Tak Ada Gading Yang Tak Retak

Hamdan

Ketua Divisi Hukum

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 telah menetapkan arah baru sistem pemilu nasional, yakni dengan menyarankan pelaksanaan pemilihan secara serentak nasional dalam satu siklus lima tahunan. Putusan tersebut bertujuan untuk mewujudkan efisiensi, efektivitas, dan keselarasan politik nasional. Model yang dipilih oleh pembentuk undang-undang akhirnya mengatur bahwa Pemilu Nasional (untuk memilih presiden-wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD) dilaksanakan serentak pada tanggal 14 Februari 2024, sementara Pemilihan Kepala Daerah (gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan walikota-wakil walikota) secara serentak dijadwalkan pada tanggal 27 November 2024.

Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah demokrasi Indonesia, pemilu dan pemilihan, atau lazim dibahasakan pilkada, dilaksanakan di tahun yang sama. Total terdapat 545 daerah yang menggelar pilkada pada November 2024, terdiri dari 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Situasi ini menciptakan tantangan luar biasa, tidak hanya dalam aspek logistik, anggaran, dan sumber daya manusia, tetapi juga dalam pengelolaan potensi konflik yang dapat muncul dari kontestasi politik yang sangat kompetitif dan padat waktu.

Konflik politik adalah bagian inheren dari demokrasi. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh berbagai pakar politik, yang membedakan demokrasi yang sehat adalah kemampuannya mengelola konflik secara damai dan legalistik. Dalam konteks ini, penyelenggara pemilu memiliki peran krusial. KPU Provinsi Sumatera Barat misalnya, telah menerapkan sejumlah strategi pencegahan konflik yang komprehensif, antara lain melalui program sosialisasi intensif, bimbingan teknis (bimtek), dan penguatan sistem pengawasan internal, mulai dari tingkat provinsi hingga KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara).

KPU Provinsi Sumatera Barat juga aktif mengimplementasikan manajemen risiko hukum dalam setiap tahapan pemilu, sehingga tidak hanya reaktif saat sengketa terjadi, tetapi proaktif membangun sistem pencegahan. Alhasil, KPU Provinsi Sumatera Barat dianugerahi Juara I dalam kategori Manajemen Penanganan Permasalahan Hukum pada Pemilu 2024, yang diberikan oleh KPU RI sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan dalam menjaga integritas proses pemilu di tengah potensi gejolak politik.

Mengutip Paul H. Anderson, pemilu yang jujur tidak hanya memberikan ruang bagi rakyat untuk bersuara, tetapi lebih penting lagi, memastikan suara rakyat didengar dan dihormati. Prinsip keadilan pemilu tidak semata soal prosedur, tetapi juga soal kesetaraan akses, keadilan dalam perlakuan, dan kejujuran dalam penyelenggaraan. Ini sejalan dengan prinsip "justice as fairness" dari filsuf John Rawls, bahwa dalam sistem demokrasi, keadilan menuntut adanya kesempatan yang setara dan sistem yang menjunjung tinggi hak-hak semua pihak.

Sebagaimana gading yang kuat dan kokoh, namun tetap memiliki celah, sistem hukum pemilu kita juga tidak sempurna. Ia adalah produk ciptaan manusia, sehingga evaluasi dan penyempurnaan harus menjadi bagian berkelanjutan dalam proses legislasi pemilu. Permasalahan yang muncul dalam pemilu sebelumnya, baik soal penyelenggaraan, regulasi, hingga etik, harus dijadikan refleksi kebijakan agar regulasi pemilihan di masa depan bisa lebih adaptif, akuntabel, dan menjawab kompleksitas zaman.

Maka, Pilkada 2024 bukan sekadar kontestasi politik lokal, tapi juga menjadi ajang uji kedewasaan demokrasi kita, apakah kita mampu menjaga suara rakyat, menyelesaikan konflik secara bermartabat, dan merawat kepercayaan publik terhadap proses demokrasi. Ini bukan hanya tugas penyelenggara, tapi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa.

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 30 Kali.