Dilema Pilkada Sumbar 2024: Putra Daerah atau Pilihan Hati?
Utari Akhir Gusti
Pemilihan umum (pemilu) menjadi momentum krusial dalam menentukan arah kepemimpinan bangsa. Peristiwa ini seringkali ditandai dengan kampanye yang terjadi di berbagai daerah dengan tujuan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Tidak heran, jika sebelum pemilu terbentuk kelompok-kelompok yang saling mendukung jagoannya. Hadirnya pemilu ini, menjadikan masyarakat saling kompak dan bekerjasam satu sama lain dalam memperjuangkan hak pilihnya. Kondisi ini, membuat masyarakat selalu menanti-nantikan datangnya pemilu yang diadakan sekali lima tahun.
Di tengah maraknya tahapan pemilu, tidak jarang muncul berbagai dilema dan problematika yang menguji kedewasaan demokrasi Indonesia. Dari politik identitas hingga kampanye negatif ikut menjadi bagian tidak terpisahkan dari pemilu. Tidak hanya itu, dilema putra daerah atau pilihan hati juga ikut memeriahkan pemilu yang terjadi di Indonesia. Tantangan ini sering kali memengaruhi persepsi publik dan kualitas partisipasi warga dalam menentukan pemimpin yang terbaik untuk masa depan.
Kondisi ini juga terjadi pada Pilkada Sumatera Barat 2024 kemaren. Salah satu dilema yang dihadapi masyarakat, yaitu adanya pilihan putra daerah atau pilihan hati. Kedua pilihan ini tidak bisa dikatakan salah, karena pada akhirnya keputusan ada di tangan masyarakat. Dalam setiap pemilihan umum, warga akan dihadapkan pada berbagai calon dengan beragam kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan secara matang sebelum menentukan pilihan di bilik suara. Tantangan ini kerap memicu perbedaan pendapat yang tak jarang berujung pada ketegangan, perdebatan, bahkan konflik yang merusak harmoni sosial.
Kondisi ini turut mewarnai dinamika Pilkada Sumatera Barat 2024, di mana kuatnya ikatan kedaerahan dan perbedaan preferensi politik sering kali memperkeruh suasana. Banyak masyarakat yang terjebak dalam perselisihan panjang untuk mempertahankan pilihannya tanpa ruang untuk saling mendengarkan. Sentimen emosional yang muncul terkadang mengaburkan fokus utama yaitu mencari pemimpin terbaik untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan warga. Akibatnya, proses demokrasi yang seharusnya menjadi ajang partisipasi sehat justru berubah menjadi arena konflik yang melelahkan secara sosial. Penting bagi masyarakat untuk mengedepankan musyawarah dan kebijaksanaan dalam menyikapi setiap perbedaan pandangan politik.
Pilkada di Sumatera Barat
Kondisi yang terjadi semakin kompleks dengan tradisi yang dimiliki Minangkabau yang memilih pemimpin berdasarkan rekam jejak dan kapasitas calon. Hal ini semakin genting dengan pepatah yang dimiliki “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Nilai ini menekankan akan pentingnya menjaga tradisi dan mempercayakan kepemimpinan kepada sosok yang memahami karakter lokal secara mendalam. Kondisi ini sebenarnya tidaklah salah. Bukankah kita memilih pemimpin dengan melihat kualitas dan rekam jejaknya? Tapi, yang salah adalah paksaan memilih dengan melibatkan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan menjadikan sebagai senjata dalam kampanye paslon. Seperti yang diketahui, putra daerah yang lahir dan besar dalam kultur Minangkabau, seringkali dianggap lebih mampu melestarikan nilai-nilai tersebut dan menjaga harmoni masyarakat. Hal tersebut karena putra daerah telah memahami karakteristik masyarakat dan daerah yang akan dipimpin, sehingga lebih tepat dalam memilih strategi untuk mensejahterakan serta memajukan daerah. Berbeda halnya dengan paslon yang berasal dari daerah yang berbeda atau merantau, akan cenderung kurang memahami karakteristik daerah dan masyarakat.
Kondisi ini yang diyakin bahwa paslon yang berasal dari luar daerah memiliki strategi kurang efektif. Namun, bukan berarti tidak dapat merancang program yang baik tapi hanya dianggap kurang baik dibandingkan putra daerah. Jika dilihat dari perspektif budaya, hal ini tentu lebih efektif dalam pemilihan umum. Sayangnya, kondisi ini sering dijadikan kambinghitam dalam memengaruhi pilihan masyarakat tanpa memperhatikan kualitas paslon. Tidak jarang, masyarakat memilih hanya karena alasan tersebut tanpa melihat kualitas paslon. Akibatnya, ditemukan kekecewaan dan saling menyalahkan. Pada gilirannya, memicu perdebatan yang berkepanjangan. Artinya, Putra daerah menjadi paslon terbaik jika diikuti dengan kualitasnya juga dan sebaliknya.
Pertanyaannya, kenapa pilihan putra daerah atau pilihan hati menjadi salah satu dilema Pilkada Sumbar 2024? Bukankah memilih Putra deaerah atau pilihan hati, sama-sama baik? Pertanyaan ini menjurus pada suatu kondisi yang merusak pesta demokrasi Sumatera Barat. Perihalnya, masyarakat memaksa orang lain untuk memilih antara dua pilihan tersebut dengan argumennya masing-masing. Tidak jarang, ditemukan masyarakat yang terpecah-pecah dan saling tidak sapa dalam periode pra-pemilihan. Perbedaan pandangan politik yang tajam seringkali menimbulkan sekat di antara tetangga, teman, bahkan keluarga. Kondisi ini membuat masyarakat diliputi kebingungan, galau, dan sulit menentukan pilihannya sendiri karena takut akan tekanan sosial atau rasa bersalah jika berbeda pandangan dengan lingkungan sekitar.
Padahal, pemilihan seharusnya menjadi momentum persatuan dalam merumuskan masa depan daerah. Setiap suara memiliki makna penting dan perbedaan pilihan adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Bukankah Indonesia terbentuk dari berbagai perbedaan. Hal ini yang dilupakan dan dikesampingkan oleh masyarakat. Dibutuhkan kedewasaan politik dan ruang dialog yang sehat agar masyarakat bisa memilih dengan tenang tanpa harus mengorbankan hubungan sosial yang berharga.
Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak tersebut. Pertama, memastikan hak pilih masyarakat tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Hal ini akan memberikan kebebasan pada warga untuk menentukan pilihan terlepas dari adanya putra daerah atau tidak. Tindakan ini akan mengurangi adanya konflik antar warga yang berujung pada perpecahan. Kedua, menciptakan kampanye yang ramah warga. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari pengaruh yang bersifat destruktif yang dapat memunculkan kontroversi antar warga. Fakta di lapangan, tidak jarang ditemukan kampanye yang membawa SARA yang memicu pada perpecahan antar budaya maupun masyarakat. Ketiga, Monitoring dan evaluasi pelaksaan pra dan pasca pemilu. Penyelesaian masalah ini cukup sederhana namun akan menjadi pemantik perpecahan jika tidak adanya solusi dan tindakan nyata dalam menyelesaikannya. Dengan memastikan hak pilih warga dan menjadikan kampanye terbebas dari SARA, akan menjadikan pemilu lebih tenang dan khidmat dalam penentuan pemimpin masa depan.
Terlepas dari berbagai masalah yang dihadapi masyarakat di tengah pesta demokrasi, pemerintah harus terus melakukan evaluasi untuk memastikan pemilihan umum yang lebih baik di masa depan. Evaluasi ini termasuk memperkuat pendidikan politik, meningkatkan transparansi, dan pengawasan ketat terhadap kebijakan moneter dan praktik kampanye hitam. Tindakan ini, akan menciptakan kondisi pemilu yang bebas menggunakan hak suara tanpa intervensi atau ancaman perorangan atau kelompok tertentu. Artinya, pemerintah bersama dengan masyarakat perlu berkolaborasi dalam menjadi pemilu yang damai. Ketika berbagai pihak bersatu menjaga kesatuan, pemilu tidak lagi menjadi ajang perpecahan, melainkan momentum untuk merayakan keberagaman dalam bingkai persatuan.
Selain itu, peran tokoh masyarakat, pemuda, dan organisasi lokal menjadi esensial dalam mempromosikan pesan toleransi dan kebersamaan. Dengan saling mendukung dan mengutamakan kepentingan bersama di tengah kepentingan pribadi, masyarakat dapat membangun budaya politik yang lebih sehat, berintegritas, dan berorientasi pada kemajuan daerah. Kesadaran kolektif untuk menghindari provokasi dan hoaks juga menjadi fondasi penting dalam menjaga stabilitas sosial. Apabila nilai-nilai ini terus dijaga, maka pesta demokrasi benar-benar bisa menjadi sarana mempererat solidaritas dan melangkah bersama menuju masa depan yang lebih cerah dan terhindar dari berbagai dilema sosial.
Utari Akhir Gusti