Menelisik Rendahnya Partisipasi Politik Masyarakat Minangkabau dalam Pilkada 2024

Fitria Deswika

Indonesia, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, telah menjalankan serangkaian pesta demokrasi untuk memilih pemimpin yang akan membawa bangsa ini ke masa depan. Dalam proses ini, masyarakat memegang peran sentral sebagai penentu utama siapa yang akan memegang tampuk kekuasaan, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Pesta demokrasi dimulai dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, dilanjutkan dengan pemilihan anggota legislatif, dan berlanjut pada pemilihan kepala daerah (pilkada). Namun, fenomena yang mengemuka adalah rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada, khususnya di Sumatera Barat. Tercatat, angka partisipasi masyarakat di Ranah Minang hanya mencapai 57,25 persen. Sebuah angka yang menunjukkan adanya masalah serius dalam partisipasi politik masyarakat Minangkabau.

Angka partisipasi dalam Pilkada 2024 di Sumbar sangat kontras dibandingkan dengan partisipasi masyarakat dalam pemilihan presiden (pilpres). Diketahui, angka partisipasi Pilpres 2024 mencapai 81,78 persen. Penurunan drastis ini mengindikasikan bahwa antusiasme masyarakat terhadap pilkada terbilang rendah.

Fakta itu patut menjadi perhatian serius, mengingat Pilkada merupakan momen penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang akan menentukan arah kebijakan dan pembangunan di daerahnya. Pemimpin yang terpilih melalui pilkada akan menjadi penentu kebijakan-kebijakan strategis yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, layanan kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja.

Sangat penting untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah sosok yang kompeten, memiliki integritas, dan mampu merumuskan kebijakan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.​ Jika tidak, maka angka partisipasi dikhawatirkan akan semakin merosot di tahun-tahun berikutnya.

 

Kenapa Partisipasi Masyarakat Rendah?

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2024 disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya sosialisasi dan edukasi politik dari partai politik maupun pemerintah daerah tentang pentingnya memilih dalam Pilkada. Masyarakat mungkin tidak menyadari betapa besar dampak yang dapat ditimbulkan oleh pemilihan kepala daerah terhadap kehidupan mereka sehari-hari.

Kedua, adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap calon pemimpin yang dianggap tidak memiliki visi yang jelas atau tidak mampu memenuhi janji-janji kampanyenya. Ketiga, minimnya figur pemimpin yang inspiratif dan dekat dengan kebutuhan masyarakat juga dapat menjadi penyebab rendahnya partisipasi. Masyarakat cenderung enggan memilih jika tidak melihat adanya calon yang benar-benar mampu mewakili aspirasi mereka.​

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah menjalankan proses demokrasi secara rutin, masih terdapat tantangan besar dalam membangun partisipasi politik yang merata dan berkualitas.

Pilkada sebagai salah satu pilar demokrasi lokal, seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat untuk secara aktif terlibat dalam menentukan masa depan daerahnya. Namun, realitas yang terjadi justru menunjukkan adanya keterputusan antara harapan demokrasi dengan praktik partisipasi masyarakat. Hal ini tidak hanya terjadi di Sumatera Barat, tetapi juga menjadi gambaran umum di berbagai daerah di Indonesia, di mana partisipasi dalam pilkada seringkali lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan tingkat nasional.​

Selain itu, apatisme dan alienasi politik yang dirasakan oleh masyarakat juga menjadi salah satu factor rendahnya partisipasi Pilkada 2024. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa suara yang mereka berikan tidak akan memberikan perubahan yang signifikan terhadap hidup mereka, karena mereka tidak merasa bahwa pembahasan mengenai isu politik tidak ada kaitannya dengan kehidupan mereka.

Masyarakat lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dibandingkan memilih pemimpinnya saat hari pencoblosan berlangsung. Hal ini biasanya terjadi pada masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan Thomas M. Gray dan Christopher W. Anderson yang berpendapat bahwa pendidikan memiliki efek yang positif terhadap partisipasi memilih di Amerika Serikat karena pendidikan juga dapat memberikan ruang bagi individu untuk memproses informasi politik dan mengarah pada keputusan yang rasional.​

Faktor golput atau golongan putih juga dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah karena terbatasnya pilihan yang tersedia bagi masyarakat. Seperti diketahui, dalam Pilgub Sumatera Barat hanya terdapat dua calon yang maju untuk pemilihan. Yang pertama yaitu pasangan Mahyeldi-Vasko dan pasangan Epyardi-Elkos yang didukung oleh dua koalisi besar partai politik.

 

Pragmatisme Politik dan Krisis Kaderisasi

Minimnya jumlah kandidat dalam pilkada memunculkan dilema politik bagi pemilih. Dalam situasi terbatas seperti ini, masyarakat sering kali terpaksa memilih bukan berdasarkan preferensi positif, melainkan sebagai bentuk penolakan terhadap calon lain yang dianggap lebih tidak diinginkan. Bahkan, tidak sedikit yang memutuskan untuk bersikap apatis dan golput.

Kondisi ini dapat berdampak serius terhadap arah kebijakan publik, yang berpotensi bersifat populis dan mengabaikan kelompok rentan atau minoritas, karena keberpihakan calon kerap lebih ditujukan untuk memenuhi ekspektasi konstituen dominan. Keterbatasan ini menunjukkan adanya problem sistemik dalam mekanisme kaderisasi partai politik, yang memunculkan pertanyaan mendasar: apakah partai telah gagal dalam mempersiapkan kader potensial, ataukah justru terjebak dalam kalkulasi pragmatis dengan menyandarkan kemenangan pada koalisi semu?

Krisis representasi ini tidak dapat dipisahkan dari kecenderungan pragmatis partai politik dalam menyikapi dinamika pilkada. Alih-alih membangun ekosistem kaderisasi yang berkelanjutan, banyak partai justru lebih memilih membentuk koalisi besar demi kemenangan elektoral jangka pendek.

Strategi instan ini mengabaikan pembangunan sumber daya manusia politik yang berkualitas dan visioner. Ketiadaan sistem kaderisasi yang sistematis dan terarah menjadikan partai sekadar kendaraan elektoral, tanpa memiliki fungsi transformasional dalam mencetak pemimpin masa depan. Akibatnya, kaderisasi seringkali hanya menjadi formalitas administratif untuk memenuhi ambang batas eksistensi partai, bukan sebagai upaya pembinaan dan pengembangan kompetensi politik.

Partai politik sejatinya memainkan peran fundamental dalam pembangunan kesadaran politik, tidak hanya untuk internal kader, tetapi juga bagi masyarakat luas. Langkah awal yang krusial adalah menyediakan pendidikan politik yang komprehensif dan berkelanjutan bagi para kader. Melalui pendidikan ini, kader memperoleh pemahaman mendalam mengenai ideologi partai, nilai-nilai perjuangan, serta visi dan misi strategis organisasi.

Pemahaman ini penting agar setiap kader mampu menjalankan peran sebagai penghubung aspirasi rakyat dengan kebijakan publik yang diusung partai. Dalam konteks ini, kader bukan sekadar pengisi struktur, tetapi agen perubahan sosial yang memiliki integritas dan kapabilitas.

Usai memperkuat internalisasi nilai di tubuh partai, tahapan selanjutnya adalah memperluas cakupan edukasi politik kepada masyarakat. Partai harus hadir sebagai fasilitator dalam membangun literasi politik publik, melalui kegiatan seperti seminar politik, diskusi publik, hingga kampanye edukatif berbasis data dan narasi konstruktif. Masyarakat yang tercerahkan akan memiliki daya kritis dalam menganalisis figur politik serta kebijakan yang ditawarkan. Hal ini mendorong munculnya budaya demokrasi deliberatif, di mana partisipasi politik tidak lagi sebatas pilihan elektoral, tetapi juga keterlibatan aktif dalam proses pengambilan keputusan.

Dengan demikian, partai politik dituntut untuk melampaui peran sebagai mesin elektoral semata. Ia harus tampil sebagai institusi pendidikan politik yang berintegritas, progresif, dan bertanggung jawab. Hanya melalui penguatan kaderisasi dan pendidikan politik yang berkesinambungan, kita dapat menciptakan pemimpin yang berdaya saing, serta masyarakat yang memiliki kesadaran kritis terhadap masa depan demokrasi bangsa.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 391 Kali.