Aku (ber) Saksi (di) TPS
Novanto Yudistira
"Suara untuk Paslon Nomor urut 010, sah!". Tidak lama kemudian terdengar lagi, " Suara untuk Paslon Nomor urut 011, sah!". Bersamaan dengan nomor urut yang keluar dan dibacakan, terdengar sorak sorai para pendukung pasangan calon (paslon) yang bertarung pada Pilkada Tahun 2024. Kondisi ini juga berlangsung di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan dinamika dan keriuhan hampir sama saat nomor urut paslon dibacakan oleh petugas dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), lazimnya ketua KPPS, saat proses penghitungan suara.
Pada momen ini, para saksi juga ikut menuliskan atau mencatatkan perolehan suara dari paslon kepala daerah yang menunjuk mereka sebagai saksi. Bertugas sebagai saksi merupakan satu kebanggaan bagi individu penerima mandat sebagai perpanjangan tangan dari tim pemenangan dan atau partai pengusung atau pasangan calon peserta pemilu kepala daerah tahun 2024 itu sendiri. Hal ini lumrah, karena mereka sebagian besar merupakan simpatisan pendukung dari pasangan calon yang ikut bertarung di Pilkada Tahun 2024. Sebagai seorang saksi, mereka tentunya juga dibekali dengan ilmu dan materi tentang kepemiluan, serta materi-materi tentang tugas, tanggung jawab, larangan, hak, serta kewajiban mereka selaku saksi.
Selain itu, mereka juga mendapatkan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya selain berkas adminstrasi berupa surat mandat dan form penghitungan suara, mereka juga mendapatkan konsumsi, baik makan siang ataupun kudapan ringan lainnya yang diantarkan oleh koordinator lapangan kecamatan atau kelurahan. Terkadang juga mendapatkan makan malam jika penghitungan suara berlanjut sampai malam hari.
Dalam hal pelaksanaan tugasnya, saksi mendapatkan imbalan jasa dari tim pemenangan paslon dan atau partai pengusung paslon yang berlaga di Pilkada 2024. Berbeda dengan KPPS yang digaji dari keuangan negara baik APBD maupun APBN.
Meskipun telah diberi pembekalan sebagai saksi, dalam kenyataannya, banyak saksi yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sebagian besar dari mereka hanya fokus pada saat penghitungan suara dan mencatatkan pada lembaran yang mereka bawa dari posko pemenangan atau diberikan/diantar oleh koordinator lapangan. Padahal, secara hakikat sebagai seorang saksi, mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar.
Saksi sudah harus bertugas sejak TPS dibuka, yang diawali dengan pengambilan sumpah anggota KPPS oleh ketua KPPS. Kemudian mengikuti proses pemungutan suara yang dimulai dari pendaftaran pemilih di pintu masuk. Saksi, secara umum, harus mengamati siapa pemilih yang hadir serta kejadian-kejadian selama proses pendaftaran pemilih tersebut. Termasuk mengamati apakah ada intervensi kepada pemilih dari penyelenggara pemilu, atau dari tim pemenangan, baik di dalam maupun luar TPS, karena idelanya saki paham bahwa mereka dilarang untuk mengintervensi pemilih.
Jadi secara umum, tugas seorang saksi itu sebenarnya sama kompleksnya dengan penyelenggara pada hari pemungutan suara. Hal ini tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 17 tahun 2024 yang mengatur tentang tugas, larangan dan syarat menjadi saksi pemilu termasuk juga hak yang didapatkan saksi di TPS. Seperti salah satunya yang disampaikan diatas bahwa saksi dilarang mengintervensi pemilih.
Tugas Saksi
Sebenarnya tugas saksi peserta pemilu dan pemilihan ini sudah diatur seperti memantau dan mengevaluasi pemungutan dan penghitungan suara. Saksi harus memastikan bahwa proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS berjalan dengan adil dan sesuai peraturan yang berlaku. Selain itu, saksi juga menjamin kepatuhan terhadap aturan. Saksi bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pemilihan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) tersebut dilaksanakan dengan mengikuti aturan dan hukum yang telah ditetapkan. Berikutnya, saksi juga mengawasi penghitungan suara. Setelah pemungutan suara selesai, saksi juga harus mengawal proses penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal lain yang juga menjadi tugas saksi adalah melaporkan hasil penghitungan suara. Hasil penghitungan suara harus dilaporkan kepada partai politik atau tim kampanye dari pasangan calon yang diwakili oleh saksi tersebut. Tidak laha pentingnya, saksi partai juga dapat mengajukan pengaduan atau sengketa. Saksi memiliki hak untuk melaporkan pelanggaran atau masalah yang terjadi selama pemilihan sesuai dengan prosedur yang berlaku, jika ditemukan ketidaksesuaian atau kecurangan.
Selain saksi partai, juga ada saksi di TPS yang juga memiliki peran yang sangt penting. Oleh karena itu menjadi saksi TPS haruslah memnuhi syarat tertentu di antaranya adalah warga Negara Indonesia (WNI). Saksi harus menjadi Warga Negara Indonesia. Saksi TPS harus hadir tepat waktu di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang ditugaskan. Saksi juga tidak membawa atau mengenakan atribut yang mencitrakan salah satu peserta pemilu untuk menjaga tetap netral dalam menjalankan tugasnya. Mendapatkan dan menyerahkan surat mandat, saksi harus mendapatkan surat mandat yang sudah ditandatangani oleh pasangan calon atau tim kampanye tingkat kabupaten/kota atau tingkat di atasnya, pimpinan partai politik tingkat kabupaten/kota atau tingkat di atasnya, atau calon peserta pilkada. Surat mandat ini harus diserahkan kepada petugas yang bertanggung jawab di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Pasca pemungutan suara, pada dasarnya, jika dibutuhkan, tugas saksi Tempat Pemungutan Suara (TPS) masih akan berlanjut ke tingkat penghitungan suara di Kecamatan bahkan saksi-saksi bias saja ikut menjadi saksi pada persidangan sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) jika terjadi gugatan dari paslonnya. Di sinilah tugas sesungguhnya seorang saksi akan diuji, dimana mereka harus menyampaikan seluruh proses pelaksanaan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) lokasi mereka bertugas sebagaimana hakikatnya seorang saksi pada setiap pertanyaan yang muncul nantinya dipersidangan tersebut.
Masalah Saksi di Lapangan
Jika seorang saksi yang benar-benar mengikuti seluruh rangkaian pelaksanaan pemungutan suara, mereka tentu akan mengamati dan mencatatkan seluruh bukti pelanggaran yang terjadi serta tidak ikut menandatangani hasil penghitungan suara sebagai bentuk penolakan. Sehingga mereka bisa menjadi salah penentu yang menjadi dasar keputusan hakim Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengabulkan gugatan paslonnya.
Jika diperhatikan banyak dijumpai saksi-saksi tidak mereka tugas-tugas yang harus mereka emban selama menjadi saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kecenderungan yang terjadi, mereka mulai fokus dan mencatatkan hasil penghitungan suara dengan wajah sumringah jika nomor urut pasangan calonnya muncul saat dibacakan oleh petugas KPPS. Kondsi ini juga diperparah dengan budaya permisif dari saksi yang membiarkan saja jika terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam proses pemungutan suara. Mereka enggan untuk memprotes atau bersuara jika terjadi hal yang tidak sesuai dengan tahapan dan proses pemungutan suara yang disebabkan hubungan pertemanan atau kekerabatan dengan saksi dari pasangan calon lain.Dari kondisi tersebut diatas, semoga kedepannya untuk menempatkan saksi yang benar-benar kompeten atau mumpuni dalam hal kepemiluan, baik itu Pemilu Presiden, Legislatif maupun pemilihan gubernur dan kepala daerah, sehingga cita-cita pemilu yang bermartabat dapat terwujud.