Akronim Sederhana Dalam Formulir Pemilu dan Pemilihan
Haerul Hamka
Pemilihan umum (pemilu) merupakan momen krusial dalam demokrasi bagi masyarakat untuk memilih pemimpin dan wakilnya, baik di tingkat nasional maupun daerah. Pemilu memastikan suara rakyat dihitung dan menjadi bagian dari kebijakan negara. Sementara itu, pemilihan lebih spesifik, seperti dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), yang melibatkan pemilihan pemimpin di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota. Kedua proses ini memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas demokrasi. Untuk menjaga stabilitas demokrasi pemilu dan pemilihan harus inklusif. Pemilu dan pemilihan yang inklusif dan demokratis memerlukan aksesibilitas yang merata dari semua pihak, termasuk penyelenggara pemilu yang mungkin memiliki latar belakang pendidikan yang beragam.
Sebagai penyelenggara pemilu di Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, saya merasakan langsung berbagai tantangan dalam proses penyelenggaraan pemilu, terutama terkait penggunaan istilah teknis dan akronim dalam formulir pemilu. Tidak hanya bagi masyarakat umum, tetapi bahkan bagi penyelenggara pemilu sendiri, istilah-istilah ini sering kali menjadi hambatan. Jika petugas pemilu yang bertanggung jawab atas teknis pelaksanaan saja mengalami kesulitan memahami berbagai akronim dalam formulir, maka pemilih yang hanya berinteraksi dengan istilah-istilah tersebut dalam waktu singkat tentu akan semakin kesulitan. Oleh karena itu, penyederhanaan akronim dan bahasa dalam formulir pemilu menjadi langkah penting untuk meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu.
Lintau Buo Utara merupakan daerah yang memiliki keberagaman tingkat pendidikan masyarakatnya. Sebagian besar penduduknya memiliki latar belakang pendidikan menengah, dengan mayoritas lulusan sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat. Namun, masih banyak masyarakat yang hanya menyelesaikan pendidikan dasar atau bahkan tidak menamatkan sekolah. Dengan kondisi ini, pemahaman masyarakat terhadap informasi administratif, termasuk istilah dalam pemilu, menjadi tantangan tersendiri. Misalnya, banyak pemilih, terutama yang berusia lanjut atau memiliki pendidikan terbatas, mengalami kesulitan dalam memahami istilah seperti DPTb-KWK, DPK-KWK, atau A5-KWK. Mereka sering kali harus meminta bantuan dari anggota keluarga atau petugas pemilu untuk memahami apakah mereka berhak memilih atau tidak. Jika tidak ada pendampingan yang cukup, kebingungan ini bisa menyebabkan mereka tidak menggunakan hak pilihnya.
Tidak hanya pemilih, penyelenggara pemilu di tingkat KPPS dan PPS juga mengalami kendala yang serupa. Dengan latar belakang pendidikan yang beragam, mereka sering kali harus bekerja ekstra untuk memahami berbagai prosedur administratif yang diatur dengan bahasa yang cenderung formal dan penuh dengan singkatan. Jika formulir yang mereka isi dipenuhi dengan akronim tanpa penjelasan yang jelas, risiko kesalahan dalam pengisian dokumen akan semakin besar.
Akronim Membingungkan?
Penggunaan akronim dalam birokrasi bertujuan untuk menyederhanakan istilah. Namun, jika tidak dikomunikasikan dengan baik, akronim justru menimbulkan kebingungan. Salah satu contohnya adalah istilah APK (Alat Peraga Kampanye), yang lebih dikenal masyarakat sebagai spanduk atau baliho. Begitu pula dengan C6-KPU, yang pada Pemilu 2019 digunakan sebagai surat pemberitahuan kepada pemilih. Dalam Pemilu 2024, istilah ini disederhanakan menjadi "Model C Pemberitahuan Pemilih" agar lebih mudah dipahami. Namun, masyarakat masih lebih familiar dengan istilah "undangan memilih" dibandingkan "pemberitahuan pemilih", tentu ini dapat menjadi bahan evaluasi dan rekomendasi untuk pemilu dan pemilihan mendatang.
Dalam kondisi lain, ketika kami melaksanakan sosialisasi terkait penurunan APK (Alat Peraga Kampanye) dan APS (Alat Peraga Sosialisasi), masyarakat masih bingung dengan istilah ini. Bahkan, tidak sedikit yang bertanya-tanya mengenai perbedaannya. Namun, ketika kami menyederhanakan dengan sebutan "baliho" atau "spanduk", barulah mereka mengerti. Hal ini menunjukkan bahwa istilah yang lebih dekat dengan keseharian masyarakat nampaknya lebih mudah dipahami dibandingkan akronim yang digunakan secara administratif.
Kesalahan dalam memahami istilah juga berdampak pada teknis pemilu. Kasus Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Sumatera Barat misalnya menunjukkan bahwa kesalahan penyelenggara dalam membedakan jenis pemilih menjadi penyebab utama PSU. Pemilih tetap, pemilih tambahan, dan pemilih khusus sering kali tidak dipahami secara jelas oleh petugas maupun pemilih itu sendiri. Padahal, istilah-istilah ini dapat disederhanakan untuk menghindari kebingungan. Misalnya, "Pemilih Khusus" bisa diubah menjadi "Pemilih dengan KTP", sementara "Pemilih Tambahan" dapat menjadi "Pemilih dari Daerah Lain". Penyederhanaan ini akan membantu memastikan setiap pemilih dapat menggunakan hak pilihnya tanpa hambatan administratif yang tidak perlu.
Banyak pemilih hanya mengenal proses pemilu dari sisi pencoblosan di TPS, tanpa memahami istilah-istilah administratif yang menyertainya. Jika mereka menerima pemberitahuan dengan akronim seperti DPTb-KWK (Daftar Pemilih Tambahan) atau DPT Khusus-KWK (Daftar Pemilih Khusus), mereka mungkin tidak langsung memahami bahwa ini berkaitan dengan status mereka sebagai pemilih yang berhak memilih di TPS tertentu. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan tentu dapat menurunkan partisipasi pemilih.
Perlu Disederhanakan
Beberapa istilah dalam formulir pemilu yang sebaiknya disederhanakan agar lebih mudah dipahami masyarakat dan penyelenggara pemilu antara lain: A-KWK – Daftar hadir pemilih di TPS → Daftar Hadir Pemilih; C6-KPU – Surat pemberitahuan kepada pemilih → Undangan Pemilih; A5-KWK – Formulir pindah memilih bagi pemilih yang tidak bisa memilih di TPS asalnya → Formulir Pindah Memilih; DPT-KWK – Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS → Daftar Pemilih Tetap; DPTb-KWK – Daftar Pemilih Tambahan → Pemilih dari Daerah Lain; DPT Khusus-KWK – Daftar pemilih yang tidak terdaftar di DPT tetapi tetap bisa memilih dengan KTP elektronik → Pemilih dengan KTP; Dengan menyederhanakan istilah-istilah tersebut, masyarakat akan lebih mudah memahami hak dan kewajibannya dalam pemilu tanpa merasa bingung dengan istilah teknis yang kompleks.
Pemilu adalah hak setiap warga negara, dan memastikan aksesibilitasnya adalah tanggung jawab bersama. Salah satu langkah konkret dalam meningkatkan aksesibilitas pemilu adalah dengan menyederhanakan akronim dalam formulir pemilu. Penggunaan istilah yang lebih familiar bagi masyarakat dan petugas pemilu akan membantu memperlancar jalannya pemilu serta menghindari kebingungan di lapangan.
Dengan menyederhanakan bahasa dalam formulir pemilu, kita tidak hanya meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pemilu, tetapi juga memperkuat demokrasi itu sendiri. Pemilih yang memahami proses yang mereka jalani akan merasa lebih berdaya dan lebih yakin bahwa suara mereka benar-benar dihitung dan dihargai. Penyederhanaan tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam memperbaiki proses penyelenggaraan pemilu dan pemilihan dengan memastikan bahwa akronim atau bahasa yang digunakan dalam formulir pemilu lebih mudah dipahami oleh semua pihak, terlepas dari tingkat pendidikan mereka. Hal ini akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan demokratis dalam proses pemilu atau pemilihan, sehingga memungkinkan partisipasi yang lebih merata dari seluruh elemen masyarakat.