai rentang waktu yang tersedia maka akan ada 690 kali pertemuan. Ini juga dapat diartikan aka nada 690 buah titik pertemuan dalam rentang waktu 138 hari tersebut. Ini tentunya tidak akan dapat dilaksanakan sendiri oleh calon dan membutuhkan keterlibatan tim yang cukup banyak dalam mempersiapkan segala kebutuhan kegiatan. Semakin banyak titik pertemuan, semakin banyak orang yang dikumpulkan, semakin banyak tim yang terlibat akan berbanding lurus dengan cost yang dibutuhkan mengingat banyaknya kebutuhan dan target yang mesti dipenuhi untuk maju sebagai calon perseorangan baik di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota pada Pemilihan Serentak Nasional Tahun 2024. Pada akhirnya hanya ada 1 pasang calon kepala daerah yang berhasil keluar sebagai calon independen di seluruh kabupaten/kota dan Provinsi Sumatera Barat yaitu hanya Pasangan Walikota dan Wakil Walikota Bukittinggi. Pasangan calon yang dibentuk, harus memenuhi setidaknya tiga konsep dasar untuk bisa terpilih dan memenangkan pemilihan. Pertama, popularitas di tengah pemilih dalam daerah pemilihan. Popularitas biasa disebut juga dengan keterkenalan bakal calon. Seorang bakal calon mestinya dikenal oleh sebahagian besar masyarakat, dalam artian positif dapat dimaknai sebagai orang yang sudah berinteraksi dan mendapatkan penilaian positif di tengah masyarakat. Interaksi sosial akan menjadi modal dalam menghadapi pemilihan. Sering kita mendengar ungkapan ditengah masyarakat, “Bapak itu sudah banyak dikenal orang”. Fenomena popularitas calon kepala daerah menjadi perbincangan yang menarik di Pilkada 2024 karena banyak calon yang datang tiba-tiba menjadi calon kepala daerah. Ada yang tidak memiliki popularitas yang cukup untuk maju di kompetisi pilkada dan harus mengejar waktu dengan melakukan berbagai langkah praktis untuk mengejar popularitas. Pemasangan alat peraga di hampir seluruh sudut daerah/kampung dan membuat rangkaian kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti turnamen olahraga, hiburan kim, kegiatan buru babi dan lain lain. Serangan secara digital juga dilakukan dengan membuat konten-konten yang menarik dan dipromosikan di seluruh media sosial ke tengah-tengah masyarakat. Targetnya adalah bagaimana membuat sang calon menjadi dikenal oleh masyarakat dan dalam teori ekonomi politik bahwa kegiatan politik yang dilakukan akan menimbulkan efek ekonomi berupa cost politik. Semakin banyak kegiatan di banyak titik dan melalui berbagai metode tentu akan berbanding lurus dengan cost politik yang semakin besar. Fenomena ini terjadi di banyak daerah dan terutama pada calon yang tidak pernah atau jarang berinteraksi secara sosial dengan masyarakat. Fenomena salah satu pasangan Calon Walikota Padang Panjang yang membuat berbagai kegiatan yang semarak dan membuat jaringan sosial yang besar untuk mengenalkan diri ke tengah masyarakat menarik juga untuk dicermati dan sehingga membuat paradigma “calon kuat” di tengah publik. Fenomena salah satu pasangan Calon Bupati-Wakil Bupati Kabupaten Agam yang memajang baliho dan spanduk di banyak kabupaten/kota di Sumbar adalah suatu hal yang menarik perhatian publik dan dianggap cakupan popularitasnya meluas. Kedua, akseptabilitas. Dalam bahasa sederhananya istilah ini berarti diterima atau disenangi oleh masyarakat. Penerimaan masyarakat akan calon adalah dampak dari interaksi sosial yang dilakukan selama ini. Berbagai aktifitas yang dilakukan dinilai positif oleh masyarakat seperti suka menolong orang miskin, membantu penyelesaian masalah, membantu mencarikan peluang kerja, membantu biaya pengobatan, suka berbagi, dan lain lain sebagainya, yang akan menimbulkan image di tengah masyarakat bahwa sang calon adalah orang yang baik dan dapat diandalkan dalam menghadapi berbagai persoalan mendasar. Hal ini membutuhkan proses yang panjang dan effort yang besar untuk sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat menyukai/menyenangi sang calon. Fenomena yang terjadi di Pilkada 2024 juga menarik perhatian banyak orang di mana ada calon yang belum pernah berbuat kegiatan positif di tengah-tengah masyarakat. Selama ini belum ada kegiatan positif secara personal yang dilakukan kepada masyarakat sehingga masyarakat belum punya gambaran bagaimana karakter sang calon. Syukur-syukur tidak dikatakan sombong selama ini. Untuk mengejar acceptabilitas ini maka harus dilakukan banyak hal seperti membagikan sembako murah/gratis bagi kaum miskin, memberikan beasiswa, merekrut pekerja-pekerja insidentil untuk kegiatan, mencarikan solusi persoalan masyarakat terutama masalah ekonomi, keliling kampung untuk menyapa dan menyerap aspirasi masyarakat. Fenomena salah satu calon Bupati Solok yang keliling kampung dan menyapa masyarakat membuat kemenangan telak melawan istri petahana. Calon Walikota Padang yang menyapa masyarakat di hampir 700 titik di Kota Padang membuat kemenangan besar dalam melawan incumbent. Dalam mengejar akseptabilitas, setiap kegiatan lapangan maupun dalam bentuk lain juga dijadikan senjata untuk membangun image positif di dunia digital sehingga masyarakat secara luas benar-benar paham karakter calon. Intinya bagaimana membangun citra positif bahwa sang calon adalah orang memiliki kepedulian kepada masyarakat dan dapat diandalkan dalam keadaan apapun Hal ini tentunya membutuhkan waktu, biaya dan banyak orang dalam pelaksanaannya sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Semakin banyak membantu orang semakin besar cost yang dibutuhkan, semakin singkat waktu yang tersedia akan membutuhkan banyak orang untuk mengejar luas cakupan yang diinginkan. Semakin banyak bantuan, semakin singkat waktu dan semakin banyak orang yang dilibatkkan akan berbanding lurus dengan besar cost politik yang dibutuhkan. Ketiga, elektabilitas, yaitu kecenderungan masyarakat untuk memilih sang calon. Elektabilitas ini sering disebut juga dengan penentuan pilihan masyarakat. Dalam menentukan pilihan masyarakat memiliki penilaian tersendiri dan itu cenderung terbagi dalam beberapa karakter yaitu: pemilih ideologis, pemilih rasional dan pemilih opportunis. Pemilih ideologis adalah pemilih yang memiliki kecenderungan dalam menentukan pilihan berdasarkan tunututan ideologisnya seperti beragama sama, sesama organisasi, sesama tujuan politik dan lain sebagainya. Pemilih ideologis cenderung sulit untuk dipengaruhi ketika sudah menentukan pilihan dan ini sudah ada kelompok-kelompok yang terbentuk secara alamiah berdasarkan polarisasi politik. Pemilih rasional adalah pemilih yang menyandarkan pilihannya pada sisi obyektifitas penilaian pada pasangan calon. Pemilih ini memiliki informasi yang cukup untuk melakukan pengamatan, pengkajian dan penilaian terhadap masing-masing pasangan calon sehingga dapat menyimpulkan dan menentukan pilihan kepada pasangan calon tertentu. Pemilih opportunis adalah pemilih yang menyandarkan pilihannya pada pemenuhan kepentingan personal atau pribadinya. Sejauh mana “sentuhan” pasangan calon kepada personal yang bersangkutan akan memengaruhi pilihan pada saat pencoblosan di dalam bilik suara. Hal ini bisa dalam jangka waktu pendek seperti “serangan fajar”, pemberian sembako, bantuan rumah miskin dan lain-lain. Juga dalam jangka panjang bisa berupa karier, pekerjaan, bantuan usaha, koneksi, proyek, dan lain-lain. Elektabilitas adalah puncak dari ketiga hal yang mesti dilaksanakan oleh pasangan calon. Bagaimana mengajak, memengaruhi dan mengubah pilihan masyarakat sesuai tujuan kita adalah suatu tantangan yang besar bagi pasangan calon bersama timnya. Popularitas cukup baik, elektabilitas juga baik dan mesti di kunci dengan elektabilitas. Banyak pasangan calon yang tergelincir di tahap elektabilitas ini karena salah dalam memahami popularitas dan elektabilitas. Hal ini dapat kita cermati pada tumbangnya “calon-calon kuat” di beberapa daerah oleh calon yang dianggap biasa-biasa saja. Fenomena elektabilitas dalam Pilkada 2024 dapat kita cermati bagaimana tumbangnya incumbent Walikota Bukittinggi ketika bertarung dan dikalahkan oleh Ramlan Nurmatias. Incumbent yang sangat popular di dunia digital dan digandrungi oleh anak muda Bukittinggi mesti mengakui kekalahan pada elektabilitas Ramlan. Salah satu paslon mantan Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat yang maju menjadi calon Walikota Payakumbuh dengan modal popularitas tinggi dan sudah banyak membawa program-program ke masyarakat Kota Payakumbuh yang tentunya akseptabilitas masyarakat juga baik, namun harus menerima keunggulan elektabilitas pemenang Zulmaeta yang notabene dianggap “pendatang baru” politik di kota Payakumbuh. Dari informasi yang tidak bisa disebutkan namanya, survey terakhir sebelum hari pemungutan suara, Zulmaeta menempati peringkat ke 3 dari lima pasangan calon Walikota Payakumbuh. Faktanya, Zulmaeta memenangkan pemilihan dengan perolehan suara mencapai 34,52 %. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pasangan calon kepala daerah dibentuk melalui beberapa metode yaitu melalui pengusulan dari partai politik atau gabungan partai politik, dan bisa juga melalui mekanisme pencalonan secara independen dengan syarat dukungan tertentu. Pembentukan pasangan calon melalui pengusulan partai terdapat berbagai dinamika baik di internal partai pengusul maupun di tingkat bakal pasangan calon tersendiri. Tarik menarik kepentingan dan bongkar pasang bakal pasangan calon dilakukan untuk mendapatkan pasangan calon yang ideal dan dianggap mampu bertarung dan memenangkan pemilhan. Berbagai pertimbangan termasuk soal “mahar partai” juga mengemuka dalam penentuan pasangan calon ini. Hal ini menjadi santer terdengar di kalangan politisi dan pemerhati demokrasi. Fenomena ini banyak terjadi di berbagai calon pasangan kepala daerah. Kita sebut saja ada salah seorang yang akan mencalonkan diri menjadi Walikota Padang. Yang bersangkutan sudah mendaftar secara administrasi ke berbagai partai politik, namun akhirnya tidak diproses dan dipilih. Yang bersangkutan kecewa dengan sikap pengurus partai politik dan terakhir beredar di media sosial bahwa yang bersangkutan menyatakan diminta “mahar” untuk mendapatkan dukungan dari partai politik untuk maju menjadi calon Walikota Padang. Ada juga partai politik yang tidak mengedepankan mahar, terutama yang berasal dari kalangan internal parpol sendiri dan bahkan ada juga parpol sendiri yang mengusulkan dengan pertimbangan kemampuan dan poluparitas calon. Semakin kuat popularitas dan potensi kemenangan calon maka kemungkinan partai politik akan mendukung semakin besar. Maka tidak dapat dipungkiri merujuk dari fenomena yang terjadi di beberapa daerah, ini menandakan bahwa praktik mahar politik masih terjadi dalam proses penjaringan bakal calon kepala daerah yang diusulkan oleh partai politik.


Selengkapnya
26

Polemik Verifikasi Kandidat di Pilkada Kabupaten Pasaman Tahun 2024

 Kevin Philip Pemilihan umum merupakan pilar fundamental dalam sistem demokrasi modern, di mana integritas, transparansi, dan akuntabilitas menjadi komponen esensial dalam menjaga legitimasi pemerintahan. Kasus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Bupati Pasaman Tahun 2024, yang berujung pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi salah satu calon wakil bupati, menjadi preseden penting dalam electoral governance di Indonesia. Putusan Nomor 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang dibacakan pada 24 Februari 2024 menegaskan pentingnya due diligence dalam proses verifikasi administrasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta memperkuat prinsip keadilan elektoral. Keputusan ini tidak hanya memberikan dampak pada konfigurasi politik lokal di Pasaman, tetapi juga merefleksikan kompleksitas penyelenggaraan pemilu dalam konteks negara demokratis yang berkembang. Putusan MK ini didasarkan pada fakta hukum bahwa Calon Wakil Bupati Pasaman nomor urut 1 atas nama Anggit Kurniawan Nasution seharusnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu akibat statusnya sebagai mantan terpidana. Sesuai dengan regulasi yang berlaku, seorang mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah diwajibkan untuk secara terbuka mengungkapkan status hukumnya kepada publik. Hal ini bukan semata-mata sebagai bentuk disclosure yang bersifat administratif, tetapi juga sebagai bagian dari integrity principle dalam pemilu. Namun, dalam kasus ini, ditemukan bahwa Surat Keterangan Tidak Pernah Dipidana yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas nama Anggit Kurniawan bertentangan dengan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ia pernah dijatuhi hukuman dalam perkara penipuan, sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 293/Pid.B/2022/PNJkt.Sel. Ketika KPU Pasaman kurang cermat melakukan verifikasi dokumen maka akan menunjukkan adanya oversight dalam electoral management yang dapat berimplikasi pada stabilitas demokrasi. Profesionalisme dalam penyelenggaraan pemilu tidak sekadar diukur dari kepatuhan terhadap prosedur, tetapi juga dari kapasitas intelektual dalam memahami konsekuensi hukum dan sosial dari setiap keputusan yang diambil. Pada konteks ini, emotional intelligence menjadi aspek krusial yang harus dimiliki oleh penyelenggara pemilu, mengingat tugas mereka tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga memiliki dimensi etika dan moral yang mendalam. Dengan kata lain, penyelenggara pemilu harus mampu menyelaraskan antara aspek hukum, tata kelola yang baik (good governance), serta ekspektasi masyarakat terhadap sistem demokrasi yang bersih dan transparan. Lebih lanjut, keputusan MK juga membatalkan beberapa keputusan yang telah dikeluarkan oleh KPU Kabupaten Pasaman, antara lain Keputusan KPU Kabupaten Pasaman Nomor 851 tentang Penetapan Hasil Pemilihan, Keputusan KPU Kabupaten Pasaman Nomor 600 tentang Penetapan Pasangan Calon, serta Keputusan KPU Kabupaten Pasaman Nomor 604 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon. Selain itu, MK memerintahkan pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) tanpa mengikutsertakan Anggit Kurniawan dalam pemilihan, dengan batas waktu pelaksanaan maksimal 60 hari sejak putusan dibacakan. PSU ini harus tetap mendasarkan pada Daftar Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Pindahan, dan Daftar Pemilih Tambahan yang digunakan dalam pemungutan suara pada 27 November 2024. Implikasi dari putusan ini sangat luas, tidak hanya terhadap pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kontestasi politik di Kabupaten Pasaman, tetapi juga terhadap konstruksi regulasi pemilu secara nasional. Salah satu aspek yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana electoral fairness dapat terjaga dalam situasi di mana penyelenggara pemilu gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Dalam perspektif political legitimacy, pemilu yang adil dan bebas dari cacat administratif merupakan syarat mutlak bagi keberlangsungan demokrasi. Jika ketidaktepatan administratif seperti yang terjadi dalam kasus Pasaman terus dibiarkan, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem pemilu dan dapat berujung pada delegitimasi pemerintahan yang terpilih. Selain itu, dari sudut pandang kecakapan dalam administrasi pemilu, kasus ini mencerminkan pentingnya peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam tubuh KPU. Profesionalisme dalam konteks pemilu tidak hanya menyangkut compliance terhadap prosedur, tetapi juga mencakup kemampuan untuk membaca konsekuensi hukum dan etika dari setiap keputusan yang diambil. Menurut Suhrawadi K. Lubis (2012), profesionalisme berkaitan erat dengan kualitas yang harus dimiliki seseorang untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Jika seseorang mengaku sebagai profesional, maka ia harus mampu menunjukkan expertise dalam bidangnya serta menjunjung tinggi etika kerja. Pada konteks penyelenggaraan pemilu, prinsip ini berarti bahwa KPU dan seluruh jajaran penyelenggara pemilu harus mampu menjamin proses yang transparan, akuntabel, dan berintegritas. Karakteristik profesionalisme dalam administrasi pemerintahan, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu meliputi equality, equity, loyalty, dan accountability. Equality dalam pemilu berarti bahwa semua kandidat harus mendapatkan perlakuan yang sama tanpa adanya bias atau kepentingan tertentu. Equity menghendaki adanya keadilan substantif dalam pemilu, di mana aturan harus ditegakkan dengan proporsional sesuai dengan kondisi yang ada. Loyalty dalam konteks ini merujuk pada kesetiaan penyelenggara pemilu terhadap hukum dan konstitusi, bukan kepada individu atau kelompok politik tertentu. Sedangkan accountability merupakan prinsip utama yang memastikan bahwa setiap tindakan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Dari perspektif governance, kelemahan dalam sistem verifikasi kandidat yang terjadi dalam kasus Pasaman dapat dikategorikan sebagai administrative failure yang berpotensi merusak electoral credibility. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan melakukan reformasi dalam kurikulum pelatihan bagi penyelenggara pemilu. Selama ini, profesionalisme dalam birokrasi Indonesia lebih banyak dihubungkan dengan ketaatan terhadap aturan dan doktrin administratif daripada pemahaman teoritik yang berbasis critical thinking. Oleh karena itu, reformasi dalam electoral training harus diarahkan pada peningkatan kemampuan analitis, pemahaman hukum yang lebih mendalam, serta penguatan mekanisme pengawasan yang berbasis teknologi. Selain itu, dalam konteks kepercayaan publik terhadap pemilu, keputusan MK ini memberikan sinyal positif bahwa sistem hukum Indonesia masih memiliki mekanisme korektif yang efektif untuk mengatasi permasalahan dalam pemilu. Namun, putusan ini juga mengingatkan bahwa masih terdapat celah dalam electoral governance yang harus segera diperbaiki. Dalam sistem demokrasi yang matang, setiap pelanggaran dalam pemilu, baik yang bersifat administratif maupun substantif, harus dapat ditangani dengan mekanisme hukum yang jelas dan transparan. Diskualifikasi calon Wakil Bupati Pasaman oleh MK menjadi turning point dalam penguatan sistem pemilu di Indonesia. Keputusan ini menegaskan bahwa electoral governance harus didasarkan pada prinsip aturan hukum, di mana setiap kandidat yang maju dalam kontestasi elektoral harus memenuhi seluruh persyaratan hukum tanpa pengecualian. Selain itu, keputusan ini memberikan pesan kuat bahwa penyelenggara pemilu harus memiliki kapasitas tinggi dalam menjalankan tugasnya secara profesional, independen, dan akuntabel. Oleh karena itu, reformasi sistem pemilu harus diarahkan pada peningkatan profesionalisme penyelenggara, penguatan mekanisme verifikasi kandidat, serta penerapan sanksi yang lebih ketat terhadap kelalaian administratif yang dapat merusak integritas dari proses elektoral. Dengan demikian, pemilu di Indonesia dapat semakin mendekati standar demokrasi yang ideal, di mana political legitimacy tidak hanya ditentukan oleh suara mayoritas, tetapi juga oleh komitmen terhadap prinsip-prinsip etika, hukum, dan transparansi.


Selengkapnya
27

Tantangan dan Harapan dalam Verifikasi Faktual Dukungan Paslon Perseorangan

 Dedi Asmara Salah satu tahapan di Pemilihan Serentak Nasional Tahun 2024 adalah Tahapan Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Pada tahapan ini masing-masing bakal calon calon menyiapkan semua berkas pencalonan agar bisa diterima berkas pendaftarannya oleh KPU Provinsi, KPU Kabupaten, dan KPU Kota. Berbagai macam dokumen disiapkan oleh masing-masing bakal calon mulai dari ijazah, dokumen kependudukan, surat keterangan berbadan sehat, dan yang tak kalah penting adalah surat resmi dari partai politik yang menyatakan dukungan kepada bakal calon tersebut. Selain dukungan partai politik, bakal pasangan calon juga berhak maju sebagai kontestasi dengan dukungan dari masyarakat di wilayah tertentu dengan dibuktikan Memenuhi Syarat (MS) saat verifikasi adaministrasi dan faktual dilakukan oleh KPU Provinsi/Kabupaten/Kota dengan jajarannya. Setiap pasangan calon perseorangan yang ikut kontestasi politik pemilihan lewat jalur independen harus memgumpulkan fotokopi KTP Elektronik sesuai domisili. Pengumpulan fotokopi KTP Elektoronik ini dilakukan oleh tim/LO atau petugas penghubung dari bakal pasangan calon. Berbagai cara mereka lakukan dalam pengumpulan fotokopi KTP Elektronik ini. Mulai dari cara mendatangi masyarakat secara door to door sampai berkomunikasi dengan pihak atau lembaga tertentu untuk mendapatkan fotokopi KTP Elektronik pemilih. Bahkan ada bakal pasangan calon yang dari awal sebelum tahapan Pemilihan Serentak Nasional 2024 dimulai sudah punya fotokopi KTP Elektronik yang disimpan apik dalam box yang aman dari kerusakan. Selain itu dokumen fotokopi KTP elektronik tersebut sudah disimpan dalam bentuk digital dan tersimpan dalam berbagai penyimpanan baik di google drive maupun penyimpan digital lainnya. Setelah penyerahan syarat dukungan, KPU memastikan bahwa dokumen telah di unggah dalam aplikasi Sistem Informasi Pencalonan (Silon). Salah satu elemen bukti dukungan yang sangat penting adalah KTP Elektronik warga yang nantinya terdaftar sebagai pemilih. KPU diberi waktu untuk melakukan verifikasi administrasi. Karena data yang akan diverifikasi banyak, maka KPU biasa meminta bantuan tenaga kepada PPK di wilayah kerjanya. Pada saat verifikasi administrasi dilakukan pencocokan data yang telah diinput oleh operator bakal pasangan calon dengan fotokopi KTP Elektronik yang telah unggah. Jika datanya benar dan sesuai serta memenuhi jumlah dukungan yang dipersyaratkan, maka dinyatakan Memenuhi Syarat (MS). Namun, jika terdapat ketidakcocokan, maka dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Di dalam tahapan verifikasi administrasi (vermin) ini, hanya dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota bersama jajarannya, yang biasanya melibatkan PPK. Persoalan timbul, saat tim bakal pasangan calon yang telah menginput data dan dokumen persyaratan bakal pasangan calon tidak dilibatkan. Jika ada dokumen yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS), maka tim tersebut tidak bisa melakukan sanggahan atau klarifikasi. Setelah semua proses verifikasi administrasi selesai, maka KPU melakukan rapat pleno penetapan dengan mengunduh seluruh dokumen yang MS dan TMS. Semua dokumen yang MS akan dilanjutkan untuk verifikasi faktual di lapangan.  Ketika semua dokumen sudah diverikasi administrasi, maka dilaksanakan verifikasi faktual di lapangan. Verifikasi ini dilakukan dengan sistem sensus dan door to door menemui masyarakat di rumah, warung, atau di tempat para pendukung tersebut dapat ditemui. Selain menemui langsung, juga dilakukan dengan cara video call dengan menggunakan aplikasi whatsApp. Sebelum KPU melakukan verifikasi faktual di lapangan, KPU mengeluarkan surat keputusan dan surat tugas untuk verifikator yang biasanya direkrut dari Panitia Pemungutan Suara (PPS) di nagari. Jika jumlah data vermin banyak, maka KPU menambah verifikator yang biasanya direkrut berasal dari sekretariat PPS atau orang yang mampu melaksanakan tugas sebagai verifikator. Setelah dilakukan bimbingan teknis verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan oleh KPU, maka dilaksanakan verifikasi faktual di lapangan dengan menemui pendukung bapaslon tersebut. Banyak dilema yang ditemukan oleh petugas verifikator di lapangan. Sebelum petugas tim verifikator terjun ke lapangan mereka terlebih dahulu berkoordinasi dengan PPK, Pemerintahan nagari, Pengawas Pemilihan Kecamatan (Panwascam), Pengawas Kelurahan/Desa (PKD), dan tokoh masyarakat. Berbagai tantangan yang mereka hadapi di lapangan untuk menemui orang yang akan diverifikasi faktual. Untuk melakukan verifikasi faktual, petugas diharuskan menemui orang tersebut secara langsung atau melalui video call. Menemui secara langsung ini memang agak sulit apalagi di perkampungan yang mayoritas masyarakat bekerja dan bermalam di ladang. Mereka pulang ke rumah pada hari tertentu. Tak jarang petugas verifikasi faktul langsung turun dan berkunjung ke ladang si pendukung tersebut walau menghadapi rintangan dan tantangan yang sulit. Selain kondisi demikian, juga ada kondisi dimana pendukung yang ditemui oleh verifikator merasa kaget dan terkejut bahwa KTP Elektoroniknya merasa dicatut dan diinput secara sepihak oleh operator bakal pasangan calon. Tak heran sebagian masyarakat tersebut merasa dirugikan dan marah ke verifikator. Mereka melampiaskan kemarahannya ke verifikator sambil menanyakan dari mana dan siapa yang memberikan dokumen KTP Elektroniknya. Bagi verifikator yang tabah dan sabar, bisa menerima hal ini. Akan berbeda dengan verifikator yang kurang sabar dalam menjawab pertanyaan dari si pendukung, tentu akan menimbulkan suasana yang tidak kondusif dan menyenangkan. Bagi verifikator yang telah datang ke rumah pendukung namun yang bersangkutan tidak ada di rumah, maka disarankan kembali datang ke rumah yang bersangkutan. Ketika verifikator memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangannya, sebagian pendukung malahan tidak mengetahui bakal pasangan calon dan berharap akan mendapatkan bantuan dari pemerintah. Jelas dari proses verifikasi faktual ditemukan bahwa sebagian pendukung tidak mengetahui latar belakang bakal pasangan calon. Persoalan lain yang tak kalah menarik saat verifikasi faktual di lapangan adalah koordinasi dengan pengawas pemilihan baik Panitia Pemilihan Kecamatan (Panwascam) maupun Pengawas Kelurahan Desa (PKD). Saat tim verifikator akan turun ke lapangan, selalu berkoordinasi dengan tim pengawas. Kadang-kadang karena kooridinasi yang kurang baik, juga timbul masalah di lapangan. Masalah yang terjadi pada umumnya terkait waktu kapan tim akan turun ke lapangan melakukan verifikasi faktual. Verifikator ingin melaksanakan tugas pada siang dan sore hari, sementara pengawas menginginkan pada malam hari. Selain terkait masalah waktu, juga terkait masalah status dukungan. Setelah verifikator melakukan verifikasi dukungan kepada pendukung, kadang-kadang timbul juga masalah dengan pengawas. Pengawas merasa ragu terkait mendukung atau tidak mendukung. Di saat itu juga timbul salah persepsi antara verifikator dan pengawas. Selain menemui pendukung secara tatap muka, verifikator juga melakukan panggilan video call kepada pendukung yang tidak bisa ditemui. Verifikator disaksikan oleh pengawas saat melakukan panggilan video call. Verifikator meminta untuk memperlihatkan KTP Elektroniknya dan di screenshot oleh verifikator sebagai bukti dukungan. Selain itu, pendukung juga dipersilahkan mengirikam video pendek kepada verifikator dengan memperlihatkan KTP Elektronik sambil memberikan pernyataan mendukung atau tidak mendukung bakal pasangan calon perseorangan. Setelah verifikasi faktual pertama dilakukan, maka dilaksanakan rapat pleno terbuka di tingkat kecamatan. Rapat pleno dihadiri oleh seluruh verifikator, Panwascam, dan Forum Komunikasi Pemerintah Kecamatan. Sering kali terjadi debat antara PPK dan Verifikator dengan Panwascam terkait status dukungan apakah mendukung atau tidak. Ketika pleno berlangsung, Panwascam menyampaikan laporan hasil uji petik di lapangan. Laporan dan temuannya bisa memengaruhi hasil verifikasi faktual yang dilakukan oleh verifikator. Ada hasil uji petik dari Panwascam bahwa pendukung yang diverifikasi faktual secara tatap muka saat itu menyatakan dukungan, namun beberapa hari kemudian menyatakan tidak mendukungan dengan berbagai alasan yang bisa diterima. Di saat pleno, hal demikian disampaikan oleh Panwascam bahwa yang bersangkutan menyatakan mencabut dukungannya. PPK yang memimpin sidang pleno tidak berani mengubah dukungan dari yang bersangkutan dari mendukung menjadi tidak mendukung. Akhirnya dimasukkan ke dalam catatan kejadian khusus dan disampaikan saat rapat pleno terbuka di tingkat kabupaten. Setelah pleno penetapan dukungan di tingkat kabupaten, tim bakal pasangan calon dipersilahkan memperbaiki jumlah dukungan jika dukungan yang memenuhi syarat tidak terpenuhi berdasarkan aturan yang ada. Hal demikian menandakan akan dilaksanakan verifikasi faktual tahap 2. Prosesnya sama apa yang dilakukan pada verifikasi tahap pertama. Persoalan muncul ketika nama pendukung pada tahap pertama muncul lagi di tahap ke dua. Data unduhan dari Sistem Infomasi Pencalonan (Silon) nampaknya tidak bisa mendeteksi NIK yang sama. Jika ada NIK yang sama dengan verifikasi tahap pertama, seharusnya di verifikasi tahap 2 tidak keluar. Namun, kenyataan yang dihadapi banyak nama pendukung tahap pertama keluar lagi di vermin tahap ke dua. Verifikasi faktual dukungan bakal pasangan calon perseorangan merupakan salah satu tahapan dari Pemilihan Serentak Nasional Tahun 2024. Banyak persoalan dan dinamika berkembang di masyarakat. Secara umum masyarakat menyatakan bahwa verifikasi faktual kepada pendukungan bakal pasangan calon terasa agak lain. Ada masyarakat yang tidak tahu dengan bakal pasangan calon, ada yang mengira dikaitkan dengan bantuan dan lain sebagainya. Jadi, selanjutnya diharapkan ada regulasi tentang form khusus pemberian dukungan dari Masyarakat kepada Tim Bakal Pasangan Calon dalam mendapat dokumen KTP Elektronik Masyarakat. Saat verifikasi administrasi, selain dilaksanakan oleh KPU dan jajarannya juga sebaiknya dipantau oleh Tim Bakal Pasangan calon, jika ada data yang keliru bisa langsung dikonfirmasi saat itu juga. Terkait satu pemahaman status dukungan dengan badan pengawas sangat diperlukan agar tidak terjadi salah paham di lapangan antara verifikator dengan pengawas.


Selengkapnya