Pengaruh Cost Politik dan Persaingan Memperebutkan Kursi Kepala Daerah

Masnaidi B.

Pemilihan kepala daerah langsung merupakan satu-satunya metode penggantian kepala daerah yang diatur secara konstitusuonal sesuai amanat Undang-Undang. Pemilihan kepala daerah secara langsung sudah dilaksanakan semenjak tahun 2005 sesuai amanat Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Secara bertahap pemilihan kepala daerah secara langsung dilakukan di seluruh provinsi, kabupaten/kota se-Indonesia. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung dan serentak mulai dilaksanakan secara bertahap semenjak tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020. Akhirnya pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 baru bisa dilaksanakan pemilihan kepala daerah serentak nasional di seluruh provinsi, kabupaten/kota se Indonesia.

Tahapan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 dimulai dari tahapan penyusunan program dan anggaran, sampai pada pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih yang terdapat pada 18 tahapan besar sebagaimana tercantum dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan Dan Jadwal pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Walikota dan Wakil Walikota. Ini memakan waktu lebih dari 1 tahun mulai 26 Januari 2024 dan diperkirakan selesai semuanya sampai Februari atau Maret 2025. Sementara itu di bulan Juli 2024 masih berlangsung juga tahapan pemungutan suara ulang DPD RI dapil Sumatera Barat sehingga diperkirakan efektifitas pelaksanaan tahapan pilkada sekitar 8 bulan.

Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah terdapat beberapa komponen yang terlibat yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai penyelenggara, partai politik sebagai pengusul, pasangan calon sebagai peserta, dan pemerintah daerah, TNI, POLRI bersama pihak terkait lainnya sebagai supporting. Semua komponen menuju satu titik yaitu bagaimana mensukseskan pemilhan kepala daerah serentak nasional tahun 2024.

Partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah adalah partai politik peserta pemilu legislatif. Sesuai aturan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusulkan pasangan calon dengan syarat minimal 25% dari akumulasi jumlah suara atau 20% dari jumlah perolehan kursi di DPRD. Dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora untuk sebagian terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Akhirnya syarat untuk dukungan suara partai politik peserta pemilu tidak memiliki ambang batas minimal. Hal ini mencuat terkait dengan indikasi banyaknya bakal pasangan calon tunggal dalam perebutan kursi kepala daerah. Dengan keluarnya putusan MK ini maka di banyak daerah fenomena calon tunggal tidak jadi terlaksana.

Selain melalui partai politik atau koalisi partai politik ada mekanisme pembentukan pasangan calon dan pencalonan melalui jalur independen dilakukan dengan mengumpulkan syarat dukungan dari masyarakat yang secara aturan dapat dipertanggungjawabkan. Calon independen harus melakukan komunikasi dan silaturrahmi dengan masyarakat agar bersedia memberikan dukungan secara tertulis dengan menandatangani bukti surat dukungan di atas materai dalam form model B1-KWK Perseorangan. Pengumpulan syarat dukungan ini dilakukan mulai 5 Mei sampai 19 Agustus 2024 (4 bulan/ 138 hari).

Misalnya di Kota Bukittinggi syarat untuk dapat ditetapkan menjadi pasangan calon harus dapat membuktikan dukungan sebanyak 9.507 dukungan. Secara matematika politik bahwa jika jumlah syarat minimal dukungan di bagi dengan jumlah hari yang tersedia untuk mengumpulkan dukungan x 10 % margin error maka didapat (9.507: 138) x 10 % = 95,13. Ini dapat diartikan bahwa setiap hari calon harus dapat mengumpulkan bukti dukungan sebanyak 95 orang. Ini juga diartikan bahwa setiap hari calon harus mengunjungi dan bersilaturrahmi dengan minimal 95 orang dan menyampaikan permohonan untuk dapat diberikan dukungan sebagai calon walikota dan wakil walikota dan disetujui oleh masyarakat. Jika dalam satu titik pertemuan hanya bisa mengumpulkan 20 orang maka harus ada 5 kali pertemuan setiap hari yang dilakukan oleh sang calon. Jika satu hari diadakan 5 kali pertemuan maka jika dikalikan dengan 138 hari sebagai rentang waktu yang tersedia maka akan ada 690 kali pertemuan. Ini juga dapat diartikan aka nada 690 buah titik pertemuan dalam rentang waktu 138 hari tersebut.

Ini tentunya tidak akan dapat dilaksanakan sendiri oleh calon dan membutuhkan keterlibatan tim yang cukup banyak dalam mempersiapkan segala kebutuhan kegiatan. Semakin banyak titik pertemuan, semakin banyak orang yang dikumpulkan, semakin banyak tim yang terlibat akan berbanding lurus dengan cost yang dibutuhkan mengingat banyaknya kebutuhan dan target yang mesti dipenuhi untuk maju sebagai calon perseorangan baik di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota pada Pemilihan Serentak Nasional Tahun 2024. Pada akhirnya hanya ada 1 pasang calon kepala daerah yang berhasil keluar sebagai calon independen di seluruh kabupaten/kota dan Provinsi Sumatera Barat yaitu hanya Pasangan Walikota dan Wakil Walikota Bukittinggi.

Pasangan calon yang dibentuk, harus memenuhi setidaknya tiga konsep dasar untuk bisa terpilih dan memenangkan pemilihan. Pertama, popularitas di tengah pemilih dalam daerah pemilihan. Popularitas biasa disebut juga dengan keterkenalan bakal calon. Seorang bakal calon mestinya dikenal oleh sebahagian besar masyarakat, dalam artian positif dapat dimaknai sebagai orang yang sudah berinteraksi dan mendapatkan penilaian positif di tengah masyarakat. Interaksi sosial akan menjadi modal dalam menghadapi pemilihan. Sering kita mendengar ungkapan ditengah masyarakat, “Bapak itu sudah banyak dikenal orang”.

Fenomena popularitas calon kepala daerah menjadi perbincangan yang menarik di Pilkada 2024 karena banyak calon yang datang tiba-tiba menjadi calon kepala daerah. Ada yang tidak memiliki popularitas yang cukup untuk maju di kompetisi pilkada dan harus mengejar waktu dengan melakukan berbagai langkah praktis untuk mengejar popularitas. Pemasangan alat peraga di hampir seluruh sudut daerah/kampung dan membuat rangkaian kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti turnamen olahraga, hiburan kim, kegiatan buru babi dan lain lain.

Serangan secara digital juga dilakukan dengan membuat konten-konten yang menarik dan dipromosikan di seluruh media sosial ke tengah-tengah masyarakat. Targetnya adalah bagaimana membuat sang calon menjadi dikenal oleh masyarakat dan dalam teori ekonomi politik bahwa kegiatan politik yang dilakukan akan menimbulkan efek ekonomi berupa cost politik. Semakin banyak kegiatan di banyak titik dan melalui berbagai metode tentu akan berbanding lurus dengan cost politik yang semakin besar. Fenomena ini terjadi di banyak daerah dan terutama pada calon yang tidak pernah atau jarang berinteraksi secara sosial dengan masyarakat. Fenomena salah satu pasangan Calon Walikota Padang Panjang yang membuat berbagai kegiatan yang semarak dan membuat jaringan sosial yang besar untuk mengenalkan diri ke tengah masyarakat menarik juga untuk dicermati dan sehingga membuat paradigma “calon kuat” di tengah publik. Fenomena salah satu pasangan Calon Bupati-Wakil Bupati Kabupaten Agam yang memajang baliho dan spanduk di banyak kabupaten/kota di Sumbar adalah suatu hal yang menarik perhatian publik dan dianggap cakupan popularitasnya meluas.

Kedua, akseptabilitas. Dalam bahasa sederhananya istilah ini berarti diterima atau disenangi oleh masyarakat. Penerimaan masyarakat akan calon adalah dampak dari interaksi sosial yang dilakukan selama ini. Berbagai aktifitas yang dilakukan dinilai positif oleh masyarakat seperti suka menolong orang miskin, membantu penyelesaian masalah, membantu mencarikan peluang kerja, membantu biaya pengobatan, suka berbagi, dan lain lain sebagainya, yang akan menimbulkan image di tengah masyarakat bahwa sang calon adalah orang yang baik dan dapat diandalkan dalam menghadapi berbagai persoalan mendasar. Hal ini membutuhkan proses yang panjang dan effort yang besar untuk sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat menyukai/menyenangi sang calon.

Fenomena yang terjadi di Pilkada 2024 juga menarik perhatian banyak orang di mana ada calon yang belum pernah berbuat kegiatan positif di tengah-tengah masyarakat. Selama ini belum ada kegiatan positif secara personal yang dilakukan kepada masyarakat sehingga masyarakat belum punya gambaran bagaimana karakter sang calon. Syukur-syukur tidak dikatakan sombong selama ini. Untuk mengejar acceptabilitas ini maka harus dilakukan banyak hal seperti membagikan sembako murah/gratis bagi kaum miskin, memberikan beasiswa, merekrut pekerja-pekerja insidentil untuk kegiatan, mencarikan solusi persoalan masyarakat terutama masalah ekonomi, keliling kampung untuk menyapa dan menyerap aspirasi masyarakat.

Fenomena salah satu calon Bupati Solok yang keliling kampung dan menyapa masyarakat membuat kemenangan telak melawan istri petahana. Calon Walikota Padang yang menyapa masyarakat di hampir 700 titik di Kota Padang membuat kemenangan besar dalam melawan incumbent. Dalam mengejar akseptabilitas, setiap kegiatan lapangan maupun dalam bentuk lain juga dijadikan senjata untuk membangun image positif di dunia digital sehingga masyarakat secara luas benar-benar paham karakter calon. Intinya bagaimana membangun citra positif bahwa sang calon adalah orang memiliki kepedulian kepada masyarakat dan dapat diandalkan dalam keadaan apapun

Hal ini tentunya membutuhkan waktu, biaya dan banyak orang dalam pelaksanaannya sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Semakin banyak membantu orang semakin besar cost yang dibutuhkan, semakin singkat waktu yang tersedia akan membutuhkan banyak orang untuk mengejar luas cakupan yang diinginkan. Semakin banyak bantuan, semakin singkat waktu dan semakin banyak orang yang dilibatkkan akan berbanding lurus dengan besar cost politik yang dibutuhkan.

Ketiga, elektabilitas, yaitu kecenderungan masyarakat untuk memilih sang calon. Elektabilitas ini sering disebut juga dengan penentuan pilihan masyarakat. Dalam menentukan pilihan masyarakat memiliki penilaian tersendiri dan itu cenderung terbagi dalam beberapa karakter yaitu: pemilih ideologis, pemilih rasional dan pemilih opportunis. Pemilih ideologis adalah pemilih yang memiliki kecenderungan dalam menentukan pilihan berdasarkan tunututan ideologisnya seperti beragama sama, sesama organisasi, sesama tujuan politik dan lain sebagainya. Pemilih ideologis cenderung sulit untuk dipengaruhi ketika sudah menentukan pilihan dan ini sudah ada kelompok-kelompok yang terbentuk secara alamiah berdasarkan polarisasi politik. Pemilih rasional adalah pemilih yang menyandarkan pilihannya pada sisi obyektifitas penilaian pada pasangan calon. Pemilih ini memiliki informasi yang cukup untuk melakukan pengamatan, pengkajian dan penilaian terhadap masing-masing pasangan calon sehingga dapat menyimpulkan dan menentukan pilihan kepada pasangan calon tertentu. Pemilih opportunis adalah pemilih yang menyandarkan pilihannya pada pemenuhan kepentingan personal atau pribadinya.

Sejauh mana “sentuhan” pasangan calon kepada personal yang bersangkutan akan memengaruhi pilihan pada saat pencoblosan di dalam bilik suara. Hal ini bisa dalam jangka waktu pendek seperti “serangan fajar”, pemberian sembako, bantuan rumah miskin dan lain-lain. Juga dalam jangka panjang bisa berupa karier, pekerjaan, bantuan usaha, koneksi, proyek, dan lain-lain.

Elektabilitas adalah puncak dari ketiga hal yang mesti dilaksanakan oleh pasangan calon. Bagaimana mengajak, memengaruhi dan mengubah pilihan masyarakat sesuai tujuan kita adalah suatu tantangan yang besar bagi pasangan calon bersama timnya. Popularitas cukup baik, elektabilitas juga baik dan mesti di kunci dengan elektabilitas. Banyak pasangan calon yang tergelincir di tahap elektabilitas ini karena salah dalam memahami popularitas dan elektabilitas. Hal ini dapat kita cermati pada tumbangnya “calon-calon kuat” di beberapa daerah oleh calon yang dianggap biasa-biasa saja.

Fenomena elektabilitas dalam Pilkada 2024 dapat kita cermati bagaimana tumbangnya incumbent Walikota Bukittinggi ketika bertarung dan dikalahkan oleh Ramlan Nurmatias. Incumbent yang sangat popular di dunia digital dan digandrungi oleh anak muda Bukittinggi mesti mengakui kekalahan pada elektabilitas Ramlan. Salah satu paslon mantan Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat yang maju menjadi calon Walikota Payakumbuh dengan modal popularitas tinggi dan sudah banyak membawa program-program ke masyarakat Kota Payakumbuh yang tentunya akseptabilitas masyarakat juga baik, namun harus menerima keunggulan elektabilitas pemenang Zulmaeta yang notabene dianggap “pendatang baru” politik di kota Payakumbuh. Dari informasi yang tidak bisa disebutkan namanya, survey terakhir sebelum hari pemungutan suara, Zulmaeta menempati peringkat ke 3 dari lima pasangan calon Walikota Payakumbuh. Faktanya, Zulmaeta memenangkan pemilihan dengan perolehan suara mencapai 34,52 %.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pasangan calon kepala daerah dibentuk melalui beberapa metode yaitu melalui pengusulan dari partai politik atau gabungan partai politik, dan bisa juga melalui mekanisme pencalonan secara independen dengan syarat dukungan tertentu. Pembentukan pasangan calon melalui pengusulan partai terdapat berbagai dinamika baik di internal partai pengusul maupun di tingkat bakal pasangan calon tersendiri. Tarik menarik kepentingan dan bongkar pasang bakal pasangan calon dilakukan untuk mendapatkan pasangan calon yang ideal dan dianggap mampu bertarung dan memenangkan pemilhan.

Berbagai pertimbangan termasuk soal “mahar partai” juga mengemuka dalam penentuan pasangan calon ini. Hal ini menjadi santer terdengar di kalangan politisi dan pemerhati demokrasi. Fenomena ini banyak terjadi di berbagai calon pasangan kepala daerah. Kita sebut saja ada salah seorang yang akan mencalonkan diri menjadi Walikota Padang. Yang bersangkutan sudah mendaftar secara administrasi ke berbagai partai politik, namun akhirnya tidak diproses dan dipilih. Yang bersangkutan kecewa dengan sikap pengurus partai politik dan terakhir beredar di media sosial bahwa yang bersangkutan menyatakan diminta “mahar” untuk mendapatkan dukungan dari partai politik untuk maju menjadi calon Walikota Padang. Ada juga partai politik yang tidak mengedepankan mahar, terutama yang berasal dari kalangan internal parpol sendiri dan bahkan ada juga parpol sendiri yang mengusulkan dengan pertimbangan kemampuan dan poluparitas calon. Semakin kuat popularitas dan potensi kemenangan calon maka kemungkinan partai politik akan mendukung semakin besar. Maka tidak dapat dipungkiri merujuk dari fenomena yang terjadi di beberapa daerah, ini menandakan bahwa praktik mahar politik masih terjadi dalam proses penjaringan bakal calon kepala daerah yang diusulkan oleh partai politik.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 47 Kali.