Petani di Panggung Demokrasi: Jejak Langkah Menuju Bilik Pilkada Sumbar 2024

Arif Zulpriansyah Siregar

Tepat pada hari Rabu, 27 November 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berhasil membangkitkan kesadaran demokrasi masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) melalui momentum elektoral dalam rangka memilih pemimpin daerah masa depan. Sebanyak 4.214.957 surat suara telah didistribusikan secara sistematis ke 17.569 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 19 kabupaten/kota. Tentulah tidak mudah bagi KPU Provinsi Sumbar untuk menggalang partisipasi dari 4.088.606 pemilih terdaftar.

Sungguh sulit bagi pembaca awam untuk mencerna angka-angka statistik tersebut, terlebih bagi seorang petani yang harus menunduk karena keletihan saat berjalan menuju TPS, lalu kembali ke ladang untuk menyambung hidup di atas lahan sempit miliknya. Terlihat seperti narasi dramatik di layar kaca, namun kisah ini nyata.

Seorang petani mengenakan kaos partai bertuliskan nama dan lambing partai dengan ujung tulisan yang robek, jemarinya dipenuhi tanah kering, dan kakinya telanjang. Ia menggenggam erat paku di tangan dan bertanya lirih kepada petugas, “sia ambo piliah lai ko?” (Siapa saya pilih lagi ini?). Pertanyaan itu mengundang tawa dari pemuda-pemudi yang mengantre, dan dijawab temannya sesama petani, “cucuak se ciek Da, samo se kaduonyo tu” (Coblos saja satu, sama saja keduanya). Tawa kecil mengiringi.

Usai mencoblos, petani tua itu melangkah ke lapau (warung kopi), tempat berkumpulnya petani lainnya di samping TPS. Ini bukan cerita fiksi. Benar-benar terjadi nyata di TPS 02 Rumah Gadang Datuk Rajo Ibrahim Pasar Ambacang, Kota Padang, dan penulis sendiri juga menyaksikannya.

Fenomena ini bukan sekadar cerita. Pada Pilkada 2024, petani menjadi aktor dominan dalam konstelasi elektoral daerah. Tidak mengherankan, karena Sumatera Barat (Sumbar) merupakan provinsi dengan sektor pertanian sebagai pilar utama ekonomi lokal. Dengan topografi yang beragam, dari dataran rendah hingga kawasan montana, Sumbar memiliki potensi besar dalam berbagai subsektor seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.

Sebesar potensi agraria tersebut, sebesar pula keterlibatan petani dalam menentukan arah kebijakan publik melalui bilik suara. Janji-janji kampanye yang menonjolkan reformasi agraria dan keberlanjutan pertanian menjadi magnet elektoral yang kuat. Petani pun menjadi elemen strategis sekaligus target utama dalam kontestasi pemilihan kepala daerah tahun ini.

Berdasarkan Sensus Pertanian 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 724.515 Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) di Sumatera Barat. Angka ini meningkat dari 693.023 RTUP pada 2018, hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS).

Fakta itu menunjukkan bahwa keluarga petani menjadi basis elektoral yang menentukan di setiap perhelatan demokrasi, lebih-lebih Pilkada. Fenomena ini memperlihatkan korelasi kuat antara arah kebijakan politik dengan harapan kesejahteraan petani. Artinya, pertanian tak hanya menjadi entitas ekonomi, melainkan juga kekuatan politik yang signifikan dalam demokrasi lokal.

Wajah demokrasi petani terlihat berbeda dibanding pekerja sektor lainnya. Lapau menjadi forum diskusi informal namun substantif. Lapau jadi tempat bertukar opini, menyusun argumentasi, dan memverifikasi kabar politik terkini di ranah Minang.

Tidak mengejutkan, di tahun politik tahun 2024, banyak lapau tetap terang dan ramai hingga larut malam. Penulis pernah merasakannya sendiri, saat singgah di sebuah lapau depan kantor pemuda Nagari Koto Berapak, Kecamatan Bayang, Kabupaten Pesisir Selatan (20 November 2024).

Ketika datang, diskusi langsung dihiasi narasi tentang salah satu calon yang dijuluki Pak Jangguik (berjanggut), julukan populis yang diberikan oleh petani. Diskusi mengalir tajam. Dari delapan orang di lapau, mereka terbagi dua kubu, salah satunya mendukung calon dari Solok.

Narasi “tagak kampuang, bela kampuang” (berdiri untuk kampung, bela kampung) bergema berkali-kali. Sekilas terdengar biasa, tapi narasi mereka sarat data, retorikanya nyaris mengimbangi juru bicara profesional. Padahal faktanya, sebagian besar belum selesai dan bahkan tak tamat SMA.

Dialog malam itu diakhiri oleh candaan Pak Black, seorang petani: “Lah… lah, pulang wak lai. Jan sampai ndak miliah dek takalok pas pemilihan bisuak yo.” (Sudah… sudah, pulang kita. Jangan sampai tak memilih karena ketiduran besok pagi).

Dari fenomena ringkas di atas, KPU Provinsi Sumbar perlu menyusun strategi inovatif untuk meningkatkan partisipasi politik petani di masa mendatang. Masih banyak hambatan substansial, seperti rendahnya literasi politik dan keterbatasan informasi seputar kandidat dan program mereka.

Maka dari itu, dibutuhkan pendekatan sistemik dan berkelanjutan guna meningkatkan kualitas partisipasi petani, agar suara mereka merefleksikan aspirasi sejati. Beberapa langkah yang direkomendasikan antara lain adalah dengan meningkatkan edukasi politik berbasis komunitas. KPU bisa bermitra dengan kelompok tani, lembaga adat, dan tokoh lokal untuk menyelenggarakan edukasi politik berbasis komunitas.

Kemudian, memanfaatkan media berbasis lokal seperti radio nagari, pertemuan lapau, dan seni tradisi untuk menyampaikan pesan politik secara kultural. Selanjutnya, menyesuaikan jam operasional Tempat Pemungutan Suara (TPS) agar tak bertabrakan dengan waktu kerja tani. Tentu saja perlu menyediakan TPS di area yang secara geografis dekat dan mudah dijangkau oleh komunitas agraris.

KPU Provinsi Sumbar juga perlu memberikan studi kasus konkret bahwa kebijakan pemilu berdampak pada kesejahteraan petani, seperti subsidi pupuk, kredit mikro tani, dan infrastruktur irigasi. Selain itu, mengundang tokoh petani berpengaruh untuk berperan sebagai katalisator partisipasi politik di komunitasnya. Kemudian, menjadikan lapau sebagai tempat penyebaran informasi politik berbasis dialog, dengan pendekatan informal namun substansial.

Penulis meyakini, dalam setiap langkah kaki petani menuju bilik suara, tersimpan harapan besar untuk ketahanan ekonomi rumah tangga, pendidikan berkualitas bagi anak, layanan kesehatan yang merata, dan pemimpin yang mampu menjawab aspirasi mereka. Cerita-cerita mereka di lapau bukan sekadar ekspresi emosi, melainkan manifes semangat nasionalisme dan demokrasi akar rumput. Dalam Pilkada 2024, bukan hanya kandidat yang menentukan masa depan petani, tetapi juga KPU sebagai arsitek demokrasi yang mampu membangun ruang partisipasi yang inklusif dan berdaya guna bagi sektor pertanian Sumatera Barat.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 14 Kali.