Buzzer Politik dan Era Post-Truth: Ancaman bagi Demokrasi Lokal di Indonesia
Tri Wahyuni Oktanita, Redni Putri Meldianto, Rayla Osvita Putri
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang menekankan partisipasi publik dan kebebasan berpendapat, telah menjadi pilar utama dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia, termasuk di tingkat daerah. Namun, perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Dalam beberapa dekade terakhir, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah menciptakan revolusi digital yang mengubah cara kita berinteraksi, berkomunikasi, dan mengakses informasi. Media sosial tidak hanya berperan sebagai alat komunikasi di ruang digital, tetapi juga menjadi platform untuk membangun dan menampilkan citra diri seseorang, termasuk para politisi.
Evaluasi publik terhadap konten yang dibagikan oleh politisi seringkali menjadi tolak ukur dalam menilai tingkat partisipasi politik seseorang, termasuk partisipasi generasi muda yang dikenal dengan gagasan-gagasan inovatif dan kritis mereka.
Polarisasi Opini Publik
Seiring dengan itu, fakta menunjukkan bahwa aktivitas individu di media sosial cenderung terlalu bebas, tidak terkendali, dan bahkan terkesan sembarangan dalam menyampaikan pendapat. Batasan dalam menyampaikan opini melalui media sosial seolah hilang. Netizen seringkali saling menyerang, melecehkan, dan merendahkan identitas orang lain, yang tidak jarang berakhir dengan masalah hukum. Dalam dinamika ini, muncul fenomena baru yang disebut masyarakat sebagai “buzzer”, yang semakin signifikan dalam konteks politik modern, terutama selama masa pemilihan umum atau kampanye.
Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2020 menyebutkan bahwa pemerintah juga menggunakan buzzer untuk mengamankan kebijakan-kebijakannya. Tidak hanya pemerintah yang menggunakan buzzer untuk kepentingan politis. Politisi, bahkan calon presiden, hingga calon kepala daerah ikut serta menggunakan buzzer untuk kepentingan pemilihan umum. Pada Pemilu Tahun 2014, pasangan calon presiden turut serta menggunakan buzzer; selain itu, praktik ini juga dilakukan pada Pemilu Tahun 2019 dan pada saat pemilihan kepala daerah di beberapa daerah di Indonesia.
Evolusi Buzzer Politik di Indonesia
Fenomena buzzer muncul akibat pesatnya perkembangan media sosial, yang memiliki dampak besar dalam memengaruhi keputusan politik masyarakat. Media sosial dianggap sebagai platform komunikasi yang efektif karena biaya lebih rendah dibandingkan media konvensional serta memiliki jangkauan global, memungkinkan penyebaran informasi tanpa batas geografis.
Di Indonesia, keberadaan buzzer politik telah muncul lebih awal dibandingkan di Korea Selatan, yaitu sejak tahun 2009, meskipun pada saat itu belum terorganisir secara sistematis dan lebih banyak berupa penyebaran ujaran kebencian. Awalnya, para pengguna media sosial atau netizen belum sepenuhnya memahami fenomena ini, dan masih menganggapnya sebagai bagian dari euforia kebebasan setelah lepas dari belenggu era orde baru.
Pada tahun 2011, saat menjelang Pilkada DKI Jakarta, buzzer mulai menggunakan teknik perjuangan dan pertempuran di dunia media sosial, di mana praktik saling memuji dan menjatuhkan marak terjadi di berbagai platform, menyerupai perang siber. Fenomena ini semakin menguat pada Pilpres 2014, yang dikenal dengan maraknya berita hoaks, dan kembali terulang pada Pilpres 2019.
Untuk menyebarkan pesan dan memengaruhi opini publik, buzzer sering kali memanfaatkan platform media sosial yang banyak digunakan oleh lawan politik mereka seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok. Penggunaannya disesuaikan dengan preferensi audiens yang akan mereka pengaruhi.
Dalam satu dekade terakhir, pemilihan umum di Indonesia tidak terlepas dari keterlibatan buzzer. Peran di balik layar yang diberikan kepada buzzer bertujuan untuk mengumpulkan dukungan suara rakyat. Para tokoh politik maupun partai politik sangat menyadari betapa kuatnya pengaruh buzzer dalam menarik perhatian dan simpati masyarakat. Oleh karena itu, buzzer dan cyber army sering kali menjadi bagian dari strategi pemenangan dalam Pemilu, Pilkada, atau kontestasi politik lainnya.
Sumatera Barat dan Narasi Post-Truth dalam Pilkada 2024
Sumatera Barat, sebagai salah satu provinsi dengan karakteristik budaya dan sosial yang unik, menjadi konteks yang menarik untuk dikaji. Masyarakat Sumatera Barat, yang kental dengan nilai-nilai adat Minangkabau dan agama Islam, sering kali menjadi sasaran narasi post-truth yang dimanfaatkan oleh buzzer untuk memengaruhi opini publik.
Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, fenomena ini semakin relevan untuk diteliti. Pilkada tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga menjadi medan pertarungan narasi yang dapat memengaruhi pilihan dan perilaku pemilih. Aktivitas buzzer dalam menyebarkan narasi post-truth sering kali memanfaatkan isu-isu lokal, seperti adat, agama, dan ekonomi, untuk membangun polarisasi dan memengaruhi persepsi publik.
Misalnya, buzzer dapat menyebarkan informasi yang tidak diverifikasi atau bahkan hoaks tentang kandidat tertentu, dengan tujuan mendiskreditkan lawan politik atau membangun citra positif bagi kandidat yang didukung. Hal ini mengakibatkan masyarakat kesulitan membedakan antara fakta dan fiksi, sehingga keputusan politik tidak lagi didasarkan pada informasi yang akurat, melainkan pada narasi yang sengaja dibentuk untuk memengaruhi emosi dan keyakinan.
Penelitian tentang dampak aktivitas buzzer dan narasi post-truth terhadap proses demokrasi di Sumatera Barat, khususnya dalam konteks Pilkada 2024, memiliki urgensi yang tinggi. Sebagian besar penelitian tentang buzzer dan post-truth selama ini lebih berfokus pada skala nasional dan membahas peran buzzer dalam kampanye politik atau penyebaran hoaks, tetapi belum banyak yang menganalisis dampak jangka panjang terhadap proses demokrasi di Sumatera Barat.
Manipulasi Narasi dan Ancaman Demokrasi
Buzzer yang berpihak pada kandidat tertentu membangun konstruksi citra yang justru menyesatkan publik, karena bersandar pada afeksi dan keyakinan emosional ketimbang pendekatan rasional berbasis data objektif. Buzzer memainkan peran strategis dalam berbagai dimensi berikut
Pertama, buzzer mengeksploitasi sentimen religius dan budaya lokal. Diketahui, Sumatera Barat dikenal sebagai wilayah yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan budaya Minangkabau. Buzzer mengeksploitasi sentimen ini untuk menyusun narasi manipulatif yang memengaruhi preferensi elektoral masyarakat. Misalnya, munculnya diksi-diksi seperti “politik identitas dan menjual kesalehan”, “tidak layak memimpin”, serta penggambaran terhadap cara bertutur dan gaya komunikasi kandidat tertentu. Narasi-narasi ini dirancang untuk menggugah emosi kolektif, sehingga nalar kritis publik terabaikan.
Kedua, buzzer juga berperan aktif dalam menyebarkan hoaks dan disinformasi yang sengaja direkayasa guna mendiskreditkan lawan politik atau memperkuat pencitraan kandidat tertentu. Misalnya, tuduhan bahwa seorang kandidat “memecat seseorang karena faktor suka atau tidak suka” yang hingga kini belum terbukti kebenarannya. Tak hanya itu, narasi yang menyebut tokoh tertentu sebagai “pembohong” juga turut tersebar luas di ruang digital.
Ketiga, buzzer membentuk realitas semu yang disesuaikan dengan kepentingan elektoral kandidat tertentu. Dalam konteks post-truth, kebenaran tidak lagi bersifat objektif, melainkan menjadi produk dari narasi yang dikonstruksi. Sebagai contoh, penyebaran narasi bahwa seorang kandidat merupakan “pahlawan rakyat” yang berjasa besar dalam pembangunan masyarakat diperkuat melalui konten-konten bernuansa emosional di media sosial.
Keempat, Sumatera Barat memiliki kompleksitas identitas yang mencakup aspek agama, etnisitas, dan afiliasi politik. Buzzer menggunakan isu-isu lokal ini untuk menciptakan fragmentasi sosial yang tajam. Isu identitas budaya, agama, serta kepentingan ekonomi-politik dipolitisasi menjadi senjata naratif untuk memperkuat loyalitas emosional terhadap kandidat sekaligus mendeligitimasi pihak oposisi. Polarisasi ini menciptakan dikotomi sosial yang kian ekstrem. (Rinaldi, Dalmendra & Marta, 2024).
Kelima, buzzer kerap melemahkan otoritas moral dan intelektual seperti ulama, tokoh adat, dan media lokal dengan menyebut mereka sebagai pihak yang berpihak atau tidak netral. Sebaliknya, mereka justru mengedepankan sumber informasi yang tidak dapat diverifikasi atau bahkan fiktif, sehingga mengacaukan kepercayaan publik terhadap sumber-sumber informasi kredibel.
Aktivitas buzzer dalam membentuk post-truth secara langsung membahayakan ekosistem demokrasi di Sumatera Barat karena mengaburkan batas antara fakta dan fiksi serta memanipulasi opini publik secara sistematis. Masyarakat menjadi kesulitan memilah informasi akurat, yang pada akhirnya menyebabkan keputusan politik dibuat berdasarkan emosi, bukan data dan realitas yang sebenarnya.
Lebih jauh lagi, buzzer menciptakan ruang wacana di mana kebenaran menjadi relatif, sehingga ideal ruang publik yang sehat dan dialogis kian menjauh dari kenyataan. Dalam era post-truth, kebenaran direduksi menjadi konstruksi naratif yang dapat diubah sesuai kepentingan politik tertentu. Situasi ini memperdalam polarisasi sosial dan mengikis nalar kritis publik. Akibatnya, kepercayaan terhadap institusi demokrasi seperti KPU, Bawaslu, dan media pun mengalami erosi yang mengkhawatirkan. Manipulasi persepsi publik ini berpotensi mengganggu legitimasi pemilu, bahkan mendorong konflik horizontal.
Dalam jangka panjang, ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap informasi yang valid, maka diskursus publik yang sehat dan produktif menjadi mustahil tercipta. Ruang publik yang seharusnya menjadi arena pertukaran ide berbasis data dan logika berubah menjadi medan perang narasi emosional yang sarat kepentingan politik. Propaganda post-truth yang digerakkan oleh buzzer berpotensi memecah belah masyarakat, khususnya di daerah multikultural seperti Sumatera Barat.
Berdasarkan analisis ini, tampak bahwa buzzer dan narasi post-truth memberikan dampak struktural dan sistemik terhadap kualitas demokrasi lokal. Pada akhirnya, aktivitas buzzer dan penyebaran narasi post-truth memiliki dampak kompleks terhadap demokrasi di Sumatera Barat, khususnya menjelang Pilkada 2024. Buzzer memanfaatkan media sosial sebagai alat penyebaran disinformasi dengan menyingkirkan objektivitas fakta dan menggantikannya dengan retorika emosional dan kepentingan pragmatis. Strategi ini memperkuat polarisasi politik berbasis isu sensitif seperti agama, adat, dan ekonomi, sehingga masyarakat terpecah dalam kelompok yang saling bertentangan. Fragmentasi sosial ini bukan hanya mengancam stabilitas sosial, melainkan juga menurunkan kualitas demokrasi partisipatif.
Tak hanya itu, peran buzzer juga telah mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga demokratis, seperti KPU, Bawaslu, dan media arus utama. Diseminasi hoaks yang tak terverifikasi membentuk opini publik yang keliru tentang legitimasi pemilu, sehingga berpotensi mengurangi partisipasi atau bahkan memicu konflik sosial. Dalam konteks ini, narasi post-truth memperkeruh batas antara fakta dan fiksi, yang menyebabkan keputusan politik lebih banyak dipengaruhi oleh manipulasi emosi daripada penalaran logis.
Khusus di Sumatera Barat, yang memiliki struktur sosial-budaya yang kuat, buzzer mengeksploitasi simbol-simbol lokal seperti adat Minangkabau dan Islam untuk membangun narasi sektarian. Hal ini merusak kohesi sosial dan menimbulkan perpecahan yang dalam di masyarakat majemuk. Jika tidak ditangani secara serius, dampak jangka panjangnya dapat merusak fondasi demokrasi yang berbasis pada kesepahaman dan musyawarah.
Penulis merekomendasikan sejumlah hal untuk melawan peran buzzer. Pertama, tingkatkan literasi media. Dimana, masyarakat perlu didorong untuk memiliki kemampuan kritis dalam mengakses, memverifikasi, dan mengevaluasi informasi agar tidak mudah terjebak dalam narasi manipulatif yang belum terkonfirmasi kebenarannya.
Kemudian, penguatan regulasi digital. Perlu ada kebijakan tegas yang mengatur aktivitas buzzer dan penyebaran hoaks melalui media sosial, dengan mendorong kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat sipil dalam menjaga etika komunikasi politik. Selanjutnya, tokoh adat dan agama harus dilibatkan secara aktif dalam membangun dialog inklusif untuk meredam polarisasi serta mengembalikan rasionalitas dan etika dalam diskursus publik.


Tri Wahyuni Oktanita, Redni Putri Meldianto, Rayla Osvita Putri