Polemik Verifikasi Kandidat di Pilkada Kabupaten Pasaman Tahun 2024
Kevin Philip
Pemilihan umum merupakan pilar fundamental dalam sistem demokrasi modern, di mana integritas, transparansi, dan akuntabilitas menjadi komponen esensial dalam menjaga legitimasi pemerintahan. Kasus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Bupati Pasaman Tahun 2024, yang berujung pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi salah satu calon wakil bupati, menjadi preseden penting dalam electoral governance di Indonesia. Putusan Nomor 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang dibacakan pada 24 Februari 2024 menegaskan pentingnya due diligence dalam proses verifikasi administrasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta memperkuat prinsip keadilan elektoral. Keputusan ini tidak hanya memberikan dampak pada konfigurasi politik lokal di Pasaman, tetapi juga merefleksikan kompleksitas penyelenggaraan pemilu dalam konteks negara demokratis yang berkembang.
Putusan MK ini didasarkan pada fakta hukum bahwa Calon Wakil Bupati Pasaman nomor urut 1 atas nama Anggit Kurniawan Nasution seharusnya tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu akibat statusnya sebagai mantan terpidana. Sesuai dengan regulasi yang berlaku, seorang mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah diwajibkan untuk secara terbuka mengungkapkan status hukumnya kepada publik. Hal ini bukan semata-mata sebagai bentuk disclosure yang bersifat administratif, tetapi juga sebagai bagian dari integrity principle dalam pemilu.
Namun, dalam kasus ini, ditemukan bahwa Surat Keterangan Tidak Pernah Dipidana yang diterbitkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas nama Anggit Kurniawan bertentangan dengan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ia pernah dijatuhi hukuman dalam perkara penipuan, sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 293/Pid.B/2022/PNJkt.Sel.
Ketika KPU Pasaman kurang cermat melakukan verifikasi dokumen maka akan menunjukkan adanya oversight dalam electoral management yang dapat berimplikasi pada stabilitas demokrasi. Profesionalisme dalam penyelenggaraan pemilu tidak sekadar diukur dari kepatuhan terhadap prosedur, tetapi juga dari kapasitas intelektual dalam memahami konsekuensi hukum dan sosial dari setiap keputusan yang diambil. Pada konteks ini, emotional intelligence menjadi aspek krusial yang harus dimiliki oleh penyelenggara pemilu, mengingat tugas mereka tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga memiliki dimensi etika dan moral yang mendalam. Dengan kata lain, penyelenggara pemilu harus mampu menyelaraskan antara aspek hukum, tata kelola yang baik (good governance), serta ekspektasi masyarakat terhadap sistem demokrasi yang bersih dan transparan.
Lebih lanjut, keputusan MK juga membatalkan beberapa keputusan yang telah dikeluarkan oleh KPU Kabupaten Pasaman, antara lain Keputusan KPU Kabupaten Pasaman Nomor 851 tentang Penetapan Hasil Pemilihan, Keputusan KPU Kabupaten Pasaman Nomor 600 tentang Penetapan Pasangan Calon, serta Keputusan KPU Kabupaten Pasaman Nomor 604 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon. Selain itu, MK memerintahkan pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) tanpa mengikutsertakan Anggit Kurniawan dalam pemilihan, dengan batas waktu pelaksanaan maksimal 60 hari sejak putusan dibacakan. PSU ini harus tetap mendasarkan pada Daftar Pemilih Tetap, Daftar Pemilih Pindahan, dan Daftar Pemilih Tambahan yang digunakan dalam pemungutan suara pada 27 November 2024.
Implikasi dari putusan ini sangat luas, tidak hanya terhadap pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kontestasi politik di Kabupaten Pasaman, tetapi juga terhadap konstruksi regulasi pemilu secara nasional. Salah satu aspek yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana electoral fairness dapat terjaga dalam situasi di mana penyelenggara pemilu gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Dalam perspektif political legitimacy, pemilu yang adil dan bebas dari cacat administratif merupakan syarat mutlak bagi keberlangsungan demokrasi. Jika ketidaktepatan administratif seperti yang terjadi dalam kasus Pasaman terus dibiarkan, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem pemilu dan dapat berujung pada delegitimasi pemerintahan yang terpilih.
Selain itu, dari sudut pandang kecakapan dalam administrasi pemilu, kasus ini mencerminkan pentingnya peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam tubuh KPU. Profesionalisme dalam konteks pemilu tidak hanya menyangkut compliance terhadap prosedur, tetapi juga mencakup kemampuan untuk membaca konsekuensi hukum dan etika dari setiap keputusan yang diambil. Menurut Suhrawadi K. Lubis (2012), profesionalisme berkaitan erat dengan kualitas yang harus dimiliki seseorang untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Jika seseorang mengaku sebagai profesional, maka ia harus mampu menunjukkan expertise dalam bidangnya serta menjunjung tinggi etika kerja. Pada konteks penyelenggaraan pemilu, prinsip ini berarti bahwa KPU dan seluruh jajaran penyelenggara pemilu harus mampu menjamin proses yang transparan, akuntabel, dan berintegritas.
Karakteristik profesionalisme dalam administrasi pemerintahan, termasuk dalam penyelenggaraan pemilu meliputi equality, equity, loyalty, dan accountability. Equality dalam pemilu berarti bahwa semua kandidat harus mendapatkan perlakuan yang sama tanpa adanya bias atau kepentingan tertentu. Equity menghendaki adanya keadilan substantif dalam pemilu, di mana aturan harus ditegakkan dengan proporsional sesuai dengan kondisi yang ada. Loyalty dalam konteks ini merujuk pada kesetiaan penyelenggara pemilu terhadap hukum dan konstitusi, bukan kepada individu atau kelompok politik tertentu. Sedangkan accountability merupakan prinsip utama yang memastikan bahwa setiap tindakan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
Dari perspektif governance, kelemahan dalam sistem verifikasi kandidat yang terjadi dalam kasus Pasaman dapat dikategorikan sebagai administrative failure yang berpotensi merusak electoral credibility. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah dengan melakukan reformasi dalam kurikulum pelatihan bagi penyelenggara pemilu. Selama ini, profesionalisme dalam birokrasi Indonesia lebih banyak dihubungkan dengan ketaatan terhadap aturan dan doktrin administratif daripada pemahaman teoritik yang berbasis critical thinking. Oleh karena itu, reformasi dalam electoral training harus diarahkan pada peningkatan kemampuan analitis, pemahaman hukum yang lebih mendalam, serta penguatan mekanisme pengawasan yang berbasis teknologi.
Selain itu, dalam konteks kepercayaan publik terhadap pemilu, keputusan MK ini memberikan sinyal positif bahwa sistem hukum Indonesia masih memiliki mekanisme korektif yang efektif untuk mengatasi permasalahan dalam pemilu. Namun, putusan ini juga mengingatkan bahwa masih terdapat celah dalam electoral governance yang harus segera diperbaiki. Dalam sistem demokrasi yang matang, setiap pelanggaran dalam pemilu, baik yang bersifat administratif maupun substantif, harus dapat ditangani dengan mekanisme hukum yang jelas dan transparan.
Diskualifikasi calon Wakil Bupati Pasaman oleh MK menjadi turning point dalam penguatan sistem pemilu di Indonesia. Keputusan ini menegaskan bahwa electoral governance harus didasarkan pada prinsip aturan hukum, di mana setiap kandidat yang maju dalam kontestasi elektoral harus memenuhi seluruh persyaratan hukum tanpa pengecualian. Selain itu, keputusan ini memberikan pesan kuat bahwa penyelenggara pemilu harus memiliki kapasitas tinggi dalam menjalankan tugasnya secara profesional, independen, dan akuntabel.
Oleh karena itu, reformasi sistem pemilu harus diarahkan pada peningkatan profesionalisme penyelenggara, penguatan mekanisme verifikasi kandidat, serta penerapan sanksi yang lebih ketat terhadap kelalaian administratif yang dapat merusak integritas dari proses elektoral. Dengan demikian, pemilu di Indonesia dapat semakin mendekati standar demokrasi yang ideal, di mana political legitimacy tidak hanya ditentukan oleh suara mayoritas, tetapi juga oleh komitmen terhadap prinsip-prinsip etika, hukum, dan transparansi.