Biduak Lalu, Kiambang Batauik: Meneguhkan Rekonsiliasi Pasca Pilkada 2024 di Sumatera Barat

Abdul Rahman

Pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan instrumen fundamental dalam sistem demokrasi, yang berperan sebagai medium rakyat dalam menentukan arah pembangunan dan kepemimpinan lokal.

Di Sumatera Barat, pesta demokrasi ini kerap diwarnai oleh gejolak politik, perbedaan ideologis, dan kadangkala konflik horizontal yang menguji kohesi sosial masyarakat. Namun, sebagaimana pepatah Minangkabau mengatakan, “biduak lalu, kiambang batauik”, maka usai kontestasi politik, sejatinya kita harus kembali menyatukan kiambang-kiambang yang tercerai berai demi harmoni sosial dan keberlanjutan pembangunan.

Esensi demokrasi bukan terletak pada kemenangan atau kekalahan, tetapi pada kemampuan masyarakat untuk merawat perbedaan secara dewasa. pilkada hanyalah satu fase dari siklus politik yang lebih panjang. Sumatera Barat, dengan potensi budaya, sumber daya manusia, dan kearifan lokalnya, memerlukan kolaborasi lintas golongan untuk terus melaju sebagai daerah yang progresif dan resilien.

Atas dasar dinamika itu, rekonsiliasi pasca Pilkada menjadi keniscayaan, agar energi yang sebelumnya terfragmentasi dapat disalurkan menjadi kekuatan kolektif untuk membangun nagari. Lebih dari sekadar ajang elektoral, pilkada merupakan manifestasi dari kesadaran politik warga negara dalam menentukan masa depan daerah. Maka, kontestasi politik ini seharusnya tidak merusak jalinan sosial yang telah terbentuk. Justru, Pilkada sepatutnya menjadi wahana peningkatan literasi politik, yang mendorong masyarakat memahami bahwa kepentingan komunal lebih utama daripada sekadar loyalitas kepada kandidat tertentu.

Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 di Sumatera Barat mencapai 61,68 persen. Angka ini menunjukkan tingkat antusiasme masyarakat yang cukup tinggi. Namun, partisipasi tersebut harus dibarengi dengan kedewasaan dalam menerima hasil dan berkontribusi terhadap proses demokratisasi selanjutnya.

Menumbuhkan Solidaritas

Sukses atau tidaknya Pilkada tidak hanya ditentukan oleh hasil suara, tetapi juga oleh respons masyarakat dalam menyikapi hasilnya. Jika kontestasi politik hanya menyisakan luka sosial dan segregasi horizontal, maka demokrasi kehilangan substansinya. Oleh karena itu, perlu ditekankan bahwa Pilkada adalah ruang edukasi politik, bukan arena konfrontasi berkepanjangan.

Perbedaan pilihan adalah hal yang natural dalam sistem demokrasi. Setiap individu memiliki rasionalitas politik masing-masing dalam menentukan pemimpin yang dianggap paling representatif. Namun, apabila perbedaan itu memicu friksi sosial, maka diperlukan mekanisme sosial yang mampu memulihkan kohesi.

Pasca pilkada, masyarakat sering kali menyisakan residu konflik seperti retaknya hubungan antar tetangga, keluarga, bahkan antar komunitas adat. Ini merupakan realitas yang harus diantisipasi. Perbedaan bukanlah penyebab perpecahan yang menjadi masalah adalah ketika perbedaan tidak dikelola secara arif.

Di titik inilah pentingnya komunikasi konstruktif. Dialog yang dilandasi prinsip saling menghargai akan membantu menetralkan ketegangan. Ruang diskusi yang sehat menjadi penangkal polarisasi yang dapat memecah persatuan. Seperti diungkap oleh survei LSI Denny JA pada 2021, 63 persen masyarakat Indonesia menganggap perbedaan pilihan politik berpotensi merusak hubungan sosial jika tidak dikelola dengan baik.

Menjaga Rasionalitas dan Etika

Kematangan politik masyarakat ditandai oleh kemampuan menerima realitas politik secara objektif. Dalam demokrasi yang inklusif, fanatisme sempit harus ditinggalkan. Pemilih perlu memahami bahwa setiap kandidat memiliki kelebihan dan keterbatasan, dan hasil Pilkada adalah representasi dari berbagai kepentingan yang ada.

Menerima hasil dengan magnanimity atau kelapangan hati adalah indikator penting kedewasaan berdemokrasi. Hubungan sosial yang harmonis jauh lebih bernilai daripada kemenangan sementara yang diraih melalui konfrontasi. Agar pasca pilkada tidak menyisakan polarisasi, berikut langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan masyarakat:

  1. Menghapus Polarisasi Politik

Polarisasi politik hanya menyisakan residu sosial. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa setelah pilkada, loyalitas harus dialihkan pada pembangunan daerah, bukan pada kepentingan kelompok semata.

  1. Membangun Kesadaran Kolektif

Sumatera Barat tidak bisa bertumpu pada satu sosok pemimpin saja. Perlu partisipasi aktif masyarakat dalam menyukseskan agenda pembangunan daerah, termasuk dalam sektor ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya.

  1. Menjaga Silaturahmi dan Merawat Filosofi Adat Minangkabau

Sebagaimana nilai Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, masyarakat Minangkabau diajarkan untuk menjunjung musyawarah, toleransi, dan kohesi sosial. Nilai-nilai ini harus kembali ditegakkan sebagai fondasi membangun masyarakat yang majemuk namun solid.

  1. Menyebarkan Narasi Positif

Ekosistem informasi digital pasca pilkada sering kali dipenuhi ujaran kebencian dan hoaks. Oleh karena itu, penting untuk membangun narasi positif dan literasi digital agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang menyesatkan.

 

Peran Strategis Pemimpin Terpilih

Tidak hanya masyarakat, pemimpin terpilih juga memiliki tanggung jawab etis dan politis dalam merajut kembali ikatan sosial yang sempat renggang. Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah:

  1. Merangkul Semua Kelompok

Pemimpin sejati bukan hanya milik pendukungnya. Ia harus bersikap inklusif, merangkul kelompok yang berseberangan agar tidak terjadi eksklusi politik.

  1. Menjalankan Kebijakan yang Berkeadilan

Program pembangunan harus bersifat universal dan menjangkau seluruh elemen masyarakat. Ketimpangan dalam distribusi kebijakan hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan publik.

  1. Menjaga Komunikasi Terbuka dengan Masyarakat

Transparansi dan keterbukaan menjadi instrumen penting dalam menciptakan legitimasi kepemimpinan. Masyarakat berhak menyampaikan kritik konstruktif, dan pemimpin wajib menanggapinya secara objektif.

 

Merajut Ulang Kekuatan Kolektif

Pilkada hanyalah titik awal dalam perjalanan panjang menuju pembangunan Sumatera Barat yang berkelanjutan. Setelah kontestasi usai, saatnya kita semua bergandengan tangan, menyisihkan perbedaan, dan menatap masa depan dengan semangat kolaboratif. Penguatan sektor pendidikan, ekonomi, dan pelestarian budaya lokal hanya dapat tercapai dengan kebersamaan.

Pepatah “biduak lalu, kiambang batauik” bukan sekadar metafora, tetapi filosofi hidup yang relevan dalam konteks demokrasi. Mari kita buktikan bahwa Sumatera Barat adalah tanah yang tak hanya kaya akan adat dan budaya, tetapi juga kedewasaan politik dan solidaritas sosial.

Perbedaan adalah anugerah, tetapi persatuan adalah kekuatan. Kini saatnya kembali merajut tenun kebangsaan dari ranah Minang untuk masa depan yang lebih cerah.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 42 Kali.