Menyederhanakan Paham Konstitusionalisme dalam Putusan Sengketa Hasil Pemilihan: Pelajaran dari Pasaman dan Belu
Ory Sativa Syakban
Konstitusionalisme berkaitan erat dengan rechtstaat dan rule of law, yang berarti aktifitas penyelenggara negara dan pemerintah berdasar hukum dan dibatasi hukum. Carl J. Friedrich (1941) dalam Contsitusionalisme Government And Democracy menuturkan bahwa konstitusionalisme merupakan sekumpulan aktivitas yang diselenggarakan dan dijalankan untuk kepentingan rakyat, namun berada di bawah berbagai pengekangan (pembatasan) yang bertujuan untuk memastikan agar kewenangan yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak digunakan secara tidak semestinya oleh pihak yang diberi wewenang untuk memerintah.
Kita mengenal konstitusi dalam bentuk aturan tertulis yakni UUD, keberadaan UUD memiliki tujuan untuk diadakan, tujuan disusunnya undang-undang dasar adalah untuk menetapkan seperangkat ketentuan yang jelas guna mengarahkan perilaku manusia, sehingga dapat menjamin terselenggaranya pemerintahan yang tertib dan teratur, demikian pikiran Richard S. Kay. (Miriam, 2008: 170). Penekanan tersebut merupakan fungsi normatif keberadaan UUD sebagai instrument of control dalam bernegara dan secara substansi, UUD adalah pembatasan kekuasaan dan pertanggungjawaban publik sebagai esensi pemerintahan konstitusional. Pemerintahan konstitusional bukan hanya pemerintahan yang memiliki Undang-Undang Dasar, tetapi merupakan sistem pemerintahan yang kekuasaannya dibatasi oleh aturan hukum, serta berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan tindakannya kepada rakyat (Adnan, 2007:131).
Miriam (2008) menjelaskan bahwa konstitusionalisme dalam undang-undang dasar dipandang sebagai suatu institusi yang memiliki peran khusus, yakni menetapkan serta membatasi kewenangan pemerintah di satu sisi, dan di sisi lain melindungi hak-hak asasi setiap warga negara. Mahfud (2017) lebih gamblang lagi mengatakan bahwa inti konstitusionalisme adalah perlindungan HAM dan pembatasan kekuasaan negara melalui pemencaran & pembagian kekuasaan. Tidak ketinggalan Friedrich (Ni’matul, 2010: 152) pun mempertegas, konstitusionalisme merupakan suatu sistem yang terstruktur yang berkaitan dengan pembatasan yang efektif dan terorganisir terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Lebih sederhana lagi, Jimly (2020) mendefinisikan konstitusionalisme tidak lain merupakan suatu sistem pemerintahan yang terbatas, yaitu dibatasi oleh konstitusi, atau dibatasi oleh hukum berdasarkan konstitusi.
Bagaimana melihat pembatasan kekuasaan pemerintahan dan perlindungan atas hak-hak asasi warga negara, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 dalam perkara perselisihan hasil pemilihan Kabupaten Pasaman? Secara sederhana dideskripsikan seluruh aktifitas penyelenggaraan negara, termasuk pemilihan yang diselenggarakan oleh KPU, wajib tunduk pada hukum berdasarkan konstitusi, sehingga KPU Kabupaten Pasaman dibatasi (dikekang) kewenangannnya dalam melayani hak konstitusi calon kepala daerah yang pernah dijatuhi hukuman pidana, hanya menurut konstitusi seperti yang diatur dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Nomor 71/PUU-XXIV/2016, dan putusan Nomor 02/PHPU.BUP-XXIII/2025 dalam satu tarikan nafas harus dibaca pula sebagai upaya konstitusional melindungi hak warga akibat batasan itu dilampaui, atau dalam bahasa pemerhati, akibat pelanggaran prosedur pemilihan.
Sengketa hasil pemilihan Pasaman diajukan Paslon Mara Ondak dan Desrizal, mereka menuduh rivalnya Anggit Kurniawan Nasution (Anggit) merupakan mantan terpidana yang tidak transparan dan tidak jujur kepada publik perihal jati dirinya. Masyarakat menanggapi keabsahan ‘Surat Keterangan Tidak Pernah Sebagai Terpidana’ atas namanya berdasarkan muatan informasi dalam tangkapan layar SIPP PN Jakarta Selatan, bahwa ia pernah dijatuhi pidana selama 2 bulan 24 hari berdasarkan putusan inkrah PN Jakarta Selatan nomor: 293/Pid.B/2022/PNJkt.Sel. KPU Kabupaten Pasaman berkesimpulan tanggapan masyarakat tersebut tidak dilengkapi dengan KTP-elektronik pelapor dan disampaikan sudah di luar tahapan. Celakanya, 7 hari menjelang hari pemungutan suara, PN Jakarta Selatan menerbitkan surat yang substansinya membatalkan suket tidak pernah sebagai terpidana yang pernah diterbitkan atas nama Anggit.
Merespon KPU Kabupaten Pasaman selaku in-user terhadap dokumen syarat calon, sehingga tidak mengklarifikasi kebenaran tanggapan masyarakat serta menyerahkan kebenaran materiil kepada PN Jakarta Selatan sebagai instansi yang menerbitkan dokumen, MK dalam pertimbangannya menyebutkan, “demi mewujudkan/menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas maka rambu-rambu atau batasan-batasan tertentu sebagai syarat pencalonan sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan harus dipenuhi secara keseluruhan oleh masing-masing calon tanpa terkecuali. Lebih lanjut, adanya pembatasan-pembatasan dimaksud adalah semata-mata untuk menjamin hak dan kebebasan bagi para pemilih untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kompetensi cukup, berintegritas, dan jujur”. Artinya KPU Kabupaten Pasaman dibatasi konstitusi untuk memastikan calon kepala daerah memenuhi syarat sesuai hukum. Juga ikhtiar mencari kebenaran pemenuhan syarat tersebut harus dimaknai sebagai upaya menjalankan batasan kewenangan dan menjamin hak-hak pemilih di Pasaman.
Hukum telah membatasi persyaratan calon kepala daerah yang merupakan mantan terpidana sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan, yang dijudicial-review dengan putusan nomor: 56/PUU-XVII/2019. MK menegaskan: “…Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati... harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:... g. (i) tidak pernah dijatuhi hukuman pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali bagi terpidana yang melakukan tindak pidana karena kelalaian atau tindak pidana politik, yaitu perbuatan yang dianggap tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya memiliki pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah menyelesaikan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengungkapkan latar belakangnya sebagai mantan terpidana; serta (iii) tidak terlibat dalam tindak kejahatan berulang…”, dan pembatasan tersebut konstitusional.
Selanjutnya, dibatasi pula dengan ketentuan teknis dalam Pasal 14 huruf f Peraturan KPU tentang pencalonan kepala daerah, yang redaksionalnya persis dengan putusan nomor: 56/PUU-XVII/2019. Dengan pembatasan itu MK sedang melindungi dan menjaga hak-hak konstitusional pemilih, dan mengawal konstitusi, jika pemilihan dijalankan tidak sesuai konstitusi, MK berwenang membatalkan hasilnya. Jika kewenangan dijalankan berdasarkan hukum dan calon kepala daerah mantan terpidana juga memahami batasan hukum ketika berkontestasi dalam demokrasi elektoral dan patuh pada batasan hukum sesuai konstitusi, sengketa pemilihan tentu tidak terjadi. Demikian rule of law dalam paham konstitusionalisme, dimana hukum jadi landasan tertinggi dalam penyelenggaraan pemilihan, dan setiap orang tunduk padanya.
Terhadap kondisi adanya persoalan pemenuhan syarat calon Anggit, dan fakta bahwa ia ternyata pernah disanksi pidana 2 bulan 24 hari dengan ancaman pidana 4 tahun penjara, kondisi ini sudah pernah pula dibatasi konstitusi dalam putusan Nomor 71/PUU-XXIV/2016, dalam angka 2 amar putusannya berbunyi:”… atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”, yang secara konsisten dan faktual telah dipraktekkan dalam Putusan Nomor 03-03/PHPU.DPD-XXII/2024 pada pertimbangan hukumnya, MK mengkonstruksikan perbedaan antara ancaman pidana penjara “5 tahun atau lebih” dengan ancaman pidana “maksimal 5 tahun” atau “5 tahun ke bawah”. Individu yang menjadi terpidana dengan ancaman hukuman penjara “5 tahun atau lebih”, dikenai tambahan syarat berupa masa jeda 5 tahun ketika berkontestasi lagi secara electoral, dan untuk mantan narapidana yang dikenai ancaman hukuman“maksimal 5 tahun” atau “5 tahun ke bawah”, tidak dikenai syarat masa jeda 5 tahun, namun tidak menghilangkan kewajibannya untuk terbuka dan jujur mengumumkan jati dirinya sebagai mantan terpidana, ini batasan tegasnya.
Perspektif HAM dalam konstitusionalisme menegaskan bahwa negara menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar pemilih sesuai konstitusi, yang dalam praktek sederhana batas kekuasaan negara adalah menjaga terwujudnya hak untuk memilih dan dipilih, serta hak atas akses yang setara dalam memperoleh layanan publik, seperti memperoleh layanan informasi yang hak tersebut dilindungi UUD, maka penyelenggara negara wajib mengambil tindakan afirmatif untuk memenuhi hak-hak warga negara tersebut. Jika batasan itu terlewati, maka dikoreksi oleh yudikatif. Adanya mekanisme koreksi untuk menjamin perlindungan terhadap hak pemilih ketika hak-haknya dilanggar.
Anthony Downs (1957: 266) berpendapat, sebelum membuat keputusan dalam memilih, seorang pemilih perlu terlebih dahulu memperoleh informasi mengenai tanggal pemilihan, jumlah partai yang ikut serta, nama-nama partai, tata cara pemungutan suara, dan sebagainya. Sehingga voters make rational choices when accurate information is accessible, (pemilih membuat pilihan yang rasional ketika informasi yang akurat tersedia). Pemilih berhak mendapatkan akses informasi berkenaan kandidat yang akan dipilih, dan hak konstitusional harus diwujudkan oleh pemerintah dan calon berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Terlebih berkenaan dengan status hukum calon, sehingga pemilih rasional menentukan pilihannya dan rasionalitas itu mempengaruhi keterpilihan kandidat dan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas sesuai kehendak pemilih.
Praktek calon yang jujur dan berintegritas, sederhananya diperlihatkan dengan sikap jujur calon saat mendaftar. Kandidat mengisi dokumen dengan benar, terutama syarat tidak memiliki riwayat pernah melakukan perbuatan tercela, dengan bukti surat keterangan dari kepolisian yang memuat informasi mengenai data diri calon sebenarnya. Jika ternyata sebaliknya, calon haruslah menolak dan jujur mengatakan bahwa surat keterangan dimaksud tidak benar dan tidak sesuai keadaan yang sesungguhnya.
Praktek lainya pada saat mendapatkan “Surat Keterangan Tidak Pernah Sebagai Terpidana”, calon menyampaikan keberatan kepada instansi yang menerbitkan manakala informasinya tidak sesuai realita. Jikalau keberatan telah dilakukan namun masih terdapat kekeliruan pada dokumen yang diterbitkan instansi terkait, calon masih dapat menyampaikan kebenaran perihal dirinya kepada penyelenggara dan mengumumkan kepada publik secara terbuka.
Hal tersebut tidak dilakukan Anggit yang berdampak pada pemilih tidak mendapatkan akses infromasi perihal dirinya. Pemilih tidak memiliki kesempatan untuk memilih secara rasional atau untuk mendapat layanan dan akses informasi yang memenuhi prinsip konstitusional. Berbeda dengan yang dipraktekkan oleh Vicente Hornai Gonsalves calon wakil bupati Belu, saat proses pembuatan “Surat Rekomendasi Catatan Kriminal” di Kepolisian Resor Belu, NTT, dengan tulisan tangannya telah menerangkan bahwa dirinya “pernah dihukum pada tahun 2004 dan sudah diputus di PN Atambua”, MK menilai perbuatan Vicente sebagai praktek berlaku jujur.
Penyelenggara negara memperoleh legitimasi hanya jika bertindak sesuai kehendak dan kepentingan rakyat. Lengkapnya, hak dan kewajiban pemerintah ditata hanya untuk melindungi kepentingan rakyat, sementara pemilihan adalah sarana rakyat mengekspresikan kedaulatannya secara nyata. Sederhananya pembatasan kekuasaan dimaknai bahwa penyelenggara negara tidak bertindak sewenang-wenang di luar kehendak rakyat yang termuat dalam konstitusi.
Akhirnya, demi menjamin legitimasi hasil pemilihan dan menjaga kedaulatan rakyat, MK menyatakan persyaratan Anggit sebagai calon wakil bupati tidak memenuhi ketentuan dan mengandung cacat hukum. Sebab dalam perkara ini ia telah mencederai prinsip penyelenggaraan pemilihan yang berkeadilan, demokratis, dan berintegritas. KPU Kabupaten Pasaman pun diperintahkan untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang.